Nominal Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Lahan PT LIH Rp192 Miliar

id nominal kerusakan, lingkungan akibat, kebakaran lahan, pt, lih rp192 miliar

Nominal Kerusakan Lingkungan Akibat Kebakaran Lahan  PT LIH Rp192 Miliar

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Jaksa Penuntut Umum menyatakan nilai nominal dari kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat dari kebakaran lahan di konsesi PT Langgam Inti Hibrindo di Kabupaten Pelalawan, Provinsi Riau, ketika kebakaran besar melanda pada 2015 mencapai lebih dari Rp192 miliar.

Hal ini terungkap saat pembacaan dakwaan pada sidang perdana dugaan kebakaran pada lahan perusahaan kelapa sawit tersebut, dengan terdakwa Manajer Operasional PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) Frans Katihokang, di Pengadilan Negeri Pelalawan, Selasa.

"Berdasarkan perhitungan yang dilakukan, maka diketahui bahwa biaya kerusakan ekologis, ekonomi dan biaya pemulihan akibat kebakaran lahan seluas 533 hektare di areal HGU (hak guna usaha) PT Langgam Inti Hibrindo adalah sebesar Rp192.088.512.000," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Pangkalan Kerinci, Arie Purnomo.

JPU Arie Purnomo, Fitriadi dan Doli Novaisal secara bergiliran membacakan berkas dakwaan setebal 35 halaman pada persidangan yang dipimpin oleh Hakim Ketua Idewa Gede Budhy Dharma Asmara. Sementara itu, terdakwa Frans Katihokang hadir mengenakan batik warna biru didampingi oleh Penasehat Hukum Hendri Muliana. Terdakwa Frans Katihokang disebut JPU sebagai manajer operasional di tiga lokasi lahan perkebunan dengan total seluas 8.716,892 hektare (ha) di Kabupaten Pelelawan, dan memiliki tugas pokok memberi perintah dalam mengatur operasional kebun PT LIH.

Dalam dakwaannya, JPU menyatakan perusahaan terindikasi tidak siap dalam sarana prasarana serta tenaga terlatih untuk mencegah potensi kebakaran yang akhirnya terjadi di dalam konsesi pada Juli 2015. Pada lokasi kebun Gondai di Desa Pangkalan Gondai Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, sudah diidentifikasi sebagai lahan yang dalam keadaan sensitif terhadap ancaman kebakaran karena terdapat bahan bakar potensial, berupa tumpukan kayu yang disusun berjajar pada setiap blok dari 25 blok tanaman sesudah dilakukan pekerjaan pembukaan lahan (land clearing) dan stacking.

Faktanya pada bulan Mei 2015 baru dilakukan pembangunan kantor afdeling dan satu unit menara pengamat api dengan tinggi sekira 10 meter di area kebun Gondai yang memiliki luas 1.026,85 hektare itu. "Kedua bangunan tersebut belum dapat difungsikan dan terhadap satu unit menara pengamat api sebagai peralatan deteksi dini, selain jumlahnya yang tidak sesuai sebagaimana buku pedoman pengendalian kebakaran lahan dan kebun yang dikeluarkan oleh Direktorat Pelrindungan Kebun Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2010 yang mensyaratkan jumlahnya berdasarkan luasan di atas 1.000 ha adalah antara 5-10 unit menara pengamat api, ketinggiannya pun juga tidak sesuai yang seharusnya antara 25 sampai 30 meter," kata JPU Arie.

Selain itu, JPU juga menyatakan perusahaan tidak siap dalam peralatan antisipasi kebakaran lahan di kebun Gondai, serta akses transportasi juga minim sehingga untuk menuju areal blok yang terbakar tidak dapat dilalui kendaraan bermotor, melainkan harus berjalan kaki serta menggunakan perahu besi tidak bermesin (pantoon) yang butuh waktu sekira 30-60 menit.

Bahkan, JPU menyatakan petugas PT LIH yang tidak terlatih awalnya hanya mengandalkan satu buah ember untuk memadamkan kebakaran yang pertama teridentifikasi di blok (OL) 5 kebun Gondai. "Mereka melakukan pemadaman kebakaran lahan areal yang terjadi pada OL 5 menggunakan satu buah ember tersebut secara berganti-gantian yang airnya diambil dari kanal yang berjarak sekira 100 sampai dengan 150 meter dari lokasi kebakaran," katanya.

JPU memasukan keterangan dari ahli kebakaran hutan dan lahan Prof DR Bambang Hero Saharjo dan Ahli Kerusakan Tanah dan Lingkungan Akibat Kebakaran Lahan dari Fakultas Kehutanan IPB DR. Basuki Wasis. Keduanya telah melakukan verifikasi lapangan dan pengambilan sampel tanah serta bahan bakar di lokasi kebakaran, yang hasilnya menyimpulkan ada indikasi telah terjadi pembakaran secara sengaja dan sistematis di areal perkebunan sawit PT LIH.

Dari indikasi tersebut, JPU mengenakan ancaman pidana terhadap terdakwa Frans Katihokang dengan pasal 98 ayat (1) dan pasal 99 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf b Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, terdakwa juga diancam pidana dalam pasal 108 jo pasal 56 ayat (1) UU No.39 tahun 2014 tentang Perkebunan.

Menanggapi dakwaan tersebut, baik terdakwa maupun penasehat hukum tidak mengajukan keberatan atau eksepsi. Ketua Majelis Hakim Idewa Gede Budhy Dharma Asmara menyatakan sidang akan dilanjutkan pada pekan depan dengan agenda mendengarkan keterangan saksi-saksi.

Sementara itu, Senior Community Development Officer PT LIH Lagiman menyatakan, perusahaan akan menghormati proses hukum yang sedang berjalan terkait upaya penegakan hukum dalam mengungkap penyebab kebakaran lahan yang terjadi di Kabupaten Pelalawan, Riau. "Sebagai perusahaan nasional, PT Langgam Inti Hibrindo selalu taat dan patuh terhadap setiap ketentuan hukum yang berlaku," ujar Lagiman yang ikut memantau persidangan.

Ia menambahkan, PT LIH memiliki komitmen untuk selalu menjalankan usaha dengan standar lingkungan dan keamanan sebagaimana diatur pemerintah. "Perusahaan juga telah melaksanakan kebijakan tanpa bakar atau zero burning untuk memastikan bahwa produk-produk LIH sesuai dengan syarat dan standar yang ditetapkan oleh konsumen," tutupnya.