Mengurai konflik PT WSSI dengan masyarakat

id Wssi siak, pt wssi bohongj warga siak, dprd siak, konflik lahan, akasia siak

Mengurai konflik PT WSSI dengan masyarakat

Suasana aksi protes masyarakat kepada PT WSSI.(ANTARA/Bayu Agustari Adha)

Siak (ANTARA) - Ketua DPRD Siak Azmi didampingi Wakil Ketua I Fairus dan anggota dari Komisi II mendatangi ratusan warga yang sedang berkumpul di Pelabuhan Lingkar Naga Kampung Buatan II yang melakukan aksi protes kepada pihakperusahaan perkebunan kelapa sawit PT Wana Subur Sawit Indah (WSSI), Jumat (16/7).

Rombongan dari DPRD Siak itu memediasi warga dengan pihak perusahaan agar tidak terjadi kericuhan. Mereka mengajak wargaempat kampungdan pihak perusahaan berunding di Kantor Camat Kotogasib.

"Mohon agar warga dapat tenang, ini kita bicarakan di Kantor Camat saja, biar tidak terjadi aksi anarkis. Kita akan panggil pihak yang terlibat agar duduk persoalannya, apa yang jadi permintaan masyarakat bisa sampaikan nanti di Kantor Camat," kata Fairus.

Namun beberapa menit rombongan DPRD Siak itu meninggalkan lokasi, terjadi aksi kericuhan antara warga dengan sekelompok orang yang mengaku sekuriti PT WSSI. Namun sekuriti itu tampak tak memakai baju dinasnya.

Sempat terjadi aksi saling dorong dalam kericuhan itu. Pasalnya warga tersulut emosi karena oknum sekuriti mengompori warga dengan mengatakan "Kalau kalian bisa masuk hebat," ujar salah satu sekuriti yang menghadang warga setempat.

Akibatnya warga sakit hati dan mengejar sekuriti tersebut. Namun situasi itu bisa diamankan oleh pihak kepolisian yang berjaga di lokasi.

"Kurang ajar kau, kau orang kampung sini juga, jangan jadi penghianat," teriak Irwan, warga Kampung Buatan II.

Setelah kondusif, ratusan warga itu akhirnya berkumpul di Kantor Camat Kotogasib untuk mengadakan rapat bersama pihak WSSI, Polsek, Asisten I Setdakab Siak, Dinas Pertanian dan Perkebunan, perwakilan DPMPTSP Provinsi Riau dan Camat Kotogasib.

Warga dari empat kampung yakni Kampung Buatan I, Buatan II, Sri Gemilang dan Rantau Panjang meminta agar PT WSSI hengkang dari Kabupaten Siak. Kemudian meminta menghentikan segala aktifitas di lahan perusahaan sebelum adanya kejelasan untuk warga tempatan, dan mencabut segala izin operasional dari PT WSSI.

"Kami sudah tidak percaya lagi sama WSSI ini, selama 20 tahun lamanya kami ditipu. Mereka selalu janji ke janji akan membangun kebun plasma tapi tidak pernah direalisasi. Memang tidak ada itikad baik mereka (WSSI)," kata salah seorang warga, Syafrizal.

Ditambah lagi, PT WSSI mendapat izin Pemanfaatan Kayu (IPK) yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Riau pada Maret 2021 lalu. Warga kian merasa dipermainkan oleh WSSI.

Alasannya, warga mengetahui WSSI akan memanen kayu akasia yang siap jual yang tumbuh secara alami di area konsesinya. Padahal, selama ini kebun kelapa sawit perusahaan itu tak pernah diurus.

"Mereka membodoh-bodohi kami itu Pak Dewan, janji plasmanya tidak pernah dipenuhi, ini setelah tahu ada kayu akasia siap panen mereka baru garap lahannya. Padahal selama ini kebun intinya saja tidak diurus dan sudah jadi hutan. Artinya mereka merampas hak kami, kenapa itu tidak koperasi saja yang garap, itu sebagai kompensasi untuk masyarakat setelah 20 tahun tak dapat apa-apa," kata tokoh masyarakat Kampung Buatan II, Thamrin.

Diketahui, luas konsesi PT WSSI berdasarkan Izin Usaha Perkebunan atau IUPnya adalah 6.097 hektare. Sementara kawasan yang ditumbuhi kayu akasia seluas 1.577 hektare. DPMPTSP mengeluarkan IPK itu dengan alasan PT WSSI akan mengelola lahan yang terdapat kayu itu untuk ditanami sawit kembali.

"Kenapa yang ada akasianya saja yang mereka garap? Selama ini mereka kemana? Lahan yang ada kayunya hanya 1.500 hektaran sedangkan sisanya kebun inti, ini tentu jadi pertanyaan warga, ada apa ini? Bahkan WSSI tidak sanggup menggarap minimal 50 persen dari IUP-nya selam 20 tahun. Pokoknya, kami minta kepada Dewan dan Pemkab agar cabut saja semua izin WSSI, kembalikan saja lahan itu kepada kami," kata seorang Warga, Syafrizal.

Asisten I Setdakab Siak, Budhi Yuwono mengatakan Pemkab Siak juga sudah mengambil sikap dengan adanya konflik panjang ini. Indikasi adanya pelanggaran-pelanggaran yang dibuat perusahaan membuat Pemkab tidak tinggal diam, salah satunya Pemkab Siak telah mengajukan surat ke Menteri Pertanian RI dengan nomor 590/BPT/IV/2021/140.0 untuk meminta kepada Kementerian Pertanian agar meninjau ulang IUP PT WSSI.

Selain itu, pada 23 Juni 2021 lalu, Bupati Alfedri juga menyampaikan langsung kepada Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Wakil Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Surya Tjandra agar lahan konsesi PT WSSI dijadikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

"Kami Pemkab juga sudah tahu apa permasalahan WSSI ini. Kami hadir untuk mencari jalan keluar konflik ini. Apalagi ini sudah bentrok panjang. Dari awal WSSI memang tidak memenuhi kewajibannya untuk bangun kebun plasma, kemudian Karhutla dan terakhir ini dapat IPK. Manajemen WSSI ini memang sudah gagal," tegas Budhi.

Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Siak, Iksan mengungkapkan terkait keberadaan WSSI, ia membenarkan perusahaan itu belum pernah membangun kebun plasma. Padahal ketentuan usaha perkebunan harus membangun kebun plasma 20 persen dari konsesinya.

"WSSI dapat IUP tahun 2001, sampai sekarang memang tak ada dibuat plasma. Harusnya setiap perusahaan ada nampak progres penanamannya, tapi ini tidak ada. Kewajiban perusahaan harus lapor dua tahun sekali progres penanamannya," terang Iksan.

Dijelaskannya, PT WSSI pernah dilakukan penilaian oleh Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi Riau tahun 2010 lalu. Namun tak ada yang bisa dinilai karena memang lahan tak digarap.

"Minimal tiga tahun sekali harus dilakukan penilaian, tapi WSSI tak bersedia, padahal kami sudah surati WSSI berkali-kali. Atas dasar itu, kita bisa mengajukan pencabutan izin WSSI, kami bisa mengeluarkan kelas kebun, WSSI kategori kelas 5. Dasar penilaian itu kita merekomendasikan ke Provinsi untuk dicabut IUP-nya," urainya.

Semsntara, perwakilan dari PT WSSI, Masrizal mengaku pihaknya memang berencana akan menggarap lahannya kembali untuk ditanami kelapa sawit. Terkait IPK, menurutnya, tidak ada yang salah dari izin tersebut karena kayu akasia itu tumbuh pada lahan di kawasan perusahaan.

"Saya bagian tim perusahaan, jabatan saya teknis di lapangan, memang apa yang menjadi permintaan warga bukan kapasitas saya menjawab. Tapi saya ini kontraktornya untuk projek itu. Saya yang bertanggungjawab dengan akasia tumbuh alami di sana. Saya rasa itu bukan masalah. Yang memepersoalkan itu hanya segelintir orang, padahal kami sudah berkoordinasi dengan penghulu dan warga setempat," ungkapnya.

Dia mengklaim bahwa perundingan sebelumnya soal pembagian jatah hasil kayu itu disetujui semua pihak secara tertulis, dan dianggap tidak ada lagi persoalan.

"Terkait kalau ada niat stop itu tidak bisa, karena kami bekerja ada izin. Jadi kalau saya lihat ini ada kepentingan di balik aksi ini, ini tidak bisa kami penuhi," kukuhnya.

Ternyata, sebelumnya warga setempat telah melakukan pertemuan dengan Masrizal soal ketidakjelasan WSSI dan jatah kayu akasia itu.

Junaidi, seorang warga kampung Buatan II yang juga mengikuti pertemuan itu menceritakan pihak Masrizal akan memberikan jatah hasil kayu untuk warga Kampung Buatan I dan Buatan II sebesar Rp4.000 per ton untuk masing-masing kampung. Hal itu ditolak oleh warga karena dianggap sebagai penghinaan.

"Masak segitu rundingnya, itu tak masuk akal, padahal potensinya di situ besar. Kami jujur kesal dengan hal itu dan kami menolaknya. Kami hanya minta mana hak kami selama ini? Kalau tidak bisa dipenuhi kembalikan lahan itu biar kami yang kelola," katanya.

Diceritakannya, warga meminta kepada pihak Masrizal untuk tidak melakukan pemanenan akasia itu sampai ada kejelasan dari WSSI. Tapi faktanya, lanjut Junaidi kontraktor telah melaksanakan projek itu hampir sebulan dengan menggunakan ekskavator.

Mendengar hal itu, anggota DPRD Siak yang hadir pada rapat mediasi itu sepakat dengan masyarakat. Fairus meminta kepada pihak WSSI untuk menghentikan aktivitasnya di lahan yang sedang konflik, dan meminta kepada pihak kepolisian untuk menjaga di sekitar lokasi agar jangan ada kericuhan yang lebih besar.

"Pada intinya kami juga meminta hentikan segala aktivitas di sana, sampai pada apa yang diinginkan masyarakat. Kami menangkap bahwa masyarakat sudah muak dengan janji bohong WSSI, masyarakat bukan lagi peduli soal kayu, tapi sudah ingin cabut izin WSSI," jelasnya.

Ketua DPRD Siak Azmi mengatakan terkait IPK itu masyarakat tempatan kecewa oleh WSSI, pasalnya perusahaan itu tidak memberikan kontribusi apa-apa selama ini malah ingin menikmati hasil alam di kawasannya.

"Penuhi dulu hak masyarakat, ini kan namanya menganiaya atau menzolimi. Intinya ini terus kita tindaklanjuti, dalam waktu dekat kami dari legislatif bekerjasama dengan eksekutif segera membuat tim penyelesaian konflik ini. Dan segala sikap kami dari Pemkab dan DPRD sedang proses. Bahkan selesai Hari Raya Kurban ini kami akan menindaklanjuti ke DPMPTSP untuk mencabut IPK WSSI itu, kami upaya ini kembali ke masyarakat. Selama ini keberadaan WSSI tidak memberi efek kepada warga tempatan apalagi mensejahterakan warga. Kami di DPRD terus pasang badan untuk masyarakat dan tidak mundur dengan segala bentuk intimidasi," tegas Azmi.