Pekanbaru (ANTARA) - Dalam perspektif ekologis, hubungan manusia dengan alam menjadi bagian yang tak terpisahkan. Relasi itu harus saling menguntungkan. Alam memberikan sumber kehidupan bagi manusia. Begitu juga sebaliknya, manusia dituntut untuk menjaga kelestarian alam agar siklus tersebut saling berkelanjutan.
Menurut Nasaruddin Umar dalam bukunya yang berjudul Argumen Kesetaraan Gender dalam Perspektif Alquran, posisi manusia dengan alam mempunyai kedudukan yang sama sebagai makhluk tuhan. Sebagai makhluk hidup yang paling sempurna ciptaan-Nya, manusia memiliki kelebihan dibandingkan makhluk hidup lainnya, termasuk kelebihan dalam menjaga kelestarian alam.
Jika dirunut ke masa lampau, harmonisasi manusia dengan lingkungan sangat erat. Manusia yang belum tersentuh teknologi dan masih mengandalkan sistem tradisional begitu intens menjaga lingkungan. Nilai-nilai baik yang tertanam itu kemudian diwariskan ke generasi penerus yang dikenal juga dengan kearifan lokal.
Armawi (2013) dalam karya ilmiahnya yang berjudul Philosophical Studies of Human Ecology Thinking on Natual Resource Use, memandang kearifan manusia mengantarkan kita untuk memahami segala sesuatu di alam semesta ini tidak diciptakan dengan percuma.
Artinya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini mempunyai fungsi dan peran masing-masing yang saling berhubungan, saling beraksi, dan saling ketergantungan, sehingga sebagian masyarakat dalam hubungannya dengan lingkungannya akan menjaga keharmonisannya sebagai bentuk rasa syukur terhadap penciptanya.
Lalu mengapa tradisi yang sudah tertanam dengan baik ini mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman?
Tradisi yang terbungkus dalam kebijaksanaan mengelola lingkungan, bukanlah sesuatu yang bersifat statis, melainkan selalu berkembang sesuai dengan dinamika sosial yang terjadi, sejalan dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakatnya.
Sejarah panjang kehidupan manusia
di bumi telah mencatat perubahan
yang nyata dalam interaksinya dengan lingkungan alam sekitar. Bumi mengalami tekanan dari unsur-unsur pencemar sehingga ancaman itu semakin nyata menurunkan kualitas lingkungan. Aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan menyebabkan bumi serta atmosfernya mengalami nasib yang tidak menguntungkan.
Representasi kerusakan lingkungan secara global disebabkan oleh dua faktor yakni akibat ulah atau aktivitas manusia dan faktor alam. Kerusakan yang disebabkan oleh manusia ini justru lebih besar dibanding kerusakan akibat bencana alam.
Ini mengingat kerusakan yang dilakukan bisa terjadi secara terus menerus dan cenderung meningkat. Kerusakan ini umumnya disebabkan oleh aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan sepertiperusakan hutandan alih fungsi hutan, pertambangan,pencemaran udara, air, tanah dan lain sebagainya.
Pemicu Krisis Ekologi
Pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang diistimewakan dilengkapi akal budi dan pikiran. Kedua komponen ini memandu tindakan manusia untuk berjalan sesuai koridor. Realitanya, justru manusia sering menyimpang dalam bertindak. Aspek moral dan etika sudah tidak dihiraukan lagi. Keraf (20101) dalam bukunya yang berjudul Etika Lingkungan Hidup, memandang pentingnya moral, etika dan perilaku manusia yang menjadi dasar perlakuan manusia terhadap lingkungan.
Tindakan manusia yang tidak bertanggung jawab terhadap lingkungan memicu terjadinya krisis ekologi secara global. Kemurkaan alam menjadi ancaman eksistensial yang mengancam jiwa manusia serta mahkluk hidup lainnya.
Pemicu lainnya bersumber dari perkembangan teknologi. Dari berbagai sisi, keberadaan teknologi memang menguntungkan. Namun di sisi seberang, jika tidak digunakan secara tepat maka akan menjadi bumerang. Jika dikorelasikan dengan lingkungan, teknologi yang tidak ramah lingkungan secara agresif menjadi penyebab kemerosotan kualitas lingkungan hidup.
Ada banyak peristiwa kerusakan alam yang bersinggungan dengan implementasi teknologi tak tepat guna, diantaranya penggunaan teknologi yang mendorong pemanasan global, limbah industri yang tidak dikelola dengan baik, penggunaan pupuk kimia merusak kesuburan tanah, eksploitasi sumberdaya perairan, eksploitasi hutan dan kasus lainnya.
Diperlukan Kecerdasan Ekologi
Dengan demikian, dapat ditarik benang merah atas kondisi krisis ekologi yang dapat menjadi renungan dan komitmen bersama dimulai dengan menghormati alam sebagai tempat manusia bertumbuh. Perubahan yang paling fundamental untuk menjadikan bumi lebih baik adalah perubahan moral dan perilaku manusia.
Jika secara naluri, manusia sudah punya kesadaran dan tahu akan konsekuensi merusak alam maka akan terbentuk kecerdasan ekologi. Manusia yang cerdas secara ekologis menempatkan dirinya sebagai kontrol terhadap lingkungan. Secara otomatis akan merubah perilaku manusia yang bertanggungjwab terhadap alam.
Sofyan (2010) dalam bukunya yang berjudul Islam dan Ekologi manusia menegaskan bahwa kajian ekologi manusia dikenal dengan teori anthroposentris yakni hubungan manusia dengan alam dimana semua yang ada di alam adalah untuk manusia.
Sehingga pentingnya kesadaran manusia akan kondisi alam. Dari alam manusia memperoleh penghidupan dan tanpa penghidupan alam manusia dan makhluk hidup lainnya akan terancam.
*Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Lingkungan Universitas Riau
Berita Lainnya
Bersinergi menyeimbangkan ekologi dan ekologi dalam perikanan terukur untuk Kampung Nelayan Maju
24 January 2022 20:00 WIB
Pakar-pakar Internasional Kaji Ekologi Global di Riau
19 August 2014 20:29 WIB
Walhi : Riau Dalam Kondisi Darurat Ekologi
21 April 2010 22:38 WIB
Kementerian PPPA dukung PLN tingkatkan kepemimpinan perempuan di lingkungan perseroan
02 December 2024 20:42 WIB
Menteri Lingkungan Hidup pastikan aktivitas TPS ilegal di Kampar berhenti
23 November 2024 14:39 WIB
Kementrian Lingkungan Hidup sidak TPS ilegal di Kampar
23 November 2024 12:26 WIB
Bawaslu telusuri mutasi pejabat di Pemkot Bengkulu
10 November 2024 9:38 WIB
Energi hidrogen dorong pembangunan ramah lingkungan di Mongolia Dalam, China
18 October 2024 12:06 WIB