Pekanbaru, (Antarariau.com) - Kaum perempuan yang berdomisili pada tujuh daerah pedalaman di Provinsi Riau hingga kini masih tertinggal karena belum mendapatkan sentuhan pemerataan pembangunan dari sisi ekonomi, pendidikan, kesehatan, pembinaan kreativitas untuk menunjang ekonomi.
Penyebabnya antara lain setiap bergantinya pemimpin maka sejumlah kebijakan pembangunan pun berubah, atau tidak berkelanjutan sehingga pembangunan kesetaraan gender di tujuh daerah komunitas itu masih belum merata, kata Helmiwati Kadir, Kepala Bidang Partisipasi Masyarakat dan Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Riau, di Pekanbaru, Jumat.
Menurut dia, kaum perempuan yang berasal dari tujuh komunitas daerah tertinggal itu merupakan asal muasal dari penduduk Melayu Provinsi Riau yang memiliki mata pencaharian melaut dan ke hutan.
Ia mengatakan, masyarakat pedalaman itu hingga kini masih menganut azas ekonomi "tapak lapan" yang artinya ekonomi masyarakat Melayu yang berpedoman pada kearifan alam seperti bulan, bintang dan musim atau mata angin. Dalam hal ini penggunaan insting mereka sangat kuat.
"Banyak hal yang menjadi panutan dalam menjalani kehidupan sehari-hari masyarakat daerah itu yang berfilosofi sesuai tunjuk ajar Melayu iu, selain itu masyarakat pedalaman di Riau pada tujuh komunitas itu, telah memberikan pengetahuan pada masyarakat tentang bagaimana bercocok tanam yang baik dan menangkap ikan," katanya.
Sejumlah tradisi lainnya yang sangat populer berasl dari daerah ini seperti Tari Gogi dan rentak Bulian, merupakan tradisi turun temurun saat nelayan lelah setelah menangkap ikan dan pada malam harinya mereka menari.
Kendati persoalan KDRT di daerah itu jarang terjadi, lebih karena mereka masih menerapkan hukum adat yang sangat kuta anatralain hukuman rajam atau dibuang sepanjang adat bagi masyarakat yang melanggara hukum adat.
Namun demikian mereka tetap harus dibina secara maksimal untuk mendapatkan pemerataan pembangunan, termasuk menyelesaikan persoalan yang kini masyarakat suku pedalaman itu, perlu mendapat perhatian pemerintah terkait banyaknya perempuan yang telah berkeluarga tidak memiliki buku nikah, karena mereka masih menganut aliran kepercayaan (animisme).
"Aliran kepercayaan itu masih terjadi khususnya dalam prosesi pernikahannya, mereka hanya disahkan oleh kepala suku yang sejak turun temurun menggunakan tradisi yang mempedomani pada seekor anjing. Jika anjing sudah mengeluarkan suara "king" maka berikutnya kepala suku menyatakan perkawinan mereka itu sudah sah,"katanya.
Selain DP3A, katanya, persoalan pengentasan masyarakat pedalaman tersebut sudah harus menjadi tanggungjawab bersama Dinas Sosial, Dinas Kebudayaan dan Kementrian Agama dan lainnya.
Ia menyebutkan tujuh komunitas tempat domisilinya kaum perempuan di daerah tertinggal itu berasal dari Suku Laut di Tembilahan, Suku Bonai di Kabupaten Rokan Hulu, Suku Sakai di Kabupaten Siak, Suku Talang Mamak di Rengat, Suku Petalangan di Kabupaten Pelalawan, Suku Akit di Selat Panjang Bengkalis, dan Suku Doano di Tembilahan. ***4***T.F011
Berita Lainnya
Dompet Dhuafa Riau berdayakan pengrajin perempuan kembangkan produk anyaman
13 December 2024 16:43 WIB
Wapres Gibran Rakabuming Raka ingin Fatayat NU jadi tempat berlindung nyaman perempuan
13 December 2024 13:26 WIB
Program Relawan Sapa tingkatkan perlindungan perempuan dan anak di Meranti
10 December 2024 17:33 WIB
Kementerian PPPA dukung PLN tingkatkan kepemimpinan perempuan di lingkungan perseroan
02 December 2024 20:42 WIB
Lapas Perempuan di Pekanbaru berupaya ubah prilaku puluhan WBP pencandu narkoba
28 November 2024 16:13 WIB
Prudential Indonesia berdayakan perempuan untuk lebih cerdas kelola keuangan
21 November 2024 12:15 WIB
Fenomena akad KPR oleh kaum perempuan makin meningkat
09 November 2024 11:45 WIB
Aktor Reza Rahadian debut sebagai sutradara, angkat kisah perempuan
30 October 2024 10:34 WIB