Membangun Rasa Optimisme Ekonomi Indonesia Pada 2018

id membangun rasa, optimisme ekonomi, indonesia pada 2018

Membangun Rasa Optimisme Ekonomi Indonesia Pada 2018

"Kita harus optimis bahwa kita bisa melakukan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik 2018,"Kepala BI Kanwil Riau, Siti Astiyah.



Pekanbaru (Antarariau.com) - Indonesia harus bangga dengan jumlah penduduk besar mencapai lebih 262 juta jiwa sebagai bonus demografi yang harus menjadi salah satu modal dalam membangun rasa optimisme ke depan bahwa pertumbuhan ekonomi 2018 bisa lebih baik lagi.

Sebab data BPS mencatat komponen ekonomi yang dibentuk dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga masih bisa diandalkan tetap tumbuh bertahan 5 persen sejak 2011 hingga kini. Walau memang mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan tahun 2015.

Di mana awal 2011 konsumsi rumah tangga tumbuh 5,8 persen dan dalam periode 2015 sampai sekarang konsumsi rumah tangga tumbuh dalam kisaran 5 persen dan bahkan triwulan III 2017 tumbuh 4,9 persen.

Kepala Bank Indonesia Kantor Wilayah Provinsi Riau Siti Astiyah membenarkan rasa optimisme akan pertumbuhan ekonomi lebih baik ke depan di masyarakat perlu dibangun untuk membentuk persepsi pasar.

Menurut dia membaiknya pertumbuhan ekonomi global diikuti meningkatnya harga komoditas internasional dan respons pengetatan kebijakan moneter di beberapa negara maju secara gradual telah diantisipasi oleh pasar dengan baik, sehingga berdampak positif terhadap stabilitas pasar keuangan lnternaslonal tahun ini.

"Kita punya momentum global yang lebih bagus, sehingga kita mengharapkan punya dampak yang positif terhadap perekonomian Indonesia," ujar Siti.

Siti meyakinkan Indonesia dengan momentum global yang baik ini masyarakat harus optimis bahwa bisa melakukan pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan inklusif untuk semua.

"Kita harus optimis bahwa kita bisa melakukan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik 2018," tegasnya.

Senada dengan itu salah seorang Pengamat Ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Muhamad Chatib Basri dalam tulisannya membenarkan yang terpenting dari pertumbuhan ekonomi Indonesia itu adalah rasa optimisme dikalangan masyarakat memandang semua faktor pendukung dan sumberdaya yang dimiliki serta kondisi ekonomi luar negeri yang mumpuni menjadi pemberi peluang bagi arah perekonomian negara di 2018.

"Saya kira yang paling penting adalah bagaimana arah pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018, apakah ada alasan untuk lebih optimistis. Jawaban saya ya, dengan beberapa catatan," kata Pengamat Ekonomi sekaligus Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Muhamad Chatib Basri.

Arah pertumbuhan

Menurut Ekonom ini lagi arah pertumbuhan ekonomi Indonesia di 2018 optimis lebih baik dari tahun ini dengan alasan adanya beberapa faktor diantaranya pertemuan tahunan IMF/World Bank pada Oktober lalu memperkirakan harga minyak dunia akan berada dalam kisaran U$50-U$60, lebih tinggi daripada kisaran dua tahun terakhir. Studi World Bank menunjukkan kenaikan harga minyak cenderung diikuti kenaikan harga energi nonmigas dan komoditas.

Karena itu Indonesia bisa berharap harga komoditas dan energi diperkirakan akan masih tetap relatif kuat setidaknya sepanjang tahun depan. Ada beberapa alasan untuk itu. Ekonomi dunia, misalnya, sudah mulai menunjukkan tanda-tanda perbaikan seperti ekonomi Amerika Serikat di triwulan III 2017 sudah tumbuh 3,3 persen, demikian juga pertumbuhan ekonomi di Eropa juga mulai terjadi.

Di antara negara-negara ASEAN dan Vietnam, terlihat akselerasi pertumbuhan ekonomi di mana-mana, pada triwulan ketiga, Vietnam tumbuh 7,5 persen, Filipina 6,9 persen, Singapura 5,2 persen, Malaysia 6,2 persen, Indonesia 5,06 persen. Situasi yang lebih optimistis ini juga didukung pertumbuhan ekonomi Tiongkok yang lebih baik daripada perkiraan.

Hal ini jelas berimplikasi bagi Indonesia karena 60 persen dari ekspor kita memiliki kaitan dengan energi dan komoditas, kenaikan harga ini mendorong peningkatan pertumbuhan ekspor.

Itu sebabnya pertumbuhan ekspor Indonesia di triwulan III 2017 meningkat dengan tajam. Selain itu, perbaikan ekonomi AS membuat ekspor kita ke negara tersebut mengalami peningkatan.

Faktor lain yang juga mendorong optimisme yakni melihat bagaimana dengan konsumsi rumah tangga, data menunjukkan memang mengalami perlambatan bila dibandingkan dengan periode 2011. Namun Dalam periode awal 2011-2017 masih bertahan diangka 5 persen.

Terbukti konsumsi rumah tangga tumbuh 5,8 persen pada 2011 dan dalam periode 2015 sampai sekarang konsumsi rumah tangga tumbuh dalam kisaran 5 persen dan bahkan triwulan III 2017 tumbuh 4,9 persen.

Dengan membaiknya harga komoditas dan energi, konsumsi akan meningkat juga, walau membutuhkan waktu.

Mengapa James Duesenberry, ekonom dari Harvard University, mengajukan sebuah teori yang menarik, walau pendapatan seseorang mengalami penurunan, pola konsumsinya tak akan menurun banyak. Alasannya, orang akan mencoba mempertahankan konsumsinya pada tingkat yang paling tinggi. Mudahnya, walau pendapatan turun, orang tak mudah menurunkan gaya hidupnya.

Duesenberry benar. Karena itu, ketika pendapatan penduduk Indonesia menurun karena anjloknya harga komoditas sejak 2013, mereka mencoba mempertahankan konsumsi dengan menggunakan tabungan. Setelah tabungannya susut, mungkin ia akan mulai meminjam demi mempertahankan konsumsinya. Setelah mereka tak bisa meminjam lagi, barulah orang akan menurunkan konsumsinya.

Inilah yang menjelaskan bahwa ketika pertumbuhan ekonomi kita turun ke kisaran 5 persen dalam tiga tahun terakhir dari sebelumnya di atas 6 persen pertumbuhan konsumsi bertahan pada kisaran 5 persen. Di sisi lain, kita juga melihat pertumbuhan dana pihak ketiga mengalami perlambatan sampai dengan akhir 2016. Namun, sejalan dengan membaiknya harga batu bara dan kelapa sawit, pendapatan masyarakat yang berada di daerah-daerah penghasil komoditas dan batu bara juga mulai meningkat.

Namun, dampaknya tak seketika pada peningkatan konsumsi. Karena mereka harus melakukan konsolidasi keuangan pribadi dengan mulai membayar utang, meningkatkan tabungan, dan sebagainya sebelum meningkatkan konsumsi. Perbaikan ini baru akan tercermin pada peningkatan konsumsi seharusnya 3-4 triwulan sejak harga sumber daya alam membaik. Jadi dari sisi ini sebenarnya ada harapan bahwa konsumsi rumah tangga akan sedikit membaik tahun depan.

Faktor dari sisi investasi data BPS menunjukkan pola yang menggembirakan. Pada triwulan III 2017, pertumbuhan investasi meningkat menjadi 7,1 persen. Ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan investasi sejak Juni 2013. Jika dilihat secara lebih rinci, pertumbuhan investasi yang terjadi disebabkan pertumbuhan investasi dalam mesin dan peralatan.

Memang yang menimbulkan pertanyaan ialah bahwa pertumbuhan investasi yang meningkat ini tak sejalan dengan data pertumbuhan kredit investasi yang cenderung menurun.

Dugaannya sebut pengamat lagi ekspansi ini lebih didorong investasi pemerintah atau investasi yang dibiayai dari sebagian arus modal yang masuk ke Indonesia. Lepas dari sumbernya, kenaikan investasi ini sejalan dengan meningkatnya pertumbuhan impor, yang sebagian besar didominasi bahan baku dan barang modal.

"Jadi meningkatnya pertumbuhan impor sejalan dengan kecenderungan perusahaan untuk melakukan ekspansi usahanya. Hal lain yang diduga juga mendorong investasi ialah membaiknya iklim usaha, sejalan dengan perbaikan rangking bisnis.

Tetap waspada

Dari perspektif ini Indonesia punya alasan untuk lebih optimistis pada 2018. Dengan gambaran ini, ia memperkirakan pertumbuhan ekonomi ada pada kisaran 5,1 persen 5,3 persen.

Pertanyaannya ialah apakah ini akan berkesinambungan dan apa risiko yang mungkin mengganggu, ia kembali memperkirakan seberapa jauh pertumbuhan ekonomi akan meningkat bakal masih bergantung kepada konsumsi rumah tangga karena porsinya masih relatif besar.

Jika dampak positif dari kenaikan komoditas dan energi akan terasa di konsumsi rumah tangga, diharapkan pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Namun, bila pertumbuhan konsumsi rumah tangga tetap mandek karena belum ada perbaikan daya beli yang signifikan di kelas bawah, ekspansi investasi tak akan berkesinambungan. Karena apa gunanya meningkatkan ekspansi usaha jika tak ada permintaan.

Selain itu, jika kenaikan tabungan tak ditransmisikan pada investasi karena kekhawatiran politik menjelang pemilu atau kekhawatiran akan pajak, investasi tak akan meningkat tajam. Hal lain yang perlu diperhatikan tentunya ialah kondisi eksternal. Asumsi dasar dari analisis ini ialah bertahannya harga komoditas dan energi karena ekonomi dunia yang membaik.

Namun, bila ekonomi dunia terganggu, misalnya karena gelembung di pasar keuangan di AS atau gangguan pada perekonomian Tiongkok, kita tampaknya tak bisa seoptimis itu.

Jadi, walau ada alasan untuk lebih optimistis pada 2018, Indonesia tetap harus waspada. Begitu banyak ketidakpastian yang menghadang di depan kita, termasuk risiko geopolitik di Semenanjung Korea. Banyak variabel yang tak bisa sepenuhnya diduga.