Pekanbaru (Antarariau.com) - Puluhan kali sudah perjuangan nasib buruh berupa orasi, demo, dan penyampaian keluhan tertulis pun diluncurkan untuk mencapai sejahtera agaknya belum pernah direalisasikan dengan baik.
Cukup banyak halangan dan rintangan dalam menyuarakan perubahan nasib buruh itu. Aksi unjuk rasa digelar buruh pada tiap peringatan 1 Mei (May Day) atau hari buruh se-dunia, sepertinya belum mampu "merangsang" niat baik pemerintah dan perusahaan untuk benar-benar berupaya meningkatkan kesejahteraan mereka.
Sudah sekian banyak dukungan yang menjadi alasan agar nasib buruh bisa diperjuangkan. Lalu alasan dan perhitungan apa lagi yang harus dikemukakan agar keadilan bagi buruh benar-benar terwujud?
Dan dorongan pemerintah terhadap pengusaha untuk membuat struktur skala upah agar pengupahan memperhatikan kompetensi, jabatan dan masa kerja buruh, itupun masih diragukan untuk direalisasikan oleh perusahaan.
Sementara itu, Sekjen Serikat Buruh Sedunia (ITUC) Sharan Burrow pada tahun lalu, pernah menyatakan pihaknya menolak sistem upah rendah yang terjadi di Indonesia sehingga menyebabkan terjadinya pemiskinan secara struktural.
Bahkan upah di Indonesia berbeda sebesar 100 dolar AS dengan daerah terpencil di Tiongkok. Itu menunjukan sesuatu yang salah. Ada polling yang menunjukkan 82 persen rakyat Indonesia setuju bahwa sesama pekerja di seluruh Indonesia harus mendapatkan gaji dan hidup yang layak di Indonesia.
"Kami ada perwakilan di sini (Indonesia), Kamboja, Korea Selatan, dan lainnya. Kami setuju untuk pekerja di mana pun harus mendapatkan upah layak dan melarang eksploitasi berlebihan demi mendapatkan keuntungan yang banyak," ucapnya.
Pemerintah sebelumnya, kata dia, sudah berdiskusi dan setuju bahwa pekerja harus mendapatkan upah yang layak. Namun, di era pemerintah yang baru tidak juga melakukan hal itu dan pemerintah harus terus diingatkan untuk memperhatikan upah pekerja.
UMP 2018
Sementara itu, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Riau menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau tahun 2018 sebesar Rp2.464.154,06.
Kepala Disnakertrans Provinsi Riau, Rasidin Siregar mengatakan, kenaikan UMK Riau 2018 ini sebesar 8,71 persen dihitung dari UMP sebelumnya sebesar Rp2.266.722,53 menjadi Rp2.464.154.06.
Penetapan ini, telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan telah ditandatangani oleh Gubernur Riau, H Arsyadjuliandi Rachman.
"Kenaikan UMP Riau juga mengacu terhadap data tingkat inflasi nasional dan pertumbuhan PDRB (Produk Regional Domestik Bruto) tahun 2017 dan inflasi daerah," katanya.
Sedangkan untuk Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), kata Rasidin lagi, diminta bupati dan wali kota mengajukan draft UMK paling lambat 21 November 2017.
Namun demikian, penetapan UMP 2018 itu justru dikritisi oleh Kalangan buruh tergabung dalam Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) di Provinsi Riau.
"Idealnya memang UMP Riau tahun 2018 adalah sebesar Rp3 jutaan, itu dinilai sudah signifikan bagi pekerja untuk sejahtera dan usulan ini sudah disampaikan," kata Sekretaris DPC Federasi Pertambangan dan Energi (FPE) K-SBSI Kabupaten Siak, Andi.
Pengurus serikat khususnya K-SBSI sudah berupaya melakukan perubahan terhadap kenaikan upah buruh setiap tahun dengan cara mengusulkan kenaikan upah.
Sebab, jika UMP itu sebesar Rp2.464.154,06 masih belum bisa memenuhi kebutuhan hidup layak sebuah keluarga dengan dua anak, serta penyesuaian harga kebutuhan pokok dipasar. Belum termasuk kontrak rumah yang cukup mahal di daerah ini dan membiayai anak sekolah.
"Akan tetapi, miris rasanya setiap saat kita menyuarakan besaran kenaikan UMP yang disesuaikan dengan kebutuhan layak minimal itu, justru tidak pernah terealisasi," katanya.
Walaupun banyak halangan dan rintangan untuk menyuarakannya, katanya lagi, namun demikian pihaknya tetap getol mengusulkannya agar buruh bisa mencapai sejahtera.
Sama halnya dengan Rifki (41) pekerja honor di jajaran Pemerintah Provinsi Sumbar mengakui pesimistis realisasi kenaikan UMP Sumbar akan bisa sejajar dengan usulan buruh dari Riau lalu bagaimana munkin kami juga akan bisa mencapai sejahtera?.
"Kami yang honorer ini bisa juga disamakan dengan buruh (honorer) di daerah mana saja termasuk di Riau. Apalagi dirinya yang sudah menjalani pegawai honorer sejak 11 tahun yang lalu itu, hingga kini belum juga mendapatkan kebijakan dari Pemerintah Pusat untuk diangkat menjadi PNS," katanya.
Untuk bertarung secara umum dalam seleksi CPSN nasional, tentu sudah tidak memungkinkan karena faktor usia. Jangankan honorer, bahkan banyak lulusan yang terbaru dari perguruan tinggi yang bertarung pada seleksi CPNS nasional, seringkali kesulitan untuk lulus.
"Masih untung tidak menjadi pengangguran, akan tetapi apakah nasib kami ini akan terus begini, dan sepertinya cita-cita untuk mencapai sejahtera sulit untuk diraih," ujarnya.
Rifki adalah bagian dari pegawai honorer di lingkup Pemprov Sumbar yang tercecer pada pengangkatan CPNS Kategori II dan walaupun sudah diminta perjuangan dari BKN Pusat, namun masih disuruh untuk menunggu kebijakan berikutnya.
Andi dan Rifki adalah contoh buruh yang berpengalaman bekerja karena sudah cukup lama menjalani pekerjaannya sehari hari dan perlu mendapatkan peningkatan kesejahteraan.
Belum Sejahtera
Pengamat Perburuhan dari Universitas Andalas, Dr Khairani SH, MH mengatakan penetapan UMP tahun 2018 sebesar Rp2.464.154 dinilai tidak mungkin bisa memenuhi kesejahteraan buruh. Karena penetapan besaran upah tersebut tidak diukur dari kebutuhan riil dari buruh itu sendiri.
Menurut Khairani yang juga staf pengajar di UNRI itu, penetapan UMP 2018 tersebut masih memberlakukan PP 78 tahun 2015 karena memang belum ada perubahan peraturan tersebut.
Namun demikian, katanya, agar buruh sejahtera solusinya harus ada perubahan dari PP yang penghitungan UMP tidak hanya memperhatikan inflasi tapi juga kebutuhan hidup yang layak.
Ia mengatakan, sekarang memang pemerintah sedang mendorong pengusaha untuk membuat struktur skala upah agar pengupahan memperhatikan kompetensi, jabatan dan masa kerja buruh sehingga terdapat keadilan dalam pengupahan.
Kini, saatnya Indonesia harus berbenah, empati pemerintah dan perusahaan harus digugah jika tidak ingin melestarikan pemiskinan secara struktural itu. Yang bakal terbebani juga adalah pemerintah karena masih banyak penduduknya berada digaris kemiskinan.
Kemiskinan diyakini akan mendatangkan efek komprehensif, dan saatnya semua pihak sepakah untuk menghapus praktik eksploitasi berlebihan terhadap buruh demi mendapatkan keuntungan yang banyak.