Pekanbaru, (Antarariau.com) - Sendratasik Universitas Islam Riau (UIR), menampilkan pentas seni teater bertemakan "Baghandu" atau bersenandung, sebuah budaya asal Kabupaten Kampar di Anjungan Seni Idrus Tintin, Kompleks Bandar Serai purna MTQ, Pekanbaru, Provinsi Riau 9-11 April 2015.
"Tema "baghandu" ini ingin mengangkat jiwa nasionalisme serta kondisi Indonesia saat ini," kata Sutradara Willy Fwi, Sabtu, di Pekanbaru.
Ia mengatakan, budaya "baghandu" atau bersenandung sudah jarang dilakukan para orangtua jaman sekarang kepada bayi mereka yang masih balita.
Dalam sendra tari teater yang diangkat dari karya Willy Fwi, sekaligus Pemilik Riau Beraksi Studio seni peran, Pekanbaru, sengaja memadukan tradisi "baghandu" yang masih ada di kalangan masyarakat Kampar, dengan kondisi nyata anak manusia saat ini.
"Kami ingin memberikan gambaran bahwa tradisi "baghandu" mempunyai nilai-nilai yang kuat dalam membentuk karakter anak bangsa sejak dalam buaian," katanya.
Ia mengaku kondisi mental bangsa yang mulai carut- marut dengan berbagai perangai yang membuat resah, korupsi, kejahatan begal, narkoba dan banyak lagi lainnya terjadi saat ini.
Hal ini menantang pelaku seni di wilayah ini ingin mengembalikan, menyadarkan fikiran jernih. Manusia yang hidup tidak bisa lepas dari adat istiadat serta budaya neneng moyang.
Ia bahkan yakin jika ingin melakukan revolusi mental itu harus dimulai dari bayi, dan peran orang tua sangat penting, seperti yang dilakukan neneng moyang orang Kampar yakni "baghandu".
"Jika kita tetap berpegang teguh pada nilai-nilai luhur budaya, maka saya yakin tak akan ada genk motor, tawuran, narkoba sampai ke masalah korupsi," katanya.
Menurut dia " baghandu" memiliki peran sejak dini dalam mendidik anak karena mengandung banyak pesan moral, ajaran agama, kepahlawanan dan cinta negeri.
Ia menerangkan, pertunjukan kali ini mengkolaborasikan unsur teater, musik dan fotografi. Selain menyaksikan akting para pelakon, penonton juga digiring dalam berbagai suasana emosi lewat musik dan lirik lagu yang lugas dan nakal.
Hasil karya fotografer yang tergabung dalam Asosiasi Profesi Fotografi Indonesia (APFI) menjadi penguat pesan lewat gambar-gambar yang menarik pada LED screen ukuran 3x4 m sebagai bagian dari set dekorasi panggung.
Diakuinya pagelaran teater ini sudah berlangsung sejak tanggal 9 April Kemaren dan akan berakhir pada 11 April. Sengaja diputar setiap malam berturut-turut pada Anjungan Seni Idrus Tintin, Kompleks Bandar Serai purna MTQ, Pekanbaru, agar pecinta drama kolosal bisa bebas memilih waktu kapan bisa datang bersama keluarga dan anak mereka.
Tidak jarang dari beberapa kali penampilan, pengunjung yang hadir berasal dari luar Pekanbaru.
"Mengharukan sekali ceritanya, banyak pesan moral dan nasionalisme yang disampaikan. Saya jadi terkenang dengan ibu yang sering "baghandu" sewaktu saya kecil." Ungkap Yurnalis, (50) th asal Bangkinang, Sabtu.
"Baghandu" atau bersenandung adalah kebisaaan orang Kampar jaman dulu, ketika menidurkan anaknya dibuaian.
Dulu, ketika melintasi halaman rumah di kampung-kampung, selalu terdengar sayup-sayup senandung penuh dengan pesan seorang ibu saat menidurkan anaknya dengan lirik yang khas.
Namun, kini boleh dibilang tidak ada lagi. Baghandu itu sudah berganti dengan nyanyian moderen.
Ini salah satu faktor mengapa tradisi ini mulai meluntur ditengah masyarakat. Dahsyatnya perkembangan musik dan nyanyi dalam tayangan televisi diserap oleh generasi masa kini.
Disini akan ditampilkan salah satu penggalan kata "baghandu" yang di ucapkan sang ibu kepada anaknya dulu begini, "lolok la nak dalam buayan, piciongkan mato copekla godang" artinya tidurlah nak picingkan mata, cepatlah besar.
Kutipan ucapan lain, "Ambiok seek na obahlah paku, nak bulioh toaang nak jalan ka somak awak keciok nak elok lah laku, nak bulio sayang nak ughang ke awak" artinya, ambil pelita, rebahkan paku agar bisa mudah dan lurus jalan melintasi semak. Kamu sedari kecil haruslah menjadi orang baik dan perilaku yang benar agar tetap disayang orang.