Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Diah Nurwitasari menyatakan sebagian besar dari hasil penerimaan dari kebijakan pajak karbon perlu dialokasikan untuk pengembangan beragam bentuk penerapan energi baru dan terbarukan (EBT) di Tanah Air.
"Saya setuju bahwa pendapatan dari pajak karbon ini harus paling tidak sebagian besarnya harus diinvestasikan kembali untuk pengembangan energi baru terbarukan," kata Diah Nurwitasari dalam siaran pers di Jakarta, Rabu.
Hal itu, ujar dia, karena pendapatan negara yang berasal dari pajak karbon harus berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat sesuai tugas konstitusi yang dibebankan kepada pemerintah.
Dari data yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dengan pengenaan pajak karbon 1 dolar AS per ton, pendapatan negara bertambah sebesar Rp76,49 miliar, berdampak penambahan BPP tenaga listrik sebesar Rp76,49 miliar, dan berdampak penambahan subsidi listrik sebesar Rp20,46 miliar dengan kompensasi sebesar Rp61,38 miliar (total Rp81,84 miliar).
Dengan potensi yang besar tersebut, Diah meminta harus ada transparansi kebijakan dari segala upaya pemerintah dalam menghadirkan program tersebut.
Pada penerapan pajak karbon, pemerintah baru akan mengenakan pungutan ke operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) atau pembangkit berbasis batu bara. Artinya, tidak langsung ke banyak sektor yang menghasilkan karbon.
Rencananya, tarif pajaknya sebesar Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) mulai 1 April 2022. Pajak akan dipungut apabila jumlah emisi yang dihasilkan melebihi batas emisi (cap) yang telah ditetapkan
Sementata itu, Anggota Komisi VII DPR RI Arkanata Akram menekankan perlu ada kajian mendalam serta penerangan lebih lanjut terkait fungsi dan alokasi dana dari pajak karbon.
Arkanata Akram menambahkan, emisi karbon seharusnya digunakan untuk meningkatkan penggunaan EBT di Indonesia.
Senada, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto menambahkan perlu digarisbawahi bahwa pajak karbon itu bukan pendapatan negara, namun nantinya akan dikembalikan lagi untuk mengatasi sejumlah permasalahan lingkungan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti menyatakan, penerapan pajak karbon di Indonesia jangan sampai menjadi bentuk mengalihkan tanggung jawab korporasi terhadap gas emisi yang telah mereka produksi.
"Tidak cukup hanya mengompensasi kerusakan dengan membayar pajak, tetapi pembangunan yang bersifat ekstraktif terus berjalan," kata Rachmi Hertanti.
Untuk itu, ujar dia, harus dikembangkan secara serius konsep pembangunan berkelanjutan dengan pembenahan di berbagai aspek, khususnya yang menyangkut kepada model investasi dan perdagangan.
Plt. Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan pajak karbon menjadi salah satu alat untuk mengarahkan masyarakat Indonesia kepada aktivitas yang lebih ramah lingkungan atau rendah karbon.
Saat ini pemerintah tengah menyusun peraturan turunan tentang pajak karbon yang didasarkan pada Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
"UU HPP merupakan gambaran besar dan pemerintah saat ini sedang menyusun aturan turunannya baik Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Menteri Keuangan yang diharapkan jadi dasar penerapan pajak karbon 1 April 2022," kata Pande.
Berita Lainnya
Pajak karbon sumber pendapatan potensial yang besar
15 February 2022 15:05 WIB
Pajak karbon mulai diterapkan April 2022
08 October 2021 5:48 WIB
Pajak karbon tidak bebani pelaku usaha
01 September 2021 1:00 WIB
CEO Climate Talks: PLN siap dukung pemerintah capai 75 persen energi terbarukan
13 November 2024 10:57 WIB
PTPN dorong perluasan cangkang sawit sebagai sumber energi terbarukan
22 March 2024 11:52 WIB
Pakar dukung rencana Prabowo Subianto kembangkan energi terbarukan
02 March 2024 16:10 WIB
RAPP pelopor kendaraan listrik di Sumatera
29 February 2024 10:29 WIB
Menyingkap komitmen hijau APRIL, gunakan EBT untuk hasilkan produk terurai
26 February 2024 9:57 WIB