Praktisi: Tuntutan Hukum Harusnya Pimpinan Tertinggi Chevron

id praktisi tuntutan, hukum harusnya, pimpinan tertinggi chevron

Pekanbaru, (antarariau.com) - Praktisi hukum ketenagakerjaan Darmanto menyatakan bahwa berdasarkan hukum korporasi yang merujuk pada pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, jika ada persoalan hukum terkait dengan pengambilan keputusan di lapangan, maka yang menghadapi tuntutan hukum seharusnya pimpinan tertinggi di perusahaan yang bersangkutan.

"Herannya, dalam kasus bioremediasi Chevron, yang dijadikan tersangka dan ditahan oleh Kejaksaan adalah mereka yang berada di posisi Manager dan Team Leader," ujarnya, Kamis.

Sementara itu, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan, mengatakan,”Proyek Bioremediasi merupakan program pengelolaan lingkungan yang dijalankan oleh PT CPI dan telah disetujui dan dimonitor oleh instansi pemerintah terkait yaitu SKMIGAS dan Kementerian Lingkungan Hidup.

"Kegiatan itu telah berhasil memulihkan tanah terpapar minyak sebanyak setengah juta meter kubik yang juga dipakai untuk penghijauan sekitar 60 ha lahan di Riau," ujarnya.

Ia menyatakan, program bioremediasi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab PT CPI terhadap kontrak PSC sehingga semua persoalan yang muncul terkait proyek ini harus diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkontrak dan mengikuti mekanisme penyelesaian perselisihan yang sudah ditetapkan dalam PSC.

Ia menyatakan, dalam industri migas hampir keseluruhan proses kerja melibatkan sejumlah individu dalam suatu tim, yang melingkupi berbagai bagian dengan fungsi, tanggung jawab dan kewenangan yang berbeda-beda dan jelas batasannya.

Sementara majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan bebas empat karyawan PT Chevron Pacific Indonesia yang selama ini ditahan penyidik Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi proyek bioremediasi.

"Menyatakan tidak sah menurut hukum penahanan beserta perpanjangan penahanan terhadap pemohon oleh termohon," kata Hakim tunggal M Samiadji yang memimpin persidangan praperadilan salah satu pemohon, tersangka Widodo, di Jakarta.

Hakim menilai termohon, yakni Kejaksaan Agung tidak mampu menunjukkan alat bukti saat persidangan yang memenuhi pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Walaupun begitu, secara yuridis, perkara dugaan korupsi proyek bioremediasi akan terus dilanjutkan

"Yang kurang itu kan BAP, itu pro justicia, itu sudah masuk dalam pokok," katanya jaksa setelah sidang.

Di waktu yang sama, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan turut membacakan amar putusan gugatan praperadilan tiga karyawan Chevron lainnya, Kukuh, Bachtiar Abdul Fatah, dan Endah.

Ketiga karyawan lainnya mendapat putusan yang sama, yakni penahanannya tidak sah.

Empat tersangka sebelumnya ditahan sejak 26 September 2012. Tiga tersangka Kukuh, Bachtiar dan Widodo ditahan di Rutan Salemba Cabang Kejaksaan Agung. Endah ditahan di Rutan Pondok Bambu.

Kejagung menyebutkan, kasus dugaan korupsi proyek bioremediasi terjadi di wilayah Sumatra, dengan kerugian negara dari hasil audit BPKP senilai 9,9 juta dolar AS atau sekitar Rp100 miliar.

Sedangkan proyek bioremediasi yang berlangsung mulai tahun 2003 sampai 2011 itu memakai anggaran sekitar Rp2,43 triliun.