Pekanbaru (Antarariau.com) - Anggota Komisi VII DPR RI asal Riau, Sayed Abubakar Assegaf meminta PT Jalur Pusaka Sakti Kumala di Kabupaten Pelalawan untuk kooperatif membebaskan lahannya bagi kepentingan pembangunan tol listrik di jalur transmisi 150 KV Kerinci-Rengat.
"Saya sarankan perusahaan tersebut harus memberikan lahannya, karena ini adalah untuk kepentingan masyarakat. Ini bukan masalah pribadi atau perorangan, tapi kepentingan bersama. Harusnya perusahaan legowo," ujar Sayed kepada wartawan di Pekanbaru, Senin.
Politisi Partai Demokrat ini mengatakan seharusnya pihak perusahaan mempermudah proses pembebasan lahannya karena pembangunan tol listrik ini untuk kepentingan umum.
Menurutnya PT Jalur Pusaka Sakti Kumala tersebut harusnya tidak bersikukuh dan bertahan demi kepentingan rakyat. Kalau pun dirunut, maka menurut dia belum tentu perusahaan tersebut bersih.
"Kalau perusahaan itu tetap bersikukuh, cek saja kelengkapan surat-surat dan izinnya. Biasanya perusahaan seperti itu tak juga bersih-bersih amat. Biar kita telusuri bersama-sama, mereka juga yang bakal repot," ungkapnya.
Ditambahkannya, jangan sampai karena perusahaan tersebut pembangunan tol listrik di Riau menjadi terkendala. Padahal semua persiapan termasuk anggaran sudah disiapkan pihak pemerintah secara matang.
"Pemerintah sudah berusaha untuk menyiapkan anggarannya yang tak sedikit jumlahnya, jangan gara-gara perusahaan itu jadi terkendala," ulasnya.
Selain itu, menurut Sayed, langkah terakhir masih ada yang masih diambil. Yakni dengan mengambil secara paksa lahan tersebut dan itu ada alur yang mengatur secara hukum.
Sementara itu, Direktur Utama PT Jalur Pusaka Sakti Kumala, Sayuti Husein mengaku keberatan dengan pembebasan empat titik lahan untuk tapak tower 150 KV di kawasannya. Ia beralasan pihaknya sudah menyerahkan lahan sebelumnya untuk pembangunan tol listrik.
"Banyak komentar yang kami ikuti selama ini, seolah-olah kami belum ada menyerahkan lahan untuk diganti rugi sebelumnya. Padahal kami sudah berikan sebelumnya. Kalau yang ini juga diberikan, habis lah lahan kami," kilahnya.
Sementara itu, pengamat hukum Universitas Islam Riau (UIR) Dr Husnu Abadi SH MHum mengatakan, dalam masalah ganti rugi lahan dengan lahan milik perusahaan, ada beberapa mekanisme yang bisa dilakukan.
Jika tanah itu nantinya akan digunakan untuk kepentingan umum, seperti kepentingan jalan, pembangunan jaringan listrik dan sebagainya bisa menggunakan mekanisme perdata biasa. Misalnya jual beli atau penyewaan.
Kedua, apabila pembangunan untuk kepentingan umum itu sangat mustahak dan sangat perlu maka bisa juga digunakan mekanisme yang diatur dalam undang undang tentang penggunaan tanah untuk kepentingan umum. Yakni sesuai Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
"Sudah banyak kasus bisa dilakukan. Seperti pada kasus pembangunan jalan Soekarno-Hatta Pekanbaru. Di mana salah satu pemilik tanah enggan menerima ganti rugi tanah oleh pemerintah untuk keperluan pembangunan jalan. Maka setelah proses negosiasi, negara menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan. Dan kemudian tanah itu bisa dimanfaatkan. Ini karena kepentingan umum lebih besar dari kepentingan perorangan dan perusahaan," ujarnya.
Namun demikian, proses ganti ruginya dilakukan dipandang layak sesuai dengan ketersediaan dana oleh negara.
Oleh karena itu, masih terbuka peluang dengan pemilik lahan untuk melakukan negosiasi berdasarkan prinsip prinsip tadi.
"Nanti yang terakhir itu ada yg memang negara bisa secara paksa mencabut hak kepemilikan lahan. Ini sesuai dengan UU No 20 tahun 1961," ujarnya.
Ia menambahkan sudah seharusnya perusahaan tadi menyerahkan lahannya untuk kepentingan umum. Negara pun berhak sedikit memaksa jika untuk kepentingan umum yang lebih besar. Apalagi masalah listrik ini menyangkut hajat hidup orang banyak.