Sentuhan Dana Desa untuk petani semangka di Negeri Sawit

id dana desa, dana desa siak, semangka siak

Sentuhan Dana Desa untuk petani semangka di Negeri Sawit

Petani semangka di Kampung Dayun, Kabupaten Siak. (dok Antarariau/19)

Siak (ANTARA) - Sudah lumrah diketahui Provinsi Riau merupakan tempat tumbuhnya tanaman kelapa sawit yang luas. Bahkan menjadi yang terluas di Indonesia yang merupakan pengekspor minyak sawit terbesar di dunia.

Tak terkecuali bagi Siak sebagai salah satu kabupaten di Provinsi Riau. Kelapa Sawit juga menjadi komoditas utama di daerah berjuluk Negeri Istana ini. Mulai dari masyarakat hingga perusahaan, sejauh mata memandang pohon Kelapa Sawit yang bakal terlihat.

Meski diakui bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tapi seragamnya produk akan rentan terhadap gejolak harga. Jika terjadi penurunan maka segala sendi ekonomi masyarakat akan turut terdampak.

Maka dari itu perlu dilakukan diversifikasi komoditas sehingga tak hanya bertumpu pada sawit semata. Hal ini bisa dilakukan mulai dari akar rumput yakni dari masyarakat Desa atau di Siak disebut dengan kampung.

Terlebih lagi dengan sudah adanya Alokasi Dana Desa (ADD), program pemberdayaan ekonomi untuk diversifikasi komoditas bisa diupayakan melalui dana tersebut. Hal itu ada dalam program "One Village, One Product" yang turut didukung oleh Dana Desa.

Mau tak mau, pemerintah desa harus bisa mencari ide agar wilayahnya memiliki ciri khas dan produk unggulan yang tidak umum. Seperti yang dilakukan Kampung Dayun di Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak. Pemerintah kampungnya mencetuskan buah semangka sebagai produk unggulan meskipun sawit masih mendominasi mata pencaharian warga.

Dayun yang berjarak 30 kilometer dari Ibukota Kabupaten Siak yakni Kecamatan Siak memang didominasi komoditas sawit. Oleh karena itulah ide untuk mencetuskan semangka sebagai produk unggulan tidak datang begitu saja.

Kepala Desa atau di sini disebut Penghulu Kampung Dayun, Nasha Nugrik, mengungkapkan ide tersebut datang juga berhubungan dengan masalah kelapa sawit. Dulunya pohon sawit yang sudah tidak produktif lagi sering dibakar untuk ditanam kembali dengan yang baru.

Sampah sawit ditelantarkan lalu dibakar dan lahan akan menganggur dalam waktu tertentu.

Begitu juga ketika sawit baru ditanam, maka akan menunggu waktu juga sekitar tiga tahun agar bisa dipanen.

"Pertama untuk mencegah kebakaran lahan, banyak dulu untuk buka lahan baru dibakar, sawit juga ditinggal jelang tiga tahun. Supaya ada aktivitas setiap hari untuk memantau kebakaran, itulah coba tanam semangka. Itu ada dari Pak Iwan yang dua hektare bagus hasilnya," ujarnya.

Kemudian dialokasikanlah Dana Desa bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebanyak Rp20 juta untuk membuat Sekolah Lapangan Semangka. Saat itu tahun 2016, satu-satunya petani semangka di sana bernama Iwan Tarigan diminta menjadi pembimbing.

Awalnya Sekolah Semangka itu diikuti 50 orang dari perwakilan kelompok tani. Namun seiring dalam perjalanannya yang serius hanya 10 orang.

"Susah awalnya karena mereka tak yakin. Biasalah masyarakat melihat sawit lebih prospek, jadi pemikirannya belum terbuka semua," ungkap Nasha.

Namun seiring berjalannya waktu, hasil semangka di Kampung Dayun dari awalnya hanya empat hektare yang ditanam oleh Iwan Tarigan saja, sekarang ini sudah ada sekitar 28 hektare kebun semangka.

"Sejak itu, yang lain mulai ngikut dan saat ini sekitar 28 orang yang menanam semangka, 18 yang aktif," imbuhnya.

Nasha mengatakan mulai banyaknya masyarakat yang menanam semangka dikarenakan nilai ekonomisnya yang cukup lumayan. Hitung-hitungannya, modal satu batang semangka adalah Rp8 ribu. Satu batang akan menghasilkan dua buah dimana satu buah itu beratnya 4 kg sehingga pada satu batang akan didapatkan 8 kg semangka.

"Serendah-rendahnya harga semangka adalah Rp2000 per kilo, maka akan didapatkan Rp16 ribu satu batang. Jadi, untungnya sama dengan modal yakni Rp8 ribu," tuturnya.

Sekarang ini, masyarakat tidak hanya menjual buah semangka, petani Kampung Dayun juga membuat produk turunannya.

Dari ADD juga diprogramkan pelatihan dengan anggaran Rp15 juta tahun 2017 kepada ibu-ibu untuk membuat jeli semangka dan manisan kulit semangka. Dulunya kulit semangka dibuang percuma, sekarang mulai dimanfaatkan.

Pada tahun 2018 juga diberikan pelatihan untuk mengurus izin dari Kementerian Kesehatan agar produk tersebut layak dikonsumsi secara aman. Selain itu juga dianggarkan pembelian oven untuk membantu membuat jeli seharga Rp5 juta.

Tak hanya itu, untuk menegaskan lagi bahwa semangka merupakan produk unggulan Kampung Dayun maka dibuat jugalah kerajinan batik dengan motif daun semangka. Hal ini nanti untuk buah tangan ketika Taman Nasional Zamrud dibuka di Daerah Dayun.

Numpang di Lahan Sawit

Menanam semangka dinilai cukup menguntungkan karena sistemnya tumpang sari dengan lahan kelapa sawit. Oleh karena itu, untuk modal lahan bisa dikatakan tak ada yang dikeluarkan.

Selain itu, seperti yang diungkapkan sebelumya bahwa menanam semangka bisa menjadi aktivitas memantau kebakaran lahan, tumpang sari ini juga menguntungkan sawit. Hal tersebut karena kebutuhan pupuk sawit akan tertolong oleh pupuk yang diberikan kepada Semangka.

"Dengan tumpang sari otomatis sawitnya terpupuk juga, rumput yang mengganggu terganti juga dengan semangka yang sifatnya merambat," sambung Nasha.
Iwan Tarigan (dok Antarariau/19)


Hal senada juga dikatakan oleh petani pelopor semangka di Kampung Dayun, Iwan Tarigan yang juga ketua kelompok tani di sana. Hal ini saling menguntungkan karena bisa membersihkan rumput dan pupuk semangka ada juga yang termakan sawit.

Dia mengaku dirinya sudah fokus sebagai petani semangka sejak lima tahun terakhir. Sebelumnya dia juga menanam palawija seperti cabai, sayur mayur, dan terong.

Selama itu pula, dirinya hanya menumpang di tanah orang untuk menanam semangka karena tak punya lahan sendiri.

Iwan beralasan tidak berkebun sawit karena perlu lahan yang luas dan lagi pula dirinya tak ada modal untuk itu. Pasalnya, untuk dua hektare lahan saja, jumlah minimal untuk berkebun sawit, harganya bisa sampai Rp200 juta.

"Itu kan berat, kalau semangka bisa dengan modal kecil-kecilan dan numpang di lahan orang. Untuk pupuk karena sudah biasa, bisa juga ngutang belinya," ungkapnya.

Saat ini lahan yang ditanaminya dengan semangka ada sekitar enam hektare bersama tanaman kelapa sawit. Jika dihitung yang terpakai untuk semangka ada sekitar empat hektare dan bisa dipanen sekali dalam 2,5 bulan.

Dalam satu hektare dirinya bisa memanen secara normal adalah sebanyak 18 ton. Sedangkan harga rata-rata saat ini untuk Semangka sekitar Rp2.700 per kilogram.

"Untung satu banding satu dengan modal. Dijualnya ada ke Pekanbaru, Kerinci, Palembang, Lampung bahkan sampai Pulau Jawa. Sudah ada yang menampung, tergantung kecocokan harga," jelasnya.
Semangka di Kampung Dayun (dok Antarariau/19)


Petani semangka lainnya, Nanda menyampaikan juga tengah fokus pada komoditas tersebut dengan luasan lahan tiga hektare.

Dirinya juga menanam semangka sistem tumpang sari di lahan sawit orang lain.

Untuk sistem tumpang sari ini tidak bisa menetap pada lahan sawit tertentu. Pasalnya, jika pohon sawit sudah tinggi maka daunnya akan menghalangi cahaya matahari ke semangka.

Maka dari itu banyak pemilik lahan sawit yang memberikan tumpangan lahan yakni pada masa replanting atau penanaman kembali. Sawit yang sudah berumur 25 tahun ke atas buahnya sudah tidak bagus lagi sehingga harus ditebang.

Akan tetapi banyak juga petani sawit yang masih membiarkannya tua dengan buahnya tetap dijual meskipun murah. Alasannya karena jika ditebang maka bagi sawit yang baru butuh waktu tiga tahun untuk bisa berbuah.

Menanam semangka ini kemudian menjadi solusi sambil menunggu sawit sudah bisa berbuah. Oleh karena itu, banyak yang punya lahan juga mau menumpangkan petani lain untuk menanam semangka.

Meski demikian kendala lainnya, kata Nanda, dalam budidaya semangka adalah pengairan. Jika kemarau maka akan sangat kering sedangkan semangka adalah tanaman yang sangat butuh air.

Oleh sebab itu, di lahan yang ditanami semangka harus ada drum tempat air agar busa selalu disiram. Untuk sumber air pun kadang di sekitar hanya ada beberapa embung rawa sehingga harus digunakan selang untuk dialirkan ke drum.

"Memang kalau lagi musim kemarau menjadi sulit sehingga pengairannya kurang. Sekarang ini kita ambil airnya di rawa dekat kebun karet," sebutnya.

Saat ini Anggaran Dana Desa tahun 2019 di Kabupaten Siak mencapai Rp111 miliar yang dibagi untuk sekitar 122 desa yanga ada. Memang sebagian besar dananya diperuntukkan untuk pembangunan infrastruktur di desa dan pembangunan fisik lainnya.

Meski anggaran untuk membantu petani termasuk petani semangka tergolong kecil, yang penting perhatian sudah ada dan bisa memicu warga petani untuk lebih berkreasi. Termasuk menggelorakan semangka melalui sentuhan dana desa.