Pekanbaru (Antarariau.com) - Pemberantasan mafia peredaran narkobabenar-benar sulit untuk dilakukan, dan mirisnya yang tertangkap hanyalah jaringan pelaku pada lapis bawah dan mereka yang tertangkap berani "pasang badan" untuk tutup mulut dan tidak membocorkan rahasia tentang keberadaan jaringan tingkat "atasnya".
Kenapa demikian?. Penyebabnya adalah berdasarkan penjelasan kalangan aparat penegak hukum, bahwa pengedar, pemakai yang tertangkap mendapatkan jaminan penyelamatan materi dan keamanan untuk keluarga mereka sehingga lebih memilih tutup mulut ketimbang buka suara.
Faktor lainnya dipicu munculnya kebutuhan, gaya hidup, patah hatiserta keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda hingga bisa membuat orang menjadi kaya, sebab dengan hanya baberapa gram saja beratnya, pengedarnya bisa mendapatkan keuntungan mencapai puluhan dan ratusan juta rupiah.
Dan paling memprihatinkan bahwa Indonesia kini berada pada situasi dan kondisi darurat narkoba, apalagi banyak pintu masuk barang perusak SDM di negeri ini sangat dekat dengan Riau, sehingga untuk mengantisipasinya diperlukan keterlibatan semua pihak dan anggota masyarakat.
Oleh karena itu, pakar hukum pidana dari Universitas Riau Dr. Erdianto Effendy mengisyaratkan pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada warga masyarakat yang melaporkan adanya peredaran dan pemakaian narkoba sebagai upaya memotivasi mereka berani melaporkan kejahatan tergolong kejahatan luar biasa atau "exstraordinary crime" itu.
"Penyalahgunaan narkotika, dinilai sebagai kejahatan luar biasa dan pemberantasannya diperlukan cara-cara yang luar biasa oleh karena itu diperlukan perlakuan bagi pelapor tindak pidana atau dikenal whistle blower itu,"katanya.
Menurut Erdianto,perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistle blower) diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 tahun 2011 yang dibutuhkan dalam perkara tindak pidana tertentu seperti tindak pidana korupsi, terorisme, tindak pidana narkotika, tindak pidana pencucian uang, perdagangan orang, maupun tindak pidana lainnya yang bersifat terorganisasikan.
Ia mengatakan tindak pidana tersebut telah menimbulkan masalah dan ancaman serius bagi stabilitas dan keamanan masyarakat. Dalam SEMA disebutkan, whistle blower adalah pihak yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan merupakan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
"Tindakan ini dibutuhkan karena peredaran narkotika sudah sampai ke pedesaan, dan jarang ada yang berani melapor. Tanpa dukungan masyarakat, Polri dan BNN tidak dapat berbuat lebih banyak lagi,"katanya.
Apalagi kejahatan luar biasa atau xtraordinary crime adalah kejahatan tingkat tinggi, kejahatan yang dimaksud adalah kejahatan yang umumnya dilakukan dengan siasat yang sangat rapi dan terencana hingga akan sangat susah membongkar kasusnya.
Erdianto menekankan pula pemberian imbalan atau "reward" agar dapat ditingkatkan, tetapi harus diiringi "punishment" atau penghukumamyang juga setara jika aparat terlibat narkoba.
Ia menjelaskan bahwa upaya dan konsep pemberantasan narkoba oleh Polri dan BNN menurut UU No. 35 tahun 2009 menempatkan BNN sebagai garda terdepan pemberantasan narkotika dan Polri secara proporsional dan masih ada lagi PPNS (penyidik pegawai negeri sipil).
Di BNN, ada penyidik yang mempunyai kewenangan yang bersifat ekstraordinary mengingat kejahatan narkotika adalah kejahatan ekstraordinary yang pemberantasannya diperlukan cara-cara yang luar biasa.
Sementara itu lamanya waktu tunggu eksekusi bagi napi narkoba adalah demi kepentingan kemanusiaan agar orang yang diputus bersalah benar-benar diyakini sebagai pelaku.
"Itu sesungguhnya tidak masalah jika pengawasan di lapas dilakukan secara ketat. Akan tetapi masalahnya hanya saja petugas lapas terbatas, yang memaksa mereka bersikap sedikit lebih lunak kepada warga binaan. Solusinya adalah penempatan pennyalahguna narkotika di Lapas Khusus,"katanya.
Bina napi
Erdianto yang mengaku berulangkali mengusulkan Pemerintah peduli terhadap pembinaan narapidana, selain napi narkotika, tetapi juga kejahatan lain, dan pemerintah perlu segera mengalokasikan anggaran bagi penambahan lapas-lapas baru, perluasan kapasitas lapas-lapas, serta pembangunan lapas-lapas khusus menurut jenis kejahatan.
Para napi, katanya lagi, harus dimanusiakan, jangan merasa lapas tidak penting seolah sebagai tempat pembuangan, bukan tidak mungkin para pengambil kebijakan saat ini pada suatu masa harus berurusan dengan lapasbahkan jadi penghuni lapas.
Tiap orang dapat menggaransikan dirinya untuk tidak menjadi penjahat, tidak menjadi pelaku tindak pidana, tetapi tidak ada yang dapat menjamin dirinya tidak akan pernah menjadi tersangka dan selanjutnya menjadi terpidana.
"Banyak hal yang dapat membuat orang yang awalnya baik atau pada dasarnya memang baik lalu menjadi tersangka, misal karena kelalaian dalam kecelakaan lalu lintas, tersangkut satu kejahatan orang lain, dan sebagainya,"katanya.
Sarana prasarana terbatas
Kepala bidang Pemberantasan BNNP Riau, AKBP Haldun SH, MH, menyebutkan pada tahun 2015 kasus narkoba di Riau berada pada peringkat ketujuh nasional, tahun 2016 peringkat 14 nasionaldengan jumlah kasus tahun 2015sebanyak 1.032 kasus dengan 1.455 tersangka, tahun 2016sebanyak1.481 kasus dengan 2.020 tersangka. Selanjutnya semester pertama tahun 2017 tercatat sebanyak 750 kasus dengan 1.031 tersangka.
Mirisnya selama tahun 2017 diperkirakan akan terjadi peningkatan karena separuh tahun saja sudah mencapai 750 kasus sehingga perlu terus digencarkan razia narkoba ke kafe-kafe, hotel, dan tempat-tempat "pelabuhan tikus", dan lainnyaseperti di Kota Dumai yang berpotensi terjadinya transaksi narkoba karena sepi dan bahkan jauh dari pengawasan.
Sedangkan daerah yang menjadi urutan pertama (merah) terbesar peredaran narkoba di Provinsi Riau menurut temuan BNNP Riau adalah Kabupaten Bengkalis, Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir.
Peringkat kedua (warna kuning) Riau adalah Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Siak sedangkan peringkat ketiga (warna hijau) adalah Kabupaten Kuantan Singingi, Kabupaten Inderagiri Hulu, dan Kabupaten Indergiri Hilir serta Kebupaten Meranti.
"Tiada hari tanpa sosialisasi tentang bahaya narkoba, karena kasusnya sudah sangat memprihatinkan,"kata Haldun dan pihaknya terus menggiatkan koordinasi di jajaran Polda Riau, BNNP, BNN Kabupaten dan Kota se-Riau guna meredam peredaran narkobadi daerah itu. Kendati saat ini Riau belum memiliki bangunan panti rehabilitasi untuk pemakai atau pecandu narkoba, namun BNNP Riau tetap bekerja dengan semangat tinggi.
Bahkan, terhadap pemakai atau pencandu narkoba yang menjalani rawat jalan tetap dilakukan di Kantor BNNP Riau Jalan Pepaya No. 6 Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, walaupun bangunan kantor pun kini sudah masuk kategori tidak layak pakai lagi.
Menurut Haldun, bangunan ini pun membutuhkan anggaran cukup besar untuk merehabilitasinya, upayarapat dengar pendapat atau hearing dengan DPRD Provinsi Riau,sudah berulangkali dilakukan, namun anggaran yang akan dialokasikan untuk perbaikannya belum juga diturunkan.
"Yah... kami tetap bekerja dengan semangat tinggi, di tengah sarana dan prasarana yang tidak memadai ini. Mirisnya garase mobil pun tidak tersedia di gedung BNNP Provinsi Riau sehingga dikhawatirkan tiga unit mobil BNNP yang barusan dihibahkan oleh BNN Pusat itu tidak akan mendapatkan perawatan dengan baik karena kendaraandiparkir di halaman kantor tanpa atap dan pelindung lainnya sehingga kerap diterpa hujan dan panas".
Selain itu, BNNP Riau juga membutuhkan teknologi yang canggih berharga mahal untuk bisa melacak keberadaan para cukong mafia yang berada pada lapisan atas (utama) seperti peralatan teknologi informasi atau IT yang dimiliki oleh BNNP Sumatera Utara itu.
Puasa dan berburu mengaji
Kepala Lapas Kelas 2 A Pekanbaru, Provinsi Riau, Yulius Sahruza BC IP SH, MH mengatakan, jumlah napi dan tahanan di LP Kelas II A Pekanbaru kini mencapai 1.630 orang yang sudah termasuk yang didatangkan dari LP Dumai sebanyak 20 kasus.
Dari 1.630 kasus itu (per data Kamis (24/8),red) sebanyak 80 persen adalah tahanan narkoba atau 1.647 napi, 472 orang dalam kasus pidana umum dan 63 kasus korupsi. Seorang napi teroris, ileggal logging 1 kasus, traficking satu kasus serta enam napi narkotika yang dihukum seumur hidup.
Kini, kata Yulius Sahruza pihaknya sejak dua bulan terakhir dan hingga kini terus menggiatkan tulis baca Al Quran pada penghuni napi di Lapas Kelas II A Pekanbaru.Uji keterampilan baca tulis Al Quran akan dilakukan di depan istri adana anak-anak napi.
Selainbelajar mengaji, mereka juga diberikan pembelajaran agama guna meningkatkan pemahaman mereka terhadap hal-hal yang dibolehkan oleh agama dan yang tidak dibolehkan oleh agama.
"Minimal setelah mereka tahu agama paling tidak diharapkan mereka bertobat dan sadar apa yang telah dilakukan itu salah dan kembali ke jalan yang benar, dan menyebarkan kebaikan. Disamping itu para napi juga diajak untuk melakukan puasa setiap Senin dan Kamis dalam upaya membiasakan diri mereka menahan hawa dan nafsu khususnya mengkonsumsi narkoba,"katanya.
Program ini pun, katanya lagi, memberikan keuntungan positif bagi keluarga napi karena mereka bisa menyaksikan orang tua atau keluarganya yang ditahan di Lapas sudah pandai mengaji dan rajin berpuasa.
"Saat bebas, bapak-bapak mereka sudah bisa mengaji tentunyaakan menjadi sebuah kebanggaan bagi anak-anaknya,"katanya.
Berita Lainnya
Jalan terjal ASEAN wujudkan kawasan yang bebas senjata nuklir
15 July 2023 14:48 WIB
Hasto Kristiyanto sebut PDIP dan PBB pilih jalan ideologi meski terjal
09 March 2023 14:39 WIB
PM baru Jepang Fumio Kishida tempuh jalan terjal menuju pemilihan umum
06 October 2021 12:45 WIB
Jalan Terjal Menghapuskan Kekerasan Pada Anak
19 October 2015 13:10 WIB
Jalan Terjal Menghapuskan Kekerasan Pada Anak
19 October 2015 13:06 WIB
Izin Tak Lengkap Menara Telekomunikasi Disegel Aparat
03 April 2017 15:30 WIB
Jokowi Jenguk Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Hasyim Muzadi
15 March 2017 11:05 WIB
Pemko Batu Alokasikan Rp4,3 Miliar Untuk Bantu Ibu Hamil
07 February 2017 10:50 WIB