Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menginginkan adanya penjelasan lengkap kepada publik terkait hasil renegosiasi program pembangunan pembangkit 35.000 MegaWatt (MW), terutama terkait klausul TOP (Take Or Pay) oleh pembangkitan listrik swasta.
"Kami minta laporan resmi terkait renegosiasi TOP tersebut. Apa saja yang sudah diupayakan pemerintah agar ketentuan TOP tidak membebani keuangan negara,” kata Mulyanto dalam rilis di Jakarta, Kamis.
Baca juga: IZI Riau - YBM PLN P3BS Latih 24 tunanetra terampil bekam
Menurut Mulyanto, pemerintah dan PLN harus gerak cepat menegosiasi ulang skema TOP baru bagi pembangkitan listrik swasta, sebab selama hal tersebut tidak direvisi maka keuangan PLN akan terbebani.
Untuk itu, lanjut dia, pemerintah diharapkan agar segera menyampaikan perkembangan hasil renegosiasi ini kepada publik.
"Tidak boleh berlarut-larut, karena semakin lama dibiarkan akan semakin menekan kondisi kelistrikan nasional dan keuangan PLN," katanya.
Ia mengingatkan sejak tahun 2014 pemerintah berencana menambah pembangkit listrik sebesar 35.000 MW, berdasarkan perencanaan yang mengasumsikan pertumbuhan kebutuhan listrik sebesar 7-8 persen.
Namun, lanjutnya, pertumbuhan permintaan listrik sebelum dan saat pandemi tidak lebih dari 5 persen sehingga terjadi kelebihan pasokan listrik sebesar 30 persen, jauh melebihi batas maksimal cadangan listrik.
Bila program pembangkit 35.000 MW terus dijalankan sesuai jadwal, ujar dia, maka diperkirakan akan terjadi pembengkakan surplus listrik nasional.
"Ini tentu sangat tidak kita inginkan. Karenanya pemerintah diminta untuk merenegosiasi jadwal pembangunan dari program pembangkit listrik yang sudah kontraktual," kata Mulyanto.
Sementara itu, TOP adalah klausul dalam kontrak perjanjian jual-beli listrik (PPA/Power Purchase Agreement) antara PLN dengan IPP (produsen listrik swasta), yang mewajibkan PLN menyerap listrik sebesar persentase minimal sesuai Availability Factor (AF) dari kapasitas terpasang. Nilainya dapat mencapai 80 persen dari kapasitas terpasang pembangkit listrik.
Klausul ini, imbuh dia, pada prinsipnya adalah insentif untuk mendorong pihak swasta (IPP), agar mereka tertarik berinvestasi di sektor kelistrikan, khususnya bidang pembangkitan, sekaligus merupakan jaminan, agar listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PLN.
Ia berpendapat bahwa kebijakan ini cukup tepat di saat kekurangan pasokan listrik dan kemampuan modal pemerintah untuk investasi di bidang pembangkitan masih lemah. Namun dalam kondisi surplus listrik sudah sedemikian tinggi dan keuangan PLN yang tertekan, klausul TOP ini dinilai menjadi sangat memberatkan.
Baca juga: Pemerintah lanjutkan pemberian stimulus keringanan tagihan listrik
Baca juga: PLN genjot program listrik 35.000 MW di Papua Barat
Pewarta: M Razi Rahman
Berita Lainnya
Mensos-Menko Pemberdayaan Masyarakat percepat nol kemiskinan ekstrem di Indonesia
18 December 2024 17:19 WIB
Kemenag berhasil raih anugerah keterbukaan informasi publik
18 December 2024 17:00 WIB
Dokter menekankan pentingnya untuk mewaspadai sakit kepala hebat
18 December 2024 16:37 WIB
Indonesia Masters 2025 jadi panggung turnamen terakhir The Daddies
18 December 2024 16:28 WIB
Menko Pangan: Eselon I Kemenko Pangan harus fokus pada percepatan swasembada pangan
18 December 2024 16:13 WIB
ASEAN, GCC berupaya perkuat hubungan kerja sama kedua kawasan
18 December 2024 15:57 WIB
Pramono Anung terbuka bagi parpol KIM Plus gabung tim transisi pemerintahan
18 December 2024 15:51 WIB
Pertamina berencana akan olah minyak goreng bekas jadi bahan bakar pesawat
18 December 2024 15:12 WIB