Jakarta (ANTARA) - Perusahaan keamanan siber Kaspersky mengungkapkan bahwa serangan siber yang menargetkan Asia Tenggara meningkat selama pandemi.
Director for Global Research and Analysis (GReAT) Team Asia Pacific Kaspersky, Vitaly Kamluk, mengungkapkan bahwa pelaku kejahatan siber menjadikan "pemerasan" lewat ransomware, salah satunya Maze, sebagai senjata untuk memastikan bahwa korban akan membayar uang tebusan.
Baca juga: Begini cara awal untuk atasi serangan siber
"Kami memantau peningkatan deteksi Maze secara global, bahkan terhadap beberapa perusahaan di Asia Tenggara, yang berarti tren ini sedang mendapatkan momentumnya," ujar Kamluk, dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu.
Penelitian tahun 2020, selama pandemi, yang dilakukan oleh Kaspersky di antara 760 responden dari wilayah tersebut mengungkapkan bahwa hampir 8 dari 10 saat ini menerapkan sistem bekerja dari rumah.
Hal ini juga meningkatkan penjelajahan harian konsumen di Asia Tenggara yang rata-rata maksimal adalah 8 jam. Dalam hal finansial, 47 persen dari individu yang disurvei telah juga mengalihkan pembayaran dan transaksi bank mereka secara daring karena pembatasan wilayah dan tindakan pencegahan keamanan di masing-masing negara.
Lebih lanjut, Kamluk juga mengonfirmasi keberadaan grup ransomware teratas di kawasan Asia tenggara telah menargetkan berbagai industri, yakni perusahaan kenegaraan, aerospace and engineering, manufacturing dan trading steel sheet, perusahaan minuman, palm products, hotel dan layanan akomodasi, serta layanan IT.
Kelompok di balik ransomware Maze telah membocorkan data korbannya yang menolak membayar tebusan. Mereka membocorkan 700MB data internal online pada November 2019 dengan peringatan tambahan bahwa dokumen yang diterbitkan hanyalah 10 persen dari data yang dapat mereka curi.
Selain itu, grup tersebut juga telah membuat situs web di mana mereka mengungkapkan identitas korban serta rincian serangan, seperti tanggal infeksi, jumlah data yang dicuri, nama server, dan banyak lagi.
Proses serangan yang digunakan oleh grup ini dinilai cukup sederhana. Mereka akan menyusup ke sistem, mencari data paling sensitif, dan kemudian mengunggahnya ke penyimpanan cloud mereka.
Setelah itu, data akan dienkripsi dengan RSA. Uang tebusan akan diminta berdasarkan ukuran perusahaan dan volume data yang dicuri. Grup ini kemudian akan mempublikasikan detailnya pada blog mereka.
Kamluk sangat menyarankan perusahaan dan organisasi untuk tidak membayar uang tebusan apapun yang terjadi.
"Selain itu, selalu melibatkan lembaga penegak hukum dan para ahli selama skenario tersebut terjadi," ujar Kamluk.
"Ingatlah bahwa lebih baik juga untuk mencadangkan data yang Anda miliki, menempatkan pertahanan keamanan siber secara semestinya adalah cara untuk menghindari menjadi korban dari pelaku kejahatan siber ini," dia menambahkan.
Baca juga: Seorang remaja 17 tahun dituduh jadi otak peretasan Twitter
Baca juga: Perusahaan di Indonesia semakin peduli terhadap keamanan siber
Pewarta: Arindra Meodia
Berita Lainnya
Nicholas Saputra hingga Marsha Timothy siap bintangi film drama Tukar Takdir
15 November 2024 11:20 WIB
Indonesia kantongi pendanaan hijau Rp20,15 triliun untuk sektor kelistrikan
15 November 2024 11:05 WIB
Jorge Martin mengaku gugup jelang putaran final perebutan gelar juara dunia 2024
15 November 2024 10:56 WIB
Manfaat mengonsumsi daging nabati untuk kesehatan tubuh
15 November 2024 10:44 WIB
Komite Khusus PBB sebut tindakan Israel di Jalur Gaza adalah genosida
15 November 2024 10:39 WIB
Ekonom proyeksikan surplus perdagangan RI Oktober capai 2,74 miliar dolar AS
15 November 2024 10:19 WIB
WALHI dorong pemerintah untuk optimalkan upaya pengurangan sampah
14 November 2024 17:02 WIB
BKSDA catat masih ada 120 ekor gajah Sumatera yang hidup di TNBT Jambi
14 November 2024 16:48 WIB