Jakarta (Antarariau.com) - Ucapan tegas itu disuarakan oleh Caesar (diperankan oleh aktor Inggris, Andy Serkis), seorang simpanse dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa sehingga dapat berkomunikasi dan berpikir layaknya manusia dewasa.
Film "War for the Planet of the Apes" adalah bagian akhir dari trilogi film setelah "Rise for the Planet of the Apes" (2011) dan "Dawn of the Planet of the Apes" (2014).
Masih seperti kedua film sebelumnya, "War" juga menceritakan tentang perjalanan Caesar, simpanse yang menjadi cerdas dampak genetika setelah induk Caesar mendapatkan suntikan untuk riset medis berupa virus oleh ilmuwan manusia, sebagaimana dituturkan dalam "Rise".
Dalam perjalanannya, virus tersebut menyebar melalui udara yang mengakibatkan wabah yang menewaskan sebagian besar umat manusia.
Mulai dari film "Dawn", dikisahkanlah mengenai awal pertarungan antara dua spesies, yaitu umat manusia dan para kera, guna menentukan siapa yang dominan di bumi.
Namun, bila dalam banyak film trilogi seperti rangkaian "Alien" dan "Predator" kerap ditemukan bahwa tokoh antagonis adalah mahkluk yang bukan manusia, maka dalam film "War for the Planet of the Apes", tokoh protagonis adalah kaum kera.
Sejak awal film, penonton telah digiring untuk bersimpati dengan kerumunan kera, yang dipimpin oleh Caesar, yang tiba-tiba diserang oleh segerombolan serdadu umat manusia (yang dibantu oleh sejumlah kera yang membelot).
Para tentara manusia itu tanpa ampun menembaki kera yang sedang membangun pertahanan di tengah hutan, sebelum akhirnya para kera berhasil memukul balik para penyerang dan menangkap beberapa manusia.
Caesar, dengan kebijakannya, membebaskan para serdadu yang telah ditangkap dengan harapan mereka tidak akan kembali dan memusnahkan kalangan kera kembali pada masa mendatang.
Setelah serangan tersebut, meski mendapatkan masukan mengenai daerah yang aman dari jangkauan umat manusia yang bisa dihuni dengan damai oleh para kera, Caesar masih ragu mengajak kera lainnya untuk beranjak.
Hal tersebut karena kumpulan kera yang berada di bawah kepemimpinannya sangat banyak, dan sangat sukar untuk pergi dalam jumlah rombongan yang besar tanpa diketahui oleh spesies "homo sapiens" (nama lain manusia) yang siap untuk menghabisi mereka.
Namun, sebuah tragedi terjadi yang akhirnya membuat kaum kera itu melakukan eksodus ke tanah harapan, namun Caesar memutuskan untuk pergi ke arah yang berbeda.
Apik
Tanpa harus mengungkap secara mendalam mengenai plot dalam "War for the Planet of the Apes", dapat dikatakan bahwa perjalanan yang dilakukan oleh Caesar dan beberapa kera kepercayaannya benar-benar menggugah dan dituturkan dengan skenario yang apik.
Salah satu aspek yang sangat layak dipuji dalam produksi film ini adalah terkait efek khusus yang benar-benar membuat sosok kera di dalam film, dapat memiliki emosi yang beragam dan sangat bernuansa layaknya manusia.
Meski tokoh Caesar sepanjang film itu digambarkan layaknya sebagai kera, namun penonton dapat merasakan kemarahan, kesedihan, tekad untuk berjuang, yang ditunjukkan olehnya.
Tidak hanya soal drama, film berdurasi 140 menit itu juga dilengkapi dengan beragam potongan laga dan sinematografi yang menakjubkan, mulai dari serangan di rimba belantara pada awal film hingga adegan peperangan di daerah bersalju pada paruh terakhir film.
Sementara para tokoh yang tampil di layar sebagai manusia (seperti sekumpulan tentara pimpinan Kolonel yang diperankan Woody Harrelson), merupakan para antagonis yang menggunakan tenaga kera untuk dijadikan budak demi keuntungan kelompok tentara tersebut.
Namun, ada satu manusia di film tersebut yang merupakan bagian dari protagonis, yaitu Nova (Amiah Miller), seorang gadis belia dengan kondisi bisu dan tuli.
Film tersebut juga menimbulkan sejumlah renungan yang mendalam, karena di dalamnya mengisahkan dua spesies (kera dan manusia) yang dikisahkan berada dalam kondisi yang hampir punah di muka bumi.
Kepunahan yang dihadapi umat manusia karena virus yang telah menyebar luas, sedangkan kepunahan yang dialami kera adalah karena mereka diburu oleh manusia, yang membenci kera karena dianggap sebagai awal pembawa virus yang mewabah tersebut.
Pertarungan yang terjadi juga bukanlah hitam-putih antara kera dan manusia, karena sutradara Matt Reeves juga membawakan pertempuran antara sesama manusia.
Gelap
Secara keseluruhan, film tersebut memang membawa kesan yang gelap bahwa keberadaan bersama antara kera dan manusia dapat dikatakan sebagai hampir-hampir merupakan hal yang tidak mungkin (beruntung ada tokoh Nova yang menyatakan bahwa tidak semua manusia adalah jahat).
Namun, pada saat yang bersamaan "War for the Planet of the Apes" juga menuturkan tentang optimisme dan harapan, khususnya dalam perjuangan para kera untuk mencari tempat persembunyian yang sempurna yang tidak bisa dijamah oleh manusia.
Selain itu, terdapat juga tokoh Bad Ape (diperankan oleh komedian Steve Zahn), yang juga berhasil mewarnai film tersebut menjadi lebih ringan dan diselimuti oleh sejumlah adegan mengundang tawa.
Sangat jarang sebuah trilogi dapat terus menampilkan kisah yang terus membaik dari film pertama hingga kedua hingga film terakhir yang merupakan penutup dari suatu trilogi.
Namun, film "War for the Planet of the Apes" merupakan sebuah penutup sempurna dari salah satu trilogi film terbaik yang pernah ada, yang layak disejajarkan dalam deretan trilogi hebat lainnya seperti trilogi "Star Wars" (tahun 70-an hingga 80-an) dan rangkaian film "Bourne" (dekade 2000-an).