Pekanbaru (Antarariau.com) - Pengamat pekerjaan infrastruktur dari Universitas Andalas, Ir. Benny Dwika Leonanda, MT., IPM, mengatakan 14 kali kecelakaan kerja pembangunan infrastruktur setahun terakhir di tanah air terjadi sebagai akibat dari kelalaian manusia.
"Kecelakaan tersebut seharusnya tidak terjadi, jika setiap pekerjan konstruksi bisa diprediksi dari awal, mulai dari tahap perencanaan, pembangunan, sampai dengan pengoperasian," kata Benny Dwika Leonanda, yang dihubungi dari Pekanbaru, Rabu.
Pendapat demikian disampaikannya terkait kondisi rancang bangun sejumlah infrastruktur apakah sudah sesuai aturan, penyelidikan terhadap sejumlah kasus kecelakaan yang terjadi, penerapan sistem Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), peran BPJS Ketenagakerjaan dalam menangani korban kecelakaan pembangunan infrastruktur.
Menurut Beni setiap kegagalan konstruksi jelas mengakibatkan kerugian waktu, material, finansial, korban luka, dan bahkan korban jiwa yang cukup banyak.
Kerugian tersebut, katanya, tentunya akan ditanggung oleh semua pihak yang terkait dengan pembangunan konstruksi mulai dari pemilik, perusahaan konstruksi, pekerja, penyandang dana, pemerintah bahkan masyarakat.
"Pemerintah harus membuka mata bahwa pekerjaan keinsinyuran sudah harus bisa dipertanggung-jawabkan secara hukum," katanya.
Naifnya, kata Benny yang juga Ketua Program Studi Program Profesi insinyur Universitas Andalas itu, keberadaan Komite Keselamatan Konstruksi (KKK), yang dibentuk oleh Kementrian PUPR tidak menjawab permasalahan yang ada selama ini.
"KKK tidak berperan, terbukti kecelakaan kerja pada pekerjaan konstruksi tetap terjadi setelah Komite ini dibentuk Januari 2018. KKK hanya berperan sebagai pengawas dan bertugas sebagai pemantau, serta mengevaluasi pelaksanaan konstruksi yang diperkirakan memiliki potensi bahaya tinggi serta bertugas menginvestigasi kecelakaan kerja konstruksi dan memberikan masukan kepada kementrian PUPR,"katanya.
Masukan dari KKK hanya bersifat memberikan masukan kepada regulator dalam memberi sanksi administratif kepada pelaksana jasa konstruksi, dan justru tidak terkait dengan kegagalan kontruksi yang terjadi selama ini. Keberadaan KKK ini justru tidak berperan banyak dalam menghentikan kegagalan konstruksi yang telah terjadi.
Ia memandang bahwa kegagalan konstruksi yang terjadi baru-baru ini disebabkan absennya salah satu fungsi komponen dari pekerjaan konstruksi, yaitu Profesi Insinyur.
"Profesi Insinyur merupakan faktor penting yang diselenggarakan oleh seorang Insinyur untuk menjaga kualitas konstruksi sesuai dengan standar keinsinyuran dan bertanggung jawab secara intelektual, secara hukum pada tiap pekerjaan keinsinyuran atau infrastruktur,"katanya.
Oleh karena itu, posisi insinyur merupakan bagian yang tidak terlepas para pihak yang berperan dalam pembangunan konstruksi untuk dapat terealisasi seperti pemilik, pengusaha atau perusahaan perencana, pembangun, pengoperasian, perawatan, serta masyarakat pemakai praktik keinsinyuran atau konstruksi.
Akan tetapi posisi insinyur sebagai pengendali kualitas pengerjaan infrastruktur sesuai standar keinsinyuran sampai saat ini belum terbentuk, kendati UU Keinsinyuran telah diterbitkan pada 24 Maret 2014.
Pemerintah sampai kini belum membuat peraturan pendukung yang dapat mewajibkan setiap pekerjaan kontruksi atau praktik keinsinyuran melibatkan Insinyur. Sementara itu profesi Insinyur belum diatur dalam bentuk dokumen hukum apapun.
"Pada kondisi ini Insinyur Indonesia dan Insinyur asing tidak dapat berperan dalam pembangunan infrastruktur sehingga banyak pembangunan Infrastruktur yang dibangun pemerintah terancam gagal dan menghasilkan kualitas rendah dan rusak, runtuh, hancur sebelum batas umur pakai konstruksi tersebut", katanya.
Kegagalan pembangunan Infrastruktur bisa diatasi jika pemerintah antara lain Universitas pemegang mandat penyelenggara Program Studi Program Profesi Insinyur (PS PPI) siap menyediakan tenaga-tenaga Insinyur yang dibutuhkan oleh pemerintah.
Mirisnya, keberadaan PS PPI justri tidak mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat, serta pengguna jasa keinsinyuran ditandai dengan minimnya minat pemerintah daerah, praktisi di bidang konstruksi untuk mengembangkan diri dalam dunia profesi yang diselenggarakan oleh PS PPI.