Berikrar pada gajah, bumi dan manusia

id gajah, PT CPI,LPG Minas

Berikrar pada gajah, bumi dan manusia

Petugas medis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau memberikan cairan infus kepada seekor anak gajah sumatera liar yang terluka saat proses evakuasi di Kecamatan Sungai Mandau, Kabupaten Siak, Riau, Rabu (16/10/2019). (ANTARA/Nimrod).

Pekanbaru (ANTARA) - Rimba dengan pelbagai fauna dan flora, sungai dan suak, ceruk dan rantau, mengilhamkan imaji Melayu yang sasa. Sebuah impian puak yang rindu ketenteraman, kebajikan dan pembagian ruang hidup dengan seksama.

Imajinasi Melayu bukan resep untuk menjadi ras arya yang perkasa, rasa superior dan ego puak yang berhasrat menguasai benda dan pusaka.

Rimba adalah perlambang idealisme Melayu, keinginan untuk berpangku-pangku dengan hewan, bersatu dengan tumbuhan dan ekologi ciptaan Tuhan. Bait Rimba Adalah Ruh Pujangga, Dr Elviriadi.

Bagi segelintir manusia, gajah merupakan keluarga yang bisa diajak untuk berbagi cerita dan cinta. Gajah bisa sangat ceria, namun juga bisa meneteskan air mata.

Banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa satwa bongsor itu memiliki kecerdasan, perasaan, dan membedakan bahasa.

Meski mereka menganggap gajah satwa yang layak untuk diajak bercengkerama, namun sebagian besar manusia menilai hewan berkulit tebal itu sebagai hama.

Begitu banyak konflik antara gajah dan manusia. Bahkan, di Riau konflik tercatat meningkat dua kali lipat, dibanding periode yang sama 2018 lalu.

Konflik yang membuat hubungan gajah dan manusia di Riau tak lagi harmonis, hingga mereka saling memusuhi.

Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Suharyono kepada Antara mengatakan pada Januari-Juni 2019, jumlah konflik gajah meningkat dan tercatat ada 30 kasus.

Kasus banyak terjadi pada Juni yakni sebanyak 10 kasus. Di Bengkalis dua kasus serta Kampar dan Kota Pekanbaru masing-masing empat kasus.

Sejak awal tahun ini, konflik gajah tergolong tinggi. Mulai dari Januari ada empat kasus meningkat jadi lima kasus pada Februari. Bulan Maret mereda jadi hanya satu kasus dan meningkat lagi pada April dan Mei masing-masing ada empat dan enam kasus.

Seekor anak Gajah Sumatra (elephas maximus sumatranus) jinak berusaha menjangkau kamera fotografer di Taman Nasional Tesso Nilo, Provinsi Riau, Selasa (13/8/2019). (ANTARA/FB Anggoro)


Kasus yang kini sedang ditangani adalah kawanan 11 gajah sumatera yang bergerak di dekat permukiman dan kebun milik warga.

Peristiwa ini terjadi di Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau.

Kondisi ini yang kemudian mendorong BBKSDA Riau perlu melakukan langkah tepat dan cepat, mitigasi dan pemulihan.

Rencana baik itu yang juga kemudian mendapat dukungan dari perusahaan minyak dan gas terbesar di Riau, PT Chevron Pacific Indonesia (PT CPI).

Sebuah rencana yang secara global berikrar pada Bumi, Gajah dan Manusia. Tentang hutan dan pelestarian gajah.

"Kita sedang merancang kerjasama dengan Chevron untuk melakukan mitigasi konflik gajah. Ini langkah dan skenario besar," kata Kepala BBKSDA Riau, Suharyono.

Skenario mitigasi gajah dan penyelamatan hutan diawali dengan pembahasan pelestarian satwa bernama latin Elephas Maximus Sumatranus di pusat latihan gajah (PLG) Minas dan Sebanga yang merupakan bagian dari bantuan PT CPI.

Pembahasan dua arah pun melebar untuk melindungi gajah dan habitatnya, hutan.

Salah satu kesepakatan yang akan menjadi batu loncatan besar adalah dengan memetakan pergerakan kelompok-kelompok gajah di Riau. Pemetaan itu dilakukan dengan memasang global positioning system (GPS) ke ketua kelompok gajah.

Untuk tahap awal, dia mengatakan terdapat tiga kelompok gajah yang ditargetkan untuk dipasang alat seharga mobil minibus seken tersebut.

Ia menuturkan populasi gajah di Riau saat ini diperkirakan lebih dari 200 ekor. Mereka semua tersebar di delapan kantong gajah, di antaranya Taman Nasional Tesso Nilo, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Balai Raha, Mahato dan lainnya.

Keberadaan gajah yang menyebar itu kemudian berpotensi menimbulkan konflik, baik langsung maupun tidak.

Sehingga, dia berharap langkah awal dengan memasangkan alat GPS seharga Rp80 juta itu, dapat memonitor pergerakan gajah sehingga saat memasuki perkebunan sawit atau pemukiman warga langsung dapat ditangani dengan baik.

Selain itu, alat itu juga bisa melindungi gajah dari aksi perburuan. "Dengan alat ini kita bisa melacak pergerakan gajah ke mana? Misalnya, ketika akan memasuki perkebunan atau pemukiman bisa langsung dilakukan tindakan pencegahan. Konflik diharapkan bisa dikurangi," ujarnya.

Penggunaan alat serupa sejatinya telah diterapkan di provinsi tetangga, Nangroe Aceh Darussalam dan Jambi.

Dokter hewan dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (kiri) mengobati anak Gajah Sumatera liar di Pusat Latihan Gajah (PLG) Minas, Riau, Rabu (19/9/2018). (ANTARA/FB Anggoro)


Namun, meski Riau baru akan memulai penggunaan alat tersebut, dia mengatakan BBKSDA dan Chevron akan melakukan inovasi berupa penggunaan deteksi yang lebih akurat dan cepat. Selain melakukan mitigasi, rencana besar lainnya adalah pelestarian hutan “rumah” gajah.

Suharyono yang sangat mengapresiasi langkah besar Chevron itu pun berharap upaya itu dapat menjadi angin segar untuk menjaga satwa dan habitatnya di Riau.

Alangkah indahnya jika rencana itu bisa memuliakan bumi, gajah dan manusia, agar hidup berdampingan dengan lebih layak.

"Kami sepakati juga dengan Chevron bahwa sebagai langkah awal mencapai menuju kerjasama lebih luas," jelasnya.

Chevron sendiri saat ini memiliki warisan besar berupa PLG Minas, Siak, yang menjadi habitat bagi 17 gajah jinak.

Belakangan, keberadaan PLG Minas dinilai BBKSDA Riau tak lagi representatif dan ada rencana untuk memindahkannya ke Hutan Talang di Kabupaten Bengkalis.

Suharyono menjelaskan ada dua hal yang menjadi alasan mengapa pusat latihan gajah (PLG) di Minas, Kabupaten Siak, harus dipindahkan ke Hutan Talang. Pertama, karena kondisi fasilitas yang ada di Minas dinilai tidak layak. Kedua, pemindahan ini bisa menyelamatkan Hutan Talang yang tersisa. "Saya yakin kepala balai sebelum saya pun sudah berpikir, tapi mungkin tak ada yang beraningomong. Kalau saya berani," katanya.

Ia menjelaskan, kondisi PLG Minas kurang sehat untuk gajah jinak seperti minimnya fasilitas kolam untuk gajah, hingga keadaan lingkungan.

Selain itu, akses ke PLG Minas sangat jauh sehingga menyulitkan mobilisasi gajah jinak apabila diperlukan untuk operasi menghalau gajah liar.

Keadaan yang kurang sehat itu dinilainya secara tidak langsung mempengaruhi kondisi puluhan gajah jinak di sana.

Pengaruh lainnya yang mungkin, hingga kini tidak ada pejantan di PLG Minas yang berhasil menghasilkan keturunan dari betina yang ada.

Alasan kedua pemindahan PLG Minas adalah untuk mencegah rencana Pemerintah Kabupaten Bengkalis yang akan membangun jalan lingkar dengan membelah Hutan Talang.

"Kalau jalan dibikin di sana, saya yakin hutan itu akan hilang. Karena lebarnya 20 meter itu pasti hilang karena muncul warung dan sebagainya. Kedua masalah ini kalau bisa kita tangani bersama, jadikan Hutan Talang pusat konservasi gajah namanya pusat konservasi dan edukasi gajah Sumatera Riau," ujarnya.

Pusat gajah yang baru nantinya direncanakan punya luas 400 hektare, gabungan dari kawasan hutan dan hutan lindung yang jadi aset perusahaan minyak Chevron.

Apabila ini berhasil, pusat konservasi dan edukasi gajah Riau akan jadi salah satu warisan berharga dari Chevron untuk konservasi di Riau mengingat kontrak PT CPI di Bumi Lancang Kuning ini akan habis pada 2021.