Jakarta (ANTARA) - Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) akan membuka pintu akses modal lebih luas untuk memperkuat permodalan bagi industri Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS).
"UU PPSK akan memberi pintu akses modal bagi industri BPRS yang asetnya sudah hampir Rp20 triliun. Satu per satu BPRS yang tumbang dapat diselamatkan dengan suntikan modal yang kuat dari publik," kata Direktur Utama PT BPRS Harta Insan Karimah (HIK) Parahyangan Martadinata di Jakarta, Sabtu.
Martadinata menjelaskan pula bahwa kemampuan BPRS untuk berkembang di dunia digital juga terakomodir dalam UU PPSK.
"BPRS dapat menempatkan modal pada lembaga penunjang yang mengembangkan teknologi bagi pertumbuhan BPRS sendiri dan lembaga yang mengatasi likuiditas serta lembaga sertifikasi,” ujarnya.
Dia menjelaskan hak BPRS untuk mendapat modal dari publik dengan mekanisme pasar modal dalam UU PPSK telah sejalan dengan tuntutan salah satu BPRS dalam uji materi UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah ke Mahkamah Konstitusi pada awal 2022.
Kendati tidak dikabulkan MK, tetapi akhirnya tuntutan ini diakomodasi oleh DPR dalam UU PPSK. Uji materi UU No. 21/2008 selama 23 Februari – 31 Oktober 2022 memang ditolak oleh MK pada Oktober 2022, tetapi 4 dari 5 tuntutan dalam judicial review tersebut akhirnya dikabulkan dalam UU PPSK.
"Kemampuan BPRS mengelola dana masyarakat terkecil sekalipun dapat dilakukan sebagaimana jaringan BPRS yang telah menyebar ke pelosok nusantara. Kemampuan BPRS yang tetap tumbuh dan bertahan dalam melewati berbagai masa krisis, mulai dari krisis 1998, 2002,2008, dan pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa industri Bank Perekonomian Rakyat Syariah cukup kuat.”
UU PPSK telah disahkan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Kamis (15/12/2022). Martadinata menuturkan, industri BPRS telah memiliki arah baru dalam kegiatan operasional melalui alat-alat baru setelah disahkannya undang-undang tersebut.
Menurutnya, setidaknya ada 3 hal dalam UU PPSK yang memberikan alat-alat baru untuk keberlangsungan industri BPRS, yaitu keleluasaan transaksi BPRS, hak BPRS untuk mendapatkan dana dari publik, dan penempatan modal di lembaga pendukung BPRS.
“Ketiga alat-alat baru BPRS tersebut perlu diperkuat dalam aturan turunannya yaitu Peraturan Bank Indonesia dalam hal aktivitas transfer dana dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan untuk ketiga alat-alat baru tersebut. Hal ini tentu akan memberi akselerasi baru bagi pertumbuhan BPRS ke depan,” tuturnya.
Menurutnya, sebelumnya BPRS tidak diperkenankan bekerja sama dengan perusahaan switching dan perusahaan pelaksana jasa pembayaran lainnya untuk memfasilitasi aktivitas transfer dana. Sebelumnya, BPRS hanya boleh bekerja sama dengan Bank Umum atau Bank Umum Syariah (BUS) atau Unit Usaha Syariah (UUS).
Martadinata memaparkan, dalam UU PPSK, lalu-lintas pembayaran dalam dunia keuangan oleh BPRS menjadi lebih longgar. Penjabaran pada pasal operasional BPRS ditambahkan bahwa BPRS dapat melakukan aktivitas transfer dana. Pada ketentuan ini sudah tidak ada monopoli Bank Umum Syariah atau UUS sebagai mediatornya. BPRS dapat memilih perusahaan jasa pembayaran lainnya yang membantu aktifitas transfer dana tersebut.
“Ke depan, kondisi BPRS akan terus tumbuh dari 167 BPRS yang ada di seluruh pelosok nusantara. Keleluasaan transaksi akan membuat BPRS mampu mengoptimalkan transaksi keuangan di pelosok Nusantara. Ini menjadi peluang bagi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan instrumen transaksi keuangan dan investasi. Literasi keuangan pun akan berkembang sampai pelosok negeri," tegasnya.
Menurutnya, tantangan selanjutnya adalah bagaimana regulator (BI dan OJK) memperjelas aturan turunannya sehingga menjadi katalis bagi pertumbuhan industri.
Baca juga: Gandeng Bank Mandiri, BRK Syariah sambut baik implementasi KKPD di Riau
Baca juga: Sepuluh mahasiswa tahfidz terima beasiswa dari Permata Bank Syariah