Jakarta (ANTARA) - Enam mantan anggota DPRD Provinsi Jambi yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara dugaan suap "ketok palu" pengesahan RAPBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran 2017-2018, Jumat, memenuhi panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa.
"Para tersangka telah hadir di Gedung Merah Putih KPK dan segera dilakukan pemeriksaan," kata Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi di Jakarta, Jumat.
Enam tersangka tersebut, yakni mantan anggota DPRD Provinsi Jambi Periode 2014-2019 Mely Hairiya (MH), Luhut Silaban (LS), Edmon (E), M. Khiril (MK), Rahima (R), dan Mesran (M).
Meski demikian, Ali belum memberikan keterangan lebih lanjut apakah para tersangka tersebut akan langsung ditahan.
"Nanti diinfokan ya," ujarnya.
Perkara dugaan suap yang menjerat kelima tersangka terjadi menjelang pengesahan RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018. Dalam RAPBD itu tercantum berbagai proyek pekerjaan infrastruktur dengan nilai proyek mencapai miliaran rupiah yang sebelumnya disusun Pemprov Jambi.
Untuk mendapatkan persetujuan pengesahan RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018 tersebut, para tersangka yang menjabat anggota DPRD Provinsi Jambi Periode 2014-2019 diduga meminta sejumlah uang dengan istilah "ketok palu" kepada Zumi Zola yang saat itu menjabat Gubernur Jambi.
Dengan permintaan tersebut, Zumi Zola melalui orang kepercayaannya Paut Syakarin yang berprofesi sebagai pengusaha menyiapkan dana sekitar Rp2,3 miliar.
Pembagian uang "ketok palu" itu disesuaikan dengan posisi para tersangka di DPRD yang besarannya dimulai Rp100 juta sampai Rp400 juta per anggota DPRD.
Terkait teknis pemberian, KPK menduga Paut Syakarin menyerahkan uang sebesar Rp1,9 miliar kepada beberapa anggota DPRD Provinsi Jambi lainnya.
Dengan pemberian uang tersebut, selanjutnya RAPBD Jambi Tahun Anggaran 2017-2018 disahkan.
Kemudian untuk mengganti uang yang telah dikeluarkan Paut Syakarin, kemudian Zumi Zola memberikan beberapa proyek pekerjaan di Dinas PU Pemprov Jambi kepada Paut Syakarin.
Atas perbuatannya tersangka kemudian disangkakan melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20/2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Baca juga: KPK periksa dua pegawai BNI terkait kasus korupsi di Basarnas
Baca juga: KPK ungkapkan praktik politik uang masih berjalan karena rakyat belum sejahtera