Pekanbaru, (Antarariau.com) - Asosiasi Pengusaha Cangkang Sawit Indonesia (Apcasi) menyatakan hanya tinggal tersisa empat dari puluhan perusahaan yang sanggup mengekspor cangkang kelapa sawit, akibat terlalu tingginya pajak yang dibebankan oleh pemerintah sehingga komoditi itu sulit mendapat pembeli.
"Anggota asosiasi ada 35. Dari 2015 ketika pajak mulai meningkat, yang aktif ekspor tinggal 8-10 perusahaan. Sekarang ini mulai bulan Maret 2018, sejak pajak 17 dolar, tinggal empat lagi yang berani ekspor," kata Ketua Umum Apcasi, Dikki Akhmar kepada Antara pada Rakornas Apcasi 2018, di Pekanbaru, Kamis.
Ia mengatakan empat perusahaan yang tersisa berada di Jambi, Padang (Sumatera Barat) dan dua di Riau. Asosiasi kini tengah melobi pemerintah agar menurunkan pajak tersebut karena dinilai tidak masuk akal mengingat komoditi itu merupakan limbah.
Dikki menjelaskan, sejak periode Mei-Juni 2015 pemerintah menetapkan pajak bea keluar (BK) cangkang sawit sebesar 20 persen, dan berkat lobi dari asosiasi nilai tersebut turun menjadi 12 persen dengan beberapa catatan, yakni mulai 2016 cangkang dikenakan pungutan sawit yang disetor ke Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Kemudian pada 2016, dana pungutan sawit dari 3 dolar AS meningkat jadi 8 dolar AS per ton dan pada Maret 2018 naik lagi menjadi 10 dolar AS per ton. Menurut dia, total pajak yang dikenakan untuk komoditi tersebut kini mencapai 17 dolar per ton.
"Sementara kita jual (ekspor) 79 dolar per ton untung 2-3 dolar, negara ambil 17 dolar. Hampir semua pabrik kelapa sawit sangat terpengaruh seperti di Riau, Kalimantan, Sulawesi, Padang, Bengkulu, cangkang sawit banyak sekali di pabrik dan jadi persoalan limbah bagi mereka. Kita tak bisa banyak ekspor, pembeli tak ada dengan harga semahal itu," ujarnya.
Apcasi kini tengah mengajukan lagi supaya pemerintah merevisi besaran pajak untuk cangkang terutama mekanisme penghitungannya yang selama ini berpatokan pada harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). "Tak masuk akal, harga pajak bergantung pada harga CPO jadi kalau harga CPO internasional naik, maka pajak dinaikan CPO dan cangkang naik. Cangkang ini limbah, harga cangkang tidak berubah di pasar," katanya.
Ia menilai, anggapan pemerintah meningkatkan pajak untuk cangkang demi melindungi kebutuhan bioenergi nasional sangat tidak relevan. Sebabnya, Dikki mengatakan ekspor cangkang dilakukan terhadap stok yang tidak tertampung lagi di pabrik-pabrik dalam negeri sebagai bioenergi. Dari estimasi produksi cangkang nasional yang sekitar 7-8 juta ton per tahun, ekspor cangkang hanya 15 persen atau sekitar 1,5 juta ton saja karena selebihnya digunakan untuk sumber bioenergi pengganti batubara dipabrik-pabrik kelapa sawit.
Padahal, potensi pendapatan negara dari ekspor cangkang cukup besar karena permintaan dari luar negeri makin tinggi, seperti dari Jepang, Thailand, Taiwan dan Korea Selatan.
Sementara itu, eksportir cangkang dari PT Radic, Taufik Darmawan, mengatakan terpaksa masih mengekspor cangkang karena terlanjur terikat kontrak dengan perusahaan di Thailand. Meski begitu, volume ekspor dikurangi dari biasanya bisa menampung 20 ribu ton jadi tinggal 7.000 ton saja.
"Mau tidak mau kita tetap ekspor. Masih ada marjin, tapi sangat sedikit dan bisa habis terkena 'overhead' (biaya tak langsung) dari produksi," kata Taufik. ***3***