Orang gila pun butuh perhatian

id orang gila, pun butuh perhatian

Segerombolan pria dewasa tak berbaju sibuk berebut sebatang rokok yang terselip di antara jari salah seorang di antaranya. Mereka terlihat begitu ceria, meski pancaran wajah dan mata mereka seakan menatap hampa.

Beberapa di antaranya terlihat masih memiliki 'mahkota', meski rambut di kepala menguntai dengan kusut. Namun dua lainnya terlihat lebih kusam tanpa sehelai bulu pun di kepala dan wajahnya.

Mereka terlihat akrab, meski sebenarnya tak saling kenal. Bahkan tanpa sumber 'penggeli' sekali pun, para 'pejantan' itu juga terlihat asyik tertawa, bahkan hingga terbahak.

Di sisi lain namun pada ruang berbeda, segerombolan pria dewasa lainnya juga terlihat sama. Beragam tingkah dan keanehan kerap dimunculkan para 'pejantan-pejantan' itu. Berlari, bergelut, tertawa dan saling berebut sebuah benda yang tak begitu penting. Namun mereka terlihat saling mengasihi. Semangkuk nasi terlihat menggiliri mulut-mulut mereka yang lahap.

Sesaat keceriaan mereka terhenti, ketika 'kamera ANTARA' menyorot beberapa dari mereka yang memang tengah mengalami gangguan kejiwaan. Salah seorang di antaranya kemudian tiba-tiba berteriak, seperti memanggil nama seseorang yang dikenalnya, namun berada pada kelompok berbeda.

Teriakan seorang penghuni salah satu kamar di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) 'Tampan' Pekanbaru, Provinsi Riau, itu ternyata tertuju pada salah seorang pewarta Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA yang sengaja berkunjung memantau ragam kegiatan di RSJ milik pemerintah itu, Minggu (30/10).

Lelaki itu Dedi Syahputra. Dia menjalani perawatan di RSJ 'Tampan' Pekanbaru sejak tiga tahun silam, setelah keluarganya tak lagi sanggup untuk menjaga dan merawatnya.

Dedi menurut dokter yang merawatnya mengalami gangguan jiwa yang kian parah setelah tidak lagi mampu menerima kenyataan lemahnya ekonomi keluarga.

"Saat pertama kali masuk ke RSJ, Dedi sempat terpaksa dikarangkeng dan diasingkan di sebuah kamar kecil khusus karena gangguan kejiwaannya sangat parah. Bahkan semua orang yang melintas sempat menjadi sasaran amukanya yang tak tentu arah," kata seorang penjaga RSJ Tampan, Suliandra Parulian.

Menurut Suliandra, kondisi demikian biasa bagi mereka yang baru mengalami gangguan jiwa. "Setelah seminggu mereka pasti akan lebih tenang. Sama halnya seperti Dedi, setelah satu minggu di karangkeng dia kemudian disatukan dengan penderita kejiwaan lainnya," ujarnya.

Dari keterangan keluarga dan berdasarkan hasil riset tim medis, kata Suliandra, Dedi menderita penyakit kejiwaan setelah tidak mampu menanggung beban ekonomi keluarganya yang memang terkenal sangat miskin.

"Pelan-pelan, Dedi kemudian sering marah-marah tanpa sebab yang jelas. Bahkan ayah kandungnya nyaris menjadi korban sabetan senjata tajam yang tak sengaja berada dalam genggamannya," kata Suliandra.

Ujung Tombak

Dedi, sepengatahuan ANTARA dan berdasarkan pengakuan sejumlah keluarga, sebelumnya atau ketika waras merupakan anak yang taat beribadah, bahkan sempat menjadi ujung tombak perekonomian keluarga.

Demi menghidupi kedua orang tuanya yang sakit-sakitan dan menyekolahkan seorang adik laki-lakinya, Dedi bersedia kerja secara serabutan siang dan malam, bahkan berutang sana-sini.

Puncak dari hilangnya kesadaran sang superhero keluarga itu, berawal dari kepanikannya yang membabi buta. Utangnya terhadap banyak orang demi kesembuhan kedua orang tua membuat dia putus asa bahkan mulai sering kehilangan akal.

Dia yang biasa bergaul dengan keceriaan, seketika berubah menjadi pendiam dan tidak lagi memiliki ketegaran, seperti yang biasa diperagakannya selama belasan tahun membantu perekonomian keluarga dan menyekolahkan adik tunggalnya yang kini beranjak dewasa.

"Perilaku pendiamnya hanya bertahan sekitar tiga bulan, sebelum kemudian dia di tahun 2008 kembali mulai ingin berbicara. Namun arah pembicaraannya dan apa yang dibicarakannya justru semakin tidak dimengerti banyak orang," kata Putra, adik kandung Dedi.

Kemudian, kata Putra, Dedi juga kerap marah dan sering mengamuk kepada siapa saja yang berada di dekatnya, meski tidak ada alasan kuat dan jelas.

"Kondisi dia semakin parah. Kami tidak lagi sanggup menjaganya. Dia juga tidak lagi mau bekerja dan membantu orang tua, hingga akhirnya kami kirim ke RSJ," kata Putra.

Dedi adalah satu dari seratusan orang yang menghuni RSJ 'Tampan' Pekanbaru. Mereka yang juga mengalami gangguan kejiwaan dengan latar yang beragam. Penyebabnya mulai dari dampak tekanan ekonomi, rumah tangga, bahkan politik.

Beruntung

Bahkan Dedi menurut Staf Layanan Kesehatan Pasien Kejiwaan Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Tampan Pekanbaru, Antoni, masih lebih beruntung dibanding sejumlah pasien lainnya yang justru ditemukan di jalan atau tanpa ada keluarga yang mengakuinya.

"Setiap bulan, selalu ada pasien baru yang masuk ke RSJ 'Tampan' tanpa identitas yang jelas. Keberadaan keluarga dan statusnya terkadang baru diketahui setelah mereka pulih atau kembali sadar," ujarnya.

Sepanjang Oktober 2011 ini, ada sebanyak empat pasien telantar yang belum diketahui keluarganya. Keempatnya menurut Antoni merupakan laki-laki dewasa yang umurnya berkisar antara 27 hingga 35 tahun.

"Para pasien yang belum diketahui identitasnya secara jelas itu, sebelumnya terjaring dalam razia gelandangan khusus penderita kejiwaan di Pekanbaru," katanya.

Direktur Medik dan Keperawatan RSJ 'Tampan' Pekanbaru, Nunik Sukaryaningsih dalam kesempatan terpisah mengatakan, saat ini keempat pasien tersebut sedang menjalani perawatan dan pengawasan intensif petugas medis, mengingat penyakit kejiwaan yang dialami keempatnya tergolong kronis.

"Kami juga terus berusaha untuk melacak keberadaan keluarganya. Upaya pencarian keluarga yakni dengan melacak asal usul keempat pasien kelainan jiwa itu," kata Nunik.

Nunik kembali menjelaskan, keberadaan pasien berjuluk 'MR X' atau yang belum diketahui keluarga, setiap bulan selalu saja ada di RSJ Tampan Pekanbaru.

Namun keberadaan mereka selalu bergilir. Para 'Mr X' yang telah ditemukan keluarganya, kata Nunik setelah sehat kemudian dipulangkan.

Sementara ada juga yang telah setengah sehat, namun keluarganya belum diketemukan. "Nah, yang demikian kami berdayakan di RSJ untuk membantu petugas dalam bersih-bersih dan kegiatan lainnya," ujarnya.

Selama ini menurut Nunik, pihaknya bekerja sama dengan Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) selalu melakukan razia gelandangan yang terindikasi mengalami gangguan kejiwaan, khususnya untuk wilayah perkotaan.

"Razia ini kami lakukan setiap masuknya laporan tentang keresahan masyarakat terhadap keberadaan penderita kejiwaan yang berkeliaran dijalanan dan wilayah permukiman warga. Setiap razia, kami juga selalu menjaring penderita jiwa baru," katanya.

Nunik mengatakan, masing-masing penderita kejiwaan yang terjaring memiliki tingkat kondisi yang beragam, mulai dari kronis atau gangguan kejiwaan yang parah hingga yang hanya stres akibat masalah yang dihadapinya.

"Bagi yang parah penyakitnya (gangguan jiwa), akan diinapkan di ruang perawatan khusus dan mendapatkan layanan kesehatan secara intensif," ujarnya.

"Sementara bagi yang ringan, kemungkinan akan dihadapkan langsung ke tim ahli yang mampu 'menerawang' kondisi kejiwaan pasien tersebut," ujar Nunik.

Selalu Meningkat

Menurut Nunik Sukaryaningsih, penderita kejiwaan khusus di Provinsi Riau cenderung meningkat bahkan cukup signifikan.

"Rata-rata dari mereka ada yang gila karena tekanan ekonomi, tekanan keluarga bahkan politik hingga berbagai masalah lainnya yang menimpa," ujarnya.

Bahkan, menurut dia, survei Kementerian Kesehatan sempat menyebutkan bahwa sebanyak 30 persen dari sekitar 235 jita jiwa (2010) jumlah warga Indonesia tengah mengalami gangguan kejiwaan.

Dari 30 persen itu, katanya, lebih dari 1,3 persen dinyatakan perlu menjalani perawatan intensif di RSJ akibat kondisi klinis kejiwaannya sudah kian parah.

Direktur Medik dan Keperawatan Rumah Sakit Jiwa 'Tampan' Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, ini menambahkan, dari 1,3 persen warga tersebut, ternyata yang telah dan tengah menjalani perawatan intensif tidak sampai satu persennya.

Selebihnya masih berkeliaran di jalan-jalan, bahkan kompleks permukiman penduduk. Kondisi itu menurut Nunik disebabkan berbagai hal, salah satunya karena minimnya perhatian pemerintah dan berbagai pihak terkait.

"Bagaimanapun, dia adalah saudara kita juga, dan mereka pun butuh perhatian dari kita semua," demikian Nunik Sukaryaningsih.