Kairo (ANTARA) - Jumlah warga Palestina yang tewas akibat serangan Israel yang masih berlanjut di Jalur Gaza melampaui 60.000 orang, dengan 140.000 lainnya terluka, menurut pernyataan otoritas kesehatan di Gaza pada Selasa (29/7). Dari total korban tewas tersebut, hampir setengahnya merupakan anak-anak dan perempuan.
Dari satu hingga 60.000, di balik angka korban tewas yang terus meningkat, semua itu adalah kehidupan yang hilang satu per satu, termasuk anak-anak tak berdosa, orang tua pekerja keras, dan kaum muda yang penuh semangat, mencerminkan sebuah kenyataan yang sungguh memilukan.
Baca juga: Dukungan Menguat, Singapura Siap Akui Kedaulatan Palestina
Sejak pecahnya konflik Israel-Palestina pada 7 Oktober 2023, setelah serangan Hamas terhadap Israel yang menewaskan sekitar 1.200 orang, Gaza hampir berubah menjadi mimpi buruk yang nyata, dengan 90 persen penduduknya terpaksa mengungsi, pasokan kebutuhan dasar menjadi sangat langka, dan harga-harga terus meroket. Bahkan, upaya untuk menerima bantuan kemanusiaan pun menjadi tindakan yang berisiko tinggi dan mengakibatkan lebih banyak korban jiwa.
Gaza telah menjadi perangkap maut, demikian menurut Jonathan Whittall, penjabat direktur Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UN Office for the Coordination of Humanitarian Affairs/OCHA) untuk Wilayah Palestina yang Diduduki.
"Hampir satu dari tiga orang tidak makan selama berhari-hari. Kasus malanutrisi melonjak dengan 90.000 perempuan dan anak-anak sangat membutuhkan perawatan darurat," ungkap Program Pangan Dunia (World Food Program/WFP) PBB dalam sebuah pernyataan.
Mengakhiri pertempuran harus segera diprioritaskan, dengan penekanan utama pada jaminan keselamatan warga sipil. Dialog dan negosiasi merupakan hal yang esensial, sementara upaya komunitas internasional dalam membangun perdamaian tetap sangat diperlukan. Empat usulan China terkait situasi krisis di Timur Tengah telah mendapat pengakuan secara luas oleh komunitas internasional dan menjadi landasan fundamental untuk menyelesaikan konflik Israel dan Palestina saat ini.
Semua negara di seluruh dunia memiliki tanggung jawab bersama dalam menghadapi situasi ini. Untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina, langkah paling penting yang diperlukan adalah bagi pihak-pihak yang terlibat untuk melepaskan obsesi mereka terhadap upaya "melenyapkan pihak lawan" dan secara tulus menerima "solusi dua negara."
Seperti yang ditegaskan kembali oleh Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dalam konferensi internasional tingkat tinggi mengenai "Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara" yang digelar pada Senin (28/7), solusi dua negara merupakan satu-satunya jalan yang layak menuju perdamaian yang adil dan berkelanjutan. Jika Palestina dan Israel tetap inklusif dan berupaya untuk hidup berdampingan secara harmonis, maka perdamaian akan terwujud.
Baca juga: Tragedi Gaza Memburuk: PBB ungkap lojakan Korban Jiwa
Masyarakat internasional harus memberikan bantuan dan mencegah terjadinya tragedi yang lebih besar di Gaza. Setelah Israel setuju untuk secara parsial mencabut blokade di Gaza beberapa hari yang lalu, banyak negara dengan cepat menyalurkan bantuan ke Jalur Gaza berupa pengiriman makanan serta obat-obatan melalui darat dan udara (airdrop).
Kendati demikian, semua ini masih jauh dari cukup. Dalam jangka pendek, untuk secara efektif menghentikan memburuknya krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Gaza, semua pihak harus mendukung PBB dalam memberikan bantuan sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Israel berkewajiban memberikan jaminan keamanan dan memfasilitasi masuknya serta pendistribusian bantuan. Dalam jangka panjang, hanya dengan tercapainya perdamaian sejati, masyarakat di wilayah tersebut dapat kembali menjalani kehidupan sehari-hari mereka.
Dunia tidak boleh berpaling. Setiap hari yang berlalu tanpa tindakan hanya memperburuk penderitaan. Prioritas utama saat ini adalah mengakhiri kekerasan, meredakan krisis kemanusiaan, serta mengembalikan martabat dan harapan bagi rakyat di Gaza.