Jakarta (ANTARA) - Kekalahan dengan skor 0-4 dari Jepang pada Jumat (15/11) lalu memang menyakitkan. Tapi, setidaknya kekalahan itu dapat menyadarkan dan "menampar" kita sebagai suporter dan sebagai masyarakat Indonesia bahwa level timnas Indonesia belum sekuat itu.
Sudah ada perbaikan memang dari pertemuan pertama di Piala Asia 2023 awal tahun ini ketika Indonesia kalah 1-3 dari Jepang.
Kala itu, Indonesia yang masih berada di peringkat 146 dunia, tak bisa berbuat banyak dari sang raja Asia. Gol Indonesia yang dicetak Sandy Walsh adalah satu-satunya tembakan tepat sasaran ke gawang Zion Suzuki dari total tiga tembakan. Gol ke gawang Suzuki juga berasal dari skrimitch di kotak kecil penalti yang diawali lemparan ke dalam Pratama Arhan pada situasi kritis.
Di pertandingan yang digelar di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta itu, Indonesia tak seperti 10 bulan yang lalu. Jika mengabaikan skor, permainan Indonesia jauh lebih baik karena mereka mampu menciptakan total delapan tembakan yang tiga di antaranya tepat sasaran. Apresiasi perlu dilayangkan ke skuad Garuda yang tanpa parkir bus selama 90 menit yang secara kualitas, jauh di atas mereka itu.
Dari delapan peluang yang diciptakan ini, ada dua big chances atau peluang besar untuk berbuah gol. Sayang, kualitas pemain Indonesia masih belum mampu menghukum Jepang.
Inilah titik poinnya. Perbedaan kualitas sangat mempengaruhi permainan di lapangan. Jika Indonesia tak mampu memanfaatkan kelengahan Jepang pada 30 menit pertama melalui dua peluang besar, sebaliknya Samurai Biru hanya membutuhkan lima menit untuk menghukum Indonesia dengan dua gol melalui gol bunuh diri Justin Hubner dan gol Takumi Minamino.
Mereka dengan jelinya memanfaatkan Indonesia yang sedang dalam fase “jeda” karena tak mampu mempertahankan intensitas permainan bagus seperti setengah jam pertama.
Di babak kedua, parade kesalahan yang tak boleh dilakukan di level tertinggi, kembali dilakukan Indonesia. Di saat membutuhkan gol, Maarten Paes membuat kesalahan passing yang berujung gol Hidemasa Morita.
Setelah itu, Indonesia melakukan kesalahan dalam barisan pertahanan ketika membiarkan Yukinari Sugawara masuk ke dalam kotak penalti dan memiliki banyak waktu berpikir sekitar empat detik sebelum dia melepaskan tendangan keras dari sudut sempit untuk menghukum Indonesia keempat kalinya.
Setiap tim pasti akan melakukan kesalahan. Namun, kualitas sebuah tim inilah yang akan menentukan mereka mampu menghukum kesalahan yang dibuat lawan atau tidak. Jepang bisa, karena kualitas pemain mereka selalu atau minimal bermain reguler di level papan atas.
Lihat dimana pemain Jepang bermain, Takumi Minamino di AS Monaco, Takefusa Kubo di Real Socieded, Kaoru Mitoma di Brighton & Hove Albion, Ritsu Doan di Freiburg, Hidemasa Morita di Sporting Lisbon, Wataru Endo di Liverpool, hingga Yukinari Sugawara di Southampton.
Di Indonesia, ada 16 pemain yang bermain di luar negeri, tapi yang sering mendapatkan jam terbang di level tertinggi, mungkin hanya Jay Idzes, Thom Haye, Mees Hilgers, dan Calvin Verdonk.
Hanya Idzes yang bermain di salah satu dari tiga liga paling kompetitif di dunia saat ini, yaitu Liga Italia. Meski demikian, level Idzes hanya bermain untuk Venezia, tim yang kini menghuni juru kunci.
Kevin Diks memiliki pengalaman bermain di Liga Champions. Namun, bek 28 tahun itu hanya berkarier di Liga Denmark, liga nomor 16 dunia.
Masyarakat boleh berharap besar pada peluang emas pada menit-menit awal yang didapatkan oleh Ragnar Oratmangoen. Jika gol, jalan pertandingan akan berbeda. Jepang akan lebih menyerang dan Indonesia semakin punya peluang untuk mencetak gol tambahan karena akan ada banyak ruang untuk melakukan serangan balik.
Ragnar gagal menuntaskan peluang itu. Alih-alih menembak saat bola ada di kaki kanannya, dia malah membelokkan bola untuk menyelesaikan peluang dengan kaki kirinya yang justru memberikan cukup waktu bagi Zion Suzuki untuk maju dan kemudian menutup ruang tembak. Kalau peluang ini didapatkan oleh Mitoma, Minamino, atau Doan, kemungkinan peluang seperti ini akan gol. Murni karena kualitas.
Shin Tae-yong memasukkan Pratama Arhan pada 30 menit terakhir untuk menambah intensitas serangan melalui sotuasi chaos di kotak penalti Jepang melalui jurus lemparan ke dalamnya. Sialnya, strategi ini sudah terbaca dengan baik oleh Jepang yang sudah belajar dari pertemuan pertama di Piala Asia 2023 pada Januari lalu.
Sebagai negara peringkat 15 dunia yang rutin bermain di Piala Dunia sejak 1998, mental Jepang sebagai negara kuat dalam sepak bola sudah tertanam lama. Akarnya sudah menancap kokoh di tanah. Batang dan daunnya sudah tumbuh. Bunga sudah mekar dan buahnya pun sudah bisa menikmati. Situasi ini berbanding terbalik dengan Indonesia.
Pemain-pemain Jepang yang bermain di level papan atas juga tak hanya berlangsung selama dua tahun terakhir. Yasuhiko Okudera menjadi pemain pertama Negeri Sakura yang bermain di benuar biru pada 1977. Klub Okudera saat itu adalah FC Koln yang ia perkuat dengan catatan 94 penampilan dengan koleksi 21 gol, jumlah yang sangat subur di posisinya sebagai seorang gelandang.
Okudera menjadi “jalan pembuka” pasar klub-klub Eropa melirik pemain-pemain Jepang yang kemudian membuat menginspirasi munculnya nama-nama seperti Hidetoshi Nakata, Shunsuke Nakamura, Shinji Kagawa, Shinji Okazaki, Kaisuke Honda, Maya Yoshida, Makoto Hasebe, hingga Yuto Nagotomo yang memasuki akhir masa kariernya bersama FC Tokyo.
Sedangkan Indonesia, baru akhir-akhir ini tim nasionalnya banyak diperkuat pemain-pemain di kompetisi Eropa. Itu pun level mereka bukan grade satu atau dua.
Baca juga: Pratinjau Indonesia vs Arab Saudi: upaya menjawab keraguan
Baca juga: Peluang Garuda untuk bangkit kalahkan Saudi
Pantang ulangi kesalahan melawan Arab Saudi
Peluang Indonesia untuk memenangkan pertandingan melawan Arab Saudi lebih besar daripada melawan Jepang yang menjadi raja Asia saat ini, andaikan Indonesia benar-benar belajar dari pertandingan melawan anak-anak asuh Hajime Moriyasu.
Pertandingan melawan Jepang memberikan pelajaran pada Indonesia bahwa jika ingin bermain di level tertinggi, tak boleh melakukan kesalahan-kesalahan elementer karena bisa langsung dihukum oleh lawan, seperti Jepang yang menghukum mereka dengan empat gol.
Di latihan resmi pada Senin (18/11) malam, Maarten Paes yang salah melakukan passing melawan Jepang menggunakan kaki kirinya, digenjot oleh pelatih kiper untuk melakukan hal yang sama. Bersama Nadeo Argawinata dan Muhamad Riyandi, Maarten berlatih membangun serangan dari operan pendek satu-dua hingga operan jauh.
Di depan gawang, para striker juga harus memiliki naluri gol dalam mengoversikan peluang sekecil mungkin. Bermain di level tertinggi, menyia-nyiakan peluang akan membuat mereka gigit jari di kemudian hari. Ini yang dialami Indonesia melawan Jepang ketika mereka tak mampu mengonversikan dua peluang besar menjadi gol. Shin Tae-yong juga merasa andaikan mereka mampu mencetak gol pertama, jalannya pertandingan akan berubah.
Walaupun selisih peringkat sangat jauh dimana Jepang ada di peringkat 15 dunia dan Indonesia di peringkat 130 dunia, skuad Garuda membuktikan diri mereka bisa meladeni permainan Jepang, meski hanya selama 30 menit pertama.
Kata Thom Haye, jika intensitas permainan seperti 30 menit pertama melawan Jepang dipertahankan lebih lama melawan Arab Saudi, situasi baik akan berpihak pada skuad Garuda pada pertandingan nanti.
Apalagi, Indonesia juga memiliki modal berharga bermain bagus selama satu babak ketika menahan imbang Saudi di Jeddah. Meski Saudi dulu dan sekarang dilatih dua wajah berbeda, Shin Tae-yong pasti tahu betul karakteristik pemain-pemain mereka pasti tak jauh beda.
Di kubu Arab Saudi, Herve Renard adalah pelatih yang pernah membuat kejutan di Piala Dunia 2022 Qatar saat mengalahkan Argentina yang menjadi juara dunia dengan skor 2-1.
Sayangnya, itu merupakan kemenangan terakhir pelatih asal Prancis tersebut sebelum menderita enam kekalahan beruntun yang membuatnya dipecat dan digantikan oleh Roberto Mancini.
Enam catatan pertandingan terakhir Renard sebelum memasuki periode keduanya adalah kalah dengan kemasukan 12 gol atau selalu kemasukan dua gol setiap laganya. Untuk urusan gol, The Green Falcons saat itu hanya memasukkan empat gol dari enam laga.
Kesulitan mencetak gol menjadi momok menakutkan yang berlanjut di era Mancini, dan kemudian kembali terjadi di era baru Renard yang mengawali periode keduanya dengan tanpa gol melawan Australia.
Renard mengakui betapa buruknya efektivitas peluang Saudi yang gagal mencetak gol dalam tiga pertandingan terakhir. Ketika menghadapi Indonesia di laga pertama, ia juga menuturkan Saudi terlalu banyak membuang-buang peluang, termasuk kegagalan sang bintang Salem Al Dawsari mengeksekusi penalti karena ditepis Maarten.
Serangkaian hasil buruk ini membuat Saudi baru mengoleksi enam poin dari lima pertandingan, dengan catatan selisih gol yang buruk, yaitu minus satu.
Di saat Saudi membutuhkan pengalaman dan membutuhkan perbedaan yang ditawarkan Al Dawsari yang menjadi pemain tersubur Saudi sejauh ini dengan 22 golnya, striker 33 tahun itu justru absen karena cedera.
Rekan Neymar di Al Hilal itu menjadi kehilangan besar bagi Saudi, namun di sisi lain ini menjadi angin segar bagi Indonesia. Saudi menjadi tak semenakutkan itu. Untuk satu tiket ke Piala Dunia 2026, nasib sepenuhnya ada di tangan Garuda.
Berita Lainnya
Menteri ESDM Bahlil sebut kenaikan PPN 12 persen tak pengaruhi harga BBM
19 December 2024 16:58 WIB
Prof Haedar Nashir terima anugerah Hamengku Buwono IX Award dari UGM
19 December 2024 16:35 WIB
NBA bersama NBPA hadirkan format baru untuk laga All-Star 2025
19 December 2024 16:16 WIB
PPN 12 persen, kebijakan paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi
19 December 2024 15:53 WIB
Pertamina Patra Niaga siap lanjutkan program BBM Satu Harga di 2025
19 December 2024 15:47 WIB
BNPT-PBNU sepakat terus perkuat nilai Pancasila cegah ideologi radikalisme
19 December 2024 15:38 WIB
Maskapai Garuda Indonesia tambah pesawat dukung operasional di liburan
19 December 2024 15:19 WIB
Kemenekraf berkolaborasi untuk bantu promosikan produk kreatif
19 December 2024 14:52 WIB