Optimisme Renta Warga Palestina di Tengah Meningkatnya Dukungan Barat

id Palestina, Gaza

Optimisme Renta Warga Palestina di Tengah Meningkatnya Dukungan Barat

Sekitar 100.000 orang yang baru-baru ini mengungsi dari Gaza Utara kini berlindung di sekolah-sekolah, bangunan, atau tempat-tempat penampungan darurat di Kota Gaza, kata seorang juru bicara PBB pada Jumat (1/11/2024). (ANTARA/Anadolu/py)

Gaza (ANTARA) - Warga Palestina menyampaikan harapan yang masih rapuh menyusul gelombang baru pengakuan Negara Palestina oleh negara-negara Barat, sementara Israel terus melanjutkan serangan militernya di Gaza.

Pada Minggu (21/9), Inggris, Kanada, Australia, dan Portugal secara resmi mengakui kenegaraan Palestina dalam apa yang mereka gambarkan sebagai sebuah upaya untuk menghidupkan kembali prospek solusi dua negara. Prancis mengikuti langkah tersebut dalam sebuah pertemuan internasional tingkat tinggi pada Senin (22/9). Sejumlah negara lain juga mengumumkan pengakuannya terhadap Negara Palestina.

Baca juga: Warga sipil mengungsi dari serangan di Kota Gaza dengan segala cara

Langkah itu memicu penentangan keras dari Israel dan mencerminkan perbedaan arah kebijakan dengan Amerika Serikat, yang sejak lama menolak pengakuan sepihak atas kenegaraan Palestina.

Namun, bagi banyak warga Palestina, perkembangan itu menimbulkan pertanyaan yang mendesak. Apakah dukungan internasional ini akan benar-benar membawa perubahan nyata di lapangan, atau tetap hanya sebatas simbolis?

Di sebuah kamp pengungsian di kamp pengungsi al-Nuseirat di Jalur Gaza tengah, Om Mohammed al-Sheikh (50), seorang ibu dari enam anak, mengatakan kepada Xinhua, "Seluruh dunia berbicara tentang pengakuan terhadap Palestina, tetapi apa artinya bagi kami, warga Gaza, selama Israel masih terus melanjutkan perangnya terhadap kami?"

"Kami ingin perang berhenti, anak-anak kami kembali ke sekolah, dan kami ingin mendapatkan obat bagi yang sakit. Negara di atas kertas saja tidak cukup jika kenyataan di lapangan tidak berubah," ujarnya.

Yousef Abu Daya (27), seorang pekerja logam dari Gaza City, mengatakan bengkelnya, yang merupakan satu-satunya sumber penghasilannya, hancur pada awal perang. "Kami membutuhkan perubahan nyata yang dapat dirasakan oleh masyarakat, bukan hanya pernyataan politik," katanya kepada Xinhua.

Di seluruh Gaza, suara-suara seperti itu menyoroti kesenjangan antara diplomasi tingkat tinggi dan kenyataan akan pengungsian, kekurangan pasokan, dan perang.

Esmat Mansour, seorang analis politik yang berbasis di Ramallah, menggambarkan pengakuan internasional itu sebagai "pencapaian penting" yang mencerminkan perjuangan dan pengorbanan Palestina selama puluhan tahun, namun "pengakuan ini tidak dengan sendirinya mengakhiri pendudukan atau menghentikan perang di Gaza."

"Pengakuan tidak menciptakan sebuah negara dengan sendirinya, tetapi hal itu menambah bobot politik dan moral," ujar Mansour.

"Pertarungan sesungguhnya masih ada di lapangan. Jika kita tidak memiliki kehadiran yang kuat di Tepi Barat dan Gaza, pengakuan akan tetap hanya bersifat simbolis," ujar dia.

Senada dengan sentimen tersebut, peneliti politik yang berbasis di Gaza, Tayseer Abed, mengatakan kepada Xinhua bahwa Palestina tidak lagi terisolasi di forum-forum internasional, dan pengakuan ini juga mengubah dinamika negosiasi di masa depan.

Abed menekankan bahwa Palestina harus memanfaatkan momen ini melalui persatuan internal dan upaya diplomatik yang terorganisir. "Dunia sedang membuka jendela untuk kita, tetapi untuk mencapainya tergantung pada kemampuan kita untuk tetap berpegang pada prioritas nasional," tambahnya.

Kedua pakar tersebut menekankan betapa rekonsiliasi Palestina sangat penting untuk mewujudkan keuntungan simbolis menjadi kemajuan nyata.

Mansour berpendapat bahwa Israel memandang pengakuan itu sebagai ancaman dan berusaha meredamnya melalui tekanan militer.

"Jika tidak ada konsensus internal, pengakuan ini dapat menjadi titik perselisihan lainnya alih-alih menjadi sumber kekuatan," ujar Mansour.

Baca juga: Menjelang Sidang Umum PBB, Dukungan Global untuk Pengakuan Palestina Kian Meluas

Abed menekankan bahwa pengakuan juga disertai dengan tanggung jawab. "Dunia berharap untuk melihat institusi-institusi Palestina yang mampu memerintah, bukan sebuah otoritas yang terbagi antara Gaza dan Tepi Barat," ujarnya.

"Rekonsiliasi tidak lagi menjadi pilihan, namun merupakan syarat mutlak untuk memanfaatkan momentum internasional ini," katanya.

Pewarta :
Editor: Vienty Kumala
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.