Jakarta (ANTARA) - Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Galuh Octania menyatakan aktivitas penyerapan beras yang dilakukan oleh Bulog masih terhambat oleh harga pembelian pemerintah (HPP) yang dinilai perlu untuk diperbaharui.
"Penyerapan beras Bulog masih terhambat Harga Pokok Penjualan (HPP). Dasar hukum implementasi HPP diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 yang artinya implementasi HPP sudah berjalan sekitar empat tahun," kata Galuh Octania dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Baca juga: AS jual beras untuk pertama kalinya ke China setelah perang dagang
Galuh menilai bahwa pemerintah perlu mengevaluasi besaran HPP dan melihat realitasnya apakah besaran masih sesuai dengan keadaan saat ini atau tidak, serta jalur pendistribusian beras yang dipersempit harus dimaksimalkan oleh Bulog untuk menyediakan beras yang berkualitas baik.
Selain itu, ujar dia, pemaksimalan pendistribusian beras Bulog juga dapat dioptimalkan oleh skema operasi pasar Bulog. Kehadiran Bulog masih sangat diperlukan untuk dapat membantu pemerintah memasok beras bagi konsumen. Pemerintah dan Bulog harus saling bersinergi agar dapat menjaga dan menyalurkan pasokan beras yang memadai baik itu dari segi kualitas maupun kuantitas.
Sebelumnya, Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso berpendapat bahwa sudah saatnya menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras.
"Melihat situasi sekarang, HPP harusnya sudah naik," kata Sutarto setelah mengisi acara menghadiri acara "Prospek dan tantangan padi hibrida di Indonesia," di Jakarta, Selasa (6/8).
HPP gabah dan beras saat ini masih mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) nomor 5 tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Menurut inpres tersebut, harga pembelian petani untuk gabah kering panen (GKP) dipatok Rp3.700 per kilogram, gabah kering giling (GKG) Rp4.600 per kilogram, dan beras Rp7.300 per kilogram.
Mantan Direktur Umum Perum Bulog ini juga tidak tertarik dengan harga fleksibilitas. Sebab menurut dia, pada prakteknya petani akan ditekan dengan harga Inpres. Dengan kata lain, saat panen harga akan jatuh, sedangkan pada saat petani tidak memiliki barang, harga gabah dan beras akan naik.
Sutarto setuju dengan pembatasan harga beras. Salah satunya adalah dengan memperbaiki Inpres 2015 tersebut. Setelah Inpresnya diperbaiki, pemerintah harus membeli sesuai dengan Inpres tersebut, khusus untuk masyrakat kurang mampu.
Statisnya HPP menurut Sutarto memiliki andil dalam membuat petani sulit mendongkrak kesejahteraannya.
"Sekarang kalau harga beras tetap dipertahankan seperti 2015 padahal UMR (Upah Minimum Regional) naik, kan petaninya tidak mendapatkan nilai tambah. Makanya petani cenderung menjual sawah, makin miskin," ucapnya.
Baca juga: Bulog targetkan serap padi 4.000 ton di Riau-Kepri
Baca juga: Begini cara Bulog jamin ketersedian bahan pokok di Riau
Pewarta : M Razi Rahman
Berita Lainnya
Menteri ESDM Bahlil sebut kenaikan PPN 12 persen tak pengaruhi harga BBM
19 December 2024 16:58 WIB
Prof Haedar Nashir terima anugerah Hamengku Buwono IX Award dari UGM
19 December 2024 16:35 WIB
NBA bersama NBPA hadirkan format baru untuk laga All-Star 2025
19 December 2024 16:16 WIB
PPN 12 persen, kebijakan paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi
19 December 2024 15:53 WIB
Pertamina Patra Niaga siap lanjutkan program BBM Satu Harga di 2025
19 December 2024 15:47 WIB
BNPT-PBNU sepakat terus perkuat nilai Pancasila cegah ideologi radikalisme
19 December 2024 15:38 WIB
Maskapai Garuda Indonesia tambah pesawat dukung operasional di liburan
19 December 2024 15:19 WIB
Kemenekraf berkolaborasi untuk bantu promosikan produk kreatif
19 December 2024 14:52 WIB