Pekanbaru, (Antarariau.com) - Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) mempunyai keyakinan revisi Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang membatasi permukaan air 0,4 meter tidak dilakukan dalam waktu dekat.
"Di Riau itu kan, kebun sawit. Kalau peraturan itu diberlakukan, memang mau habis semuanya. Ya, memang katanya begitu (di revisi). Tapi revisi itu nanti dulu (pemerintah) punya cerita," papar Wakil Ketua APKI Rusli Tan melalui telepon kepada Antara di Pekanbaru, Jumat.
Dia mengaku merasa heran karena peraturan pemerintah tentang gambut tersebut semestinya tidak bisa dikeluarkan begitu saja, disebabkan di Kementerian Lingkungan Hidup terdapat banyak ahli seperti ahli tanaman, kemudian ahli tanah dan ahli gambut.
Sebagai pelaku usaha bidang industri hijau, kata dia, peraturan pemerintah tersebut dianggap sebagai sesuatu yang tidak wajar karena setelah diterbitkan pada September 2014, kemudian harus di revisi karena tidak cocok bagi budi daya tanaman gambut seperti sawit dan hutan tanaman industri.
Dia membandingkan dengan pemerintahan Tiongkok begitu antusias dalam memberikan perizinan karena sekarang sudah terdapat 60 juta hektare hutan tanaman industri dengan masa tanaman 10-20 tahun, sedangkan Indonesia baru memiliki 3 juta hektare dengan masa 4-5 tahun.
"Jadi kita merasa aneh, masa pemerintah tidak mengerti dengan peraturan yang di buat akan mematikan tanaman. Permukaan air gambut yang dibatasi 0,4 meter tersebut, sama saja dengan tanaman jadi mati. Kan, begitu kan," ucap Rusli.
Akhir tahun lalu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah menerima audiensi Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia yang akan melihat kembali Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"Itu menunjukkan bahwa dia sudah mendengarkan keluhan dari pelaku usaha. Sementara sudah sering terjadi yang direvisi tersebut, tidak sesuai yang diinginkan," katanya.
Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) tahun lalu menyatakan, devisa negara 6 miliar dolar AS per tahun dari industri hijau terancam hilang karena Peraturan Pemerintah No.71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
"Indonesia berpotensi kehilangan 6 miliar dolas AS untuk devisa negara dari sektor ini karena kami khawatir regulasi itu sangat sulit diterapkan, kecuali penerapan PP Gambut untuk buat perusahaan gulung tikar," kata Ketua APHI Bidang Hutan Tanaman Industri, Nana Suparna.
Ia mengatakan, ketentuan dalam peraturan pemerintah tersebut sangat kontraproduktif seperti penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut.
Selain itu, gambut juga ditetapkan berfungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari tiga meter dan paling memberatkan pelaku industri adalah aturan muka air gambut ditetapkan minimal 0,4 meter.
"Penerapan aturan muka air bukan hanya sulit diterapkan untuk tanaman akasia, melainkan juga kelapa sawit dan karet. Sebabnya, ketinggian air yang ideal agar akar pohon bisa tumbuh dan hidup adalah berkisar 0,8 meter hingga satu meter," katanya.
Penerapan regulasi tersebut juga berpotensi hilangnya nilai produksi dari sektor hutan tanaman industri sekitar Rp103 triliun per daur tanam, ucapnya.
Berita Lainnya
APKI: Revisi PP Gambut Tidak Waktu Dekat
23 January 2015 20:16 WIB
BRGM ajak anak muda GLI kenal lebih dekat gambut dan mangrove di Kepulauan Meranti
29 September 2024 12:52 WIB
PHR proaktif bantu pencegahan dan pelatihan karhutla-restorasi gambut di Riau
28 August 2024 11:38 WIB
Adaptasi perubahan iklim dengan pertanian lahan tanpa bakar di Rokan Hilir
15 August 2024 12:22 WIB
Difasilitasi BRGM, 40 produk dari lahan gambut dijajakan ke gerai oleh-oleh di Riau
30 July 2024 12:19 WIB
KLHK sebut pengelolaan gambut perlu strategi khusus dan perhatikan fisiografi ekosistem
30 May 2024 17:02 WIB
KLHK paparkan restorasi gambut berpotensi topang peningkatan kesejahteraan desa
18 April 2024 13:32 WIB
BRGM targetkan rehabilitasi 7500 hektare gambut di Riau
25 March 2024 17:30 WIB