Berani Ke Bukit Suligi, Berani Jatuh Cinta

id berani ke, bukit suligi, berani jatuh cinta

Berani Ke Bukit Suligi, Berani Jatuh Cinta

"tanpa adanya cinta kepada alam, pesona keindahan di Hutan Lindung Bukit Suligi akan terbuang sia-sia..."

Pekanbaru (Antarariau) - Malam masih pekat menyelimuti puncak Bukit Suligi di Desa Aliantan Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau. Pekikan suara kera Siamang bersahut-sahutan memecah keheningan, bagaikan nyanyian alam menyambut fajar pada awal November 2017.

Dan ketika semburat matahari mulai menembus mendung, fenomena "samudra awan" mulai terlihat bentuknya. Dari ketinggian 812 meter di atas permukaan laut di puncak Bukit Suligi, butiran air yang mengelompok di atmosfer itu tampak begitu pekat dan luas bagai lautan.

Bukit Suligi seakan mengambang dilangit karena awan itu menutupi perbukitan hingga hanya puncaknya saja yang terlihat. Massa putih itu kemudian bergerak perlahan diembus angin, bergelombang seperti ombak dan pecah ketika menghantam pucuk bukit.

Bukit Suligi memang tidak setinggi Gunung Merapi, namun menuju puncaknya butuh perjuangan yang cukup menguras energi dan menguji mental. Bukit Suligi merupakan deretan bukit yang ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan lindung. Kawasan ini memiliki luas sekitar 33.000 hektare (Ha), yang hampir 80 persen atau 25.000 Ha di Rohul dan sisanya masuk wilayah Kabupaten Kampar.

Desa Aliantan berjarak sekitar 120 kilometer dari Kota Pekanbaru, dan bisa ditempuh sekitar dua jam dengan kendaraan bermotor. Mobil hanya bisa mencapai gerbang rimba, dan perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki.

"Kalau yang biasa mendaki, perjalanan ke puncak bisa ditempuh selama 45 menit. Tapi bagi yang pemula bisa satu jam lebih," kata Agus Setiando, Ketua Komunitas MTMA (My Trip My Adventure) Riau.

Selama perjalanan ke atas, pandangan mata dimanjakan dengan warna hijau pohon karet dan hutan alam. Terdapat beberapa titik peristirahatan untuk sekedar mengambil nafas. Pada setengah perjalanan terdapat puncak bukit pertama berupa hamparan tanah berbatu yang tidak begitu luas. Tempat ini bisa digunakan untuk mendirikan beberapa tenda untuk menikmati malam di Bukit Suligi.

"Perjalanan ke puncak makin menantang karena ada yang mencapai kemiringan 85 derajat," kata Agus Setiando.

Dan benar saja, pendakian ke puncak bukit teratas memang cukup menyulitkan untuk pendaki pemula. Ada dua titik pendakian dengan kemiringan lereng sekitar 85 derajat, dan hanya tali sebagai alat bantu pegangan.

Penerangan dari senter kepala sangat dibutuhkan karena untuk bisa menikmati "samudra awan", yang hanya terjadi pada pagi hari, kita harus berangkat dini hari sekitar pukul 04.00 WIB dari puncak pertama. Fenomena alam ini biasa berlangsung sejak pagi hingga pukul 10.00 WIB.

"Perjalanan yang berat terbayar lunas ketika sampai dipuncak," ucap Agus sambil tersenyum.

Gerakan Sadar Wisata

Keindahan "samudra awan" di Bukit Suligi mulai dipopulerkan sebagai objek wisata baru oleh komunitas pencinta alam seperti My Trip My Adventure (MTMA) Riau, dan kelompok sadar wisata The Care Taker di Desa Aliantan Kecamatan Kabun, Rokan Hulu (Rohul).

"Berani ke Bukit Suligi, berani jatuh cinta," kata Taufik, seorang anggota The Care Taker yang menjadi pemandu para pendaki.

Kalimat itu populer bagi pemuda pencinta alam disana, meski terdengar klise untuk mempromosikan destinasi wisata itu dengan gaya "kids jaman now". Namun ketika diresapi artinya saat melihat langsung "samudra awan", kata-kata itu ada benarnya.

Cinta itu sejatinya bersifat universal maknanya, baik cinta kepada alam dan sesama manusia, dan tidak hanya bagi sejoli yang kasmaran, melainkan juga cinta kepada hidup yang kita jalani.

Motor utama gerakan sadar wisata itu tidak lepas dari sosok Muhammad Rois Zakaria, Kepala Desa Aliantan. Seluruh kegiatan swadaya untuk memajukan destinasi wisata baru itu dibiayai dari kocek pribadinya.

Ia mengaku beruntung karena keluarganya mendukung kegiatan itu. "Bisa dibilang ini kerja gila, tapi ini sangat bermanfaat. Saya bersyukur keluarga saya mendukung, bahkan isteri dan anak saya juga ikut mendaki bukit itu," kata ayah tiga anak ini.

Rois mengaku juga termotivasi melihat komunitas pemuda yang gemar menelusuri Bukit Suligi dan mencari tempat-tempat wisata baru di Desa Aliantan. Karena itu, ia rela rumahnya dijadikan tempat kumpul pertama bagi pendaki sebelum menuju Bukit Suligi. Setiap pendaki akan diperiksa perlengkapannya dan didata, agar dipastikan steril dari minumal alkohol dan obat terlarang, serta mendapat pengarahan supaya selamat sampai ke tujuan.

"Mereka pemuda-pemuda yang kreatif, sayang kalau tidak dibina. Sudah satu tahun ini mereka saya bina demi kemajuan daerah," kata Rois menceritakan alasannya membentuk komunitas sadar wisata The Care Taker.

Menurut Rois, puncak Bukit Suligi dari Desa Aliantan merupakan tempat terbaik untuk melihat langsung "samudra awan" pada pagi hari karena merupakan puncak tertinggi dengan ketinggian 812 mdpl. Untuk pengunjung yang belum pernah ke sana, Rois mengatakan tidak perlu risau karena komunitas "The Care Taker" bisa mendampingi. Komunitas itu terdiri dari sembilan orang pemuda, dan tiga di antaranya adalah perempuan.

Paket wisata ke puncak bukit hanya dibuka pada akhir pekan, dan maksimal hanya 30 orang agar pengunjung bisa maksimal menikmati keindahan Bukit Suligi.

Komunitas ini mengelola jasa pengantaran, angkut barang, parkir, hingga tenda dan konsumsi. Mereka juga sudah memasang tanda-tanda dan tali di jalur pendakian, serta membuat ornamen hiasan dipuncak bukit yang cocok untuk swafoto (selfie) para pengunjung. Tarif jasa layanan juga bisa disesuaikan dengan kemampuan pengunjung, dan maksimal sebesar Rp50 ribu per orang.

Sejak paket wisata Bukit Suligi mulai diperkenalkan oleh komunitas The Care Taker pada 1 Januari 2016, tercatat sudah ada sekitar 2.000 orang wisatawan lokal ke tempat itu.

Menurut Rois, masih sangat banyak tempat menarik didaerah itu yang bisa jadi tujuan wisata. Sedikitnya ada 11 gua dan 11 air terjun yang bisa dikunjungi setelah dari puncak Bukit Suligi. Salah satunya ada Gua Garuda yang terdapat pahatan batu menyerupai burung garuda dan dipercaya jadi tempat persembunyian prajurit Indonesia saat perang kemerdekaan melawan penjajah.

"Mudah-mudahan ada perhatian dari pemerintah untuk kemajuan pariwisata ini, karena daerah ini merupakan pintu masuk Riau dari arah Sumatera Barat dan Sumatera Utara sehingga wisatawan yang ingin berkunjung ke Pekanbaru juga bisa berhenti di Desa Aliantan," katanya.

Selain itu, ia mengatakan masih banyak misteri peninggalan bersejarah yang belum terungkap dibelantara Hutan Lindung Bukit Suligi. Rois mengatakan memegang sebuah peta menuju peninggalan kuno yang kuat dugaan merupakan candi.

"Candi itu diperkirakan lebih tua daripada Candi Borobudur," katanya.

Para pemuda yang kini tergabung dalam Komunitas The Care Taker, pernah mencoba menelusuri peta tersebut. Saprizal, koordinator komunitas tersebut mengatakan untuk menuju peninggalan kuno itu memakan waktu hingga 12 jam berjalan kaki.

"Di sepanjang perjalanan ditemukan bekas bangunan terbuat dari batu, menuju lembah di tengah dua bukit terdapat tanah datar yang naiknya melalui 11 anak tangga dengan lebar dua meter dan tinggi sekitar satu meter. Di ujungnya ada batu di kanan-kirinya seperti bentuk gapura," kata Saprizal.

Namun, para pemuda itu mengaku belum siap untuk mengeksplorasi tempat itu. Selain karena medannya yang berat, juga karena ada kekuatan "gaib" disana. "Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba ada batu sebesar badan orang jatuh dari puncak bukit menuju ke arah kami," katanya.

Ancaman Deforestasi

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Riau, Fahmizal Usman, mengatakan sangat mendukung Bukit Suligi Desa Aliantan menjadi destinasi wisata baru dari Kabupaten Rohul. Ia menilai termpat tersebut menawarkan keindahan alam, petualangan dan keramahan warganya.

"Tempat ini sangat cocok sebagai tempat wisata minat khusus, menawarkan alamnya yang indah sangat bagus untuk mendaki dan fotografi. Dan saya salut kepada kepala desa dan komunitas pemudanya yang kreatif mengemasnya jadi menarik," kata Fahmizal Usman yang sudah melihat langsung keindahan Bukit Suligi di Desa Aliantan.

Meski begitu, ia mengakui bahwa destinasi wisata itu menghadapi ancaman berupa deforestasi yang mengubah hutan alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Bahkan, ketika menjelang siang, suara pekikan kera Siamang langsung berganti menjadi bunyi raungan gergaji mesin yang menebang kayu di hutan lindung itu.

Ketika "samudra awan" berangsur-angsur hilang tersapu angin, bekas tebangan kayu dan pembakaran lahan menjadi pemandangan yang menyedihkan karena menggunduli hutan alam Bukit Suligi.

"Memang saya akui, ini jadi tantangan untuk kita semua bagaimana dampak ekonomi baru dari kelapa sawit terhadap tempat ini. Tidak bisa dipungkiri ekonomi Indonesia paling besar ditopang dari kelapa sawit, dan kedua baru pariwisata," katanya.

Fahmizal berharap Pemerintah Kabupaten Rohul bisa mengoptimalkan peluang yang ada, terutama ketika kesadaran wisata dari masyarakat setempat sudah ada di Desa Aliantan. Pemerintah provinsi juga terus mendorong agar ada minimal satu destinasi wisata andalan baru ditiap kabupaten/kota, dan bisa mendapatkan bantuan untuk pembenahan infrastruktur seperti perbaikan jalan.

"Dinas Pariwisata Provinsi Riau akan mengkomunikasikan kepada pemerintah kabupaten untuk mendukung tempat wisata Bukit Suligi," katanya.

Pada akhirnya, tanpa adanya cinta kepada alam, pesona keindahan di Hutan Lindung Bukit Suligi akan terbuang sia-sia.

Pewarta :
Editor: Febrianto Budi Anggoro
COPYRIGHT © ANTARA 2017