Peran PBB Migas bagi pembangunan daerah di Riau

id pbb, migas

Peran PBB Migas bagi pembangunan daerah di Riau

Dosen, Peneliti dan Pemerhati Bisnis Hulu Migas Univeritas Pertamina A Rinto Pudyantoro, Pekanbaru, Selasa (15/4/2025).ANTARA/HO. (HO)

Pekanbaru (ANTARA) - Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor migas sangat berperan bagi pembangunan daerah karena merupakan salah satu sumber pendapatan yang dipungut berdasarkan aset berupa tanah, tubuh bumi dan bangunan yang digunakan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas.

PBB Migas termasuk kelompok PBB sektor P5L, yang mencakup lima kategori, yaitu perkebunan, perhutanan, pertambangan migas, pertambangan minerba, dan lainnya.

Berbeda dengan PBB Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2) yang dikelola langsung oleh pemerintah daerah dan dicatat sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD), sementara PBB migas dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di tingkat pusat.

Akan tetapi hasil dan perolehan PBB Migas yang dipungut dibagi ke daerah melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH). Sehingga istilah komplitnya adalah DBH PBB Migas, namun secara spesifik kemudian disebut PBB Migas.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 159 Tahun 2023, PBB migas dibagi hasilkan ke daerah dengan pembagian: (1) 73,8% untuk kabupaten/kota penghasil, (2) 16,2% untuk provinsi, dan (3)10% untuk kabupaten/kota lain dalam provinsi. Angka tersebut dianggap mampu mencerminkan prinsip keadilan fiskal, dengan memberi ruang bagi daerah penghasil untuk memperoleh kompensasi atas pemanfaatan sumber daya alam di wilayahnya.

Kosepnya sama dengan DBH Migas, yaitu mengutamakan daerah penghasil migas untuk memperoleh manfaat fiskal lebih besar dari keberadaan aktivitas hulu migas di wilayahnya.

Hanya saja peran PBB migas terhadap perekonomian di daerah kerap kali luput dari perhatian publik. Padahal PBB migas nyata memberikan kontribusi besar terhadap struktur penerimaan daerah. PBB migas adalah instrumen fiskal yang penting bagi daerah dan menjadi ‘napas’ pembangunan daerah.

DBH terbesar

Dosen, Peneliti dan Pemerhati Bisnis Hulu Migas Univeritas Pertamina A Rinto Pudyantoro mengatakan,Provinsi Riau memiliki sejarah panjang sebagai lumbung migas nasional dan menjadi pilar utama dalam sektor hulu migas Indonesia.

"Salah satu Wilayah Kerja (WK) yang menjadi andalan adalah WK Rokan, yang saat ini dikelola oleh PT Pertamina Hulu Rokan (PHR). Lifting minyak PHR saat ini ada pada kisaran 145.000–155.000 barel per hari. WK Rokan menyumbang sekitar 25% dari total lifting minyak Indonesia," katanya di Pekanbaru, Selasa.

Untuk mempertahankan atau meningkatkan volume lifting tersebut, PHR secara konsisten menjalankan kegiatan pengeboran dalam skala besar. Setiap tahun ratusan sumur baru dibor menggunakan teknologi dan armada rig yang terus diperbarui. Kegiatan operasional tersebut tidak hanya berdampak pada produksi dan lifting, tetapi juga memiliki konsekuensi fiskal, terutama dalam hal penilaian dan perhitungan PBB migas.

Ada dua komponen utama yang menyebabkan besarnya PBB migas dari WK Rokan. Pertama, komponen tubuh bumi, yang dihitung berdasarkan volume lifting, dan kedua, penambahan komponen bangunan, termasuk jumlah sumur, fasilitas produksi, pipa, gudang, perkantoran, dan infrastruktur lainnya yang digunakan dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

Kontribusi operasional migas tercermin dari PBB Migas yang disalurkan ke daerah-daerah penghasil termasuk yang terjadi di Provinsi Riau.

KKKS yang bekerja di Provinsi Riau secara bersama-sama memberikan kontribusi PBB Migas untuk Provinsi Riau. Data tahun 2023 menunjukkan PBB migas sebesar Rp3,9 Triliun.

Dua Kabupaten terbesar adalah Kabupaten Bengkalis yang menerima Rp1,54 triliun dari PBB Migas, setara dengan hampir 48% dari total dana transfer ke kabupaten tersebut.

Kedua adalah Kabupaten Siak PBB Migas sebesar Rp498 miliar, atau sekitar 24% dari keseluruhan dana transfer. Secara lebih rinci bisa dilihat dari tabel berikut.

Tantangan ke depan

PBB Migas diharapkan tidak hanya sekedar angka dalam neraca keuangan daerah, tetapi dapat dimanfaatkan untuk membangun infrastruktur dasar yang dibutuhkan masyarakat. Termasuk juga mendorong pembangunan jalan penghubung antar wilayah, jembatan, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, serta sarana air bersih dan listrik desa.

Sehingga PBB Migas dapat menjadi motor penggerak munculnya kawasan industri baru, pusat logistik regional, bahkan mempercepat transformasi ekonomi di desa-desa tertinggal yang berada di sekitar wilayah produksi.

Meski secara nilai PBB migas tampak menjanjikan, namun terpampang tantangan serius terhadap kondisi ke depan. Salah satunya adalah fluktuasi dan penurunan PBB Migas. Perhitungan nilai jual objek pajak (NJOP), khususnya untuk komponen tubuh bumi, bergantung pada variabel lifting dan fluktuasi harga minyak.

WK Rokan adalah WK tua, yang saat ini termasuk WK yang berada pada posisi declining. Yang artinya secara alamiah produksi minyak akan terus turun di tahun tahun ke depan. Jadi bisa dibayangkan kondisi ke depan, bahwa PBB migas akan mengalami penurunan seiring dengan penurunan produksi dan lifting minyak.

Sampai pada tahapan ini, peran pemangku kepentingan menjadi sangat penting. Termasuk masyarakat sekitar operasi dan Pemerintah Daerah.

Jika Pemda memiliki kepedulian terhadap peningkatan PBB Migas, yang tentu akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat, maka secara logis Pemda dan masyarakat akan memberikan dukungan terhadap operasi migas secara sukarela. Sebab, bagaimanapun juga, Pemerintah Pusat yang diwakili SKK Migas dan KKKS senantiasa berupaya supaya penurunan produksi dan lifting minyak tidak terlalu tajam.

Salah satu strategi penting yang saat ini dilakukan oleh PHR adalah mencoba untuk mengembangkan teknologi pengambilan minyak di source rock. Yang juga sering disebut dengan proyek pengambilan minyak non konvensional (MNK). Namun sekali lagi, Peran dan dukungan Pemerintah Daerah dan masyarakat amat sangat di perlukan untuk kesuksesan program ini.

Dukung Pemda dan masyarakat sudah dapat dipastikan akan memperlancar kegiatan di lapangan, yang pada gilirannya keberhasilan MNK akan meningkatkan produksi, konsekuensi nya ada peningkatan NJOP dan menambah nilai PBB Migas untuk daerah.

Tantangan lain adalah dari sisi administrasi di Kementerian Keuangan. Keterlambatan penyaluran DBH PBB adalah masalah kronis yang menghambat pelaksanaan program daerah. Mengenai hal ini diperlukan koordinasi terus menerus antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Persoalan teknis ini tidak menyebabkan nilai PBB migas turun, sehingga mestinya tidak mempengaruhi dukungan Pemda terhadap operasi hulu migas di daerah.

Kiranya, Provinsi Riau adalah cermin nyata bahwa jika dikelola baik, PBB Migas bisa menjadi instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan. Meski dengan catatan kecil, supaya PBB migas menjadikannya motor pendorong pembangunan jangka panjang diperlukan tata kelola yang transparan, akuntabel, dan berorientasi masa depan.