Anggota DPRD Riau sebut 9.000 anak terancam putus sekolah, ini penyebabnya

id Dprd Riau, anak putus sekolah, SMA negeri, sekolah swasta, pendidikan mahal

Anggota DPRD Riau sebut 9.000 anak terancam putus sekolah, ini penyebabnya

Ade Hartati Rahmat. (ANTARA/Diana S)

Pekanbaru (ANTARA) - Anggota DPRD Riau Ade Hartati Rahmat menanggapi banyaknya sekolah negeri yang jumlah siswanya melebihi kapasitas serta masih melaksanakan kegiatan belajar daring karena keterbatasan kelas.

Ade menyebutkan alasan kenapa orang tua memaksakan anak mereka untuk melanjutkan pendidikan ke SMA/SMK negeri karena biaya pendidikan yang mahal di sekolah swasta.

"Hampir semua sekolah itu rata-rata over kapasitas. Itu konsekuensi. Di Pekanbaru saja, rasio jumlah siswa dengan jumlah sekolah negeri itu tidak seimbang. Anak yang lulus SMP itu ada 21.000 orang sementara yang tertampung di SMA/SMK negeri hanya sekitar 11.000, artinya ada lebih dari 9.000 anak yang tidak tertampung di negeri," ucap Ade Hartati kepada wartawan di Pekanbaru, Kamis.

Ade melanjutkan, untuk 9.000 anak yang tidak tertampung di SMA/SMK negeri maka bagi pelajar dengan kategori mampu melanjutkan ke sekolah swasta. Namun, bagi pelajar yang berasal dari keluarga kurang mampu pilihannnya hanya sekolah negeri atau tidak melanjutkan sekolah.

"Kalau 9.000 anak itu berasal dari keluarga mampu, dia bisa pilih sekolah swasta. Tapi kalau yang tidak mampu, pilihan dia kalau tidak putus sekolah ya harus bisa masuk sekolah negeri. Nah itu persoalan pertama yang harus menjadi sorotan Dinas Pendidikan, seperti apa solusinya," ucap Ade.

Terkait pembelajaran daring, kata Ade, pada pembukaan PPDB. Disdik mengambil kebijakan agar Sekolah Negeri tetap mengakomodir pelajar kurang mampu melalui jalur afirmasi. Karena ruangan sudah penuh, pihak sekolah memberlakukan belajar daring.

"Kemaren itu saya sudah ingatkan Dinas Pendidikan. Ini pola PPDB kita seperti apa? Apakah PPDB sistem online kemudian selesai atau bagaimana? Ternyata Dinas Pendidikan mengambil kebijakan bahwa ada lagi dibuka untuk mengakomodir anak-anak afirmasi," kata dia.

Artinya anak-anak tidak mampu yang berada masih di zonasi sekolah. Konsekuensinya ruang kelas belajar kita kan kurang tuh, .au dipakai perpustakaan sudah penuh, kemudian labor sudah penuh, akhirnya diambillah kebijakan anak-anak itu diterima di negeri tapi sistem belajarnya online," sambung Ade.

Ade mengatakan persoalan kekurangan ruangan kelas ini sebenarnya bisa diantisipasi oleh Dinas Pendidikan dengan cara memberikan subsidi kepada anak-anak dari keluarga kurang mampu untuk bersekolah di swasta.

"Cara yang sudah kita sampaikan sejak dua tahun lalu, bagaimana kita mengakomodir agar anak-anak kita yang tidak mampu ini dibiayai oleh BOSDa full, sehingga mereka bisa sekolah di swasta. Jadi beban sekolah negeri ini terbagi," ucapnya.