Pekanbaru - Ketua Tim Terpadu Konflik Pulau Padang dari Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti, Nuriman, mengatakan, konflik lahan di Pulau Padang, Kabupaen Kepulauan Meranti, Provinsi Riau, diduga dimainkan para spekulan tanah.
"Mereka (para spekulan tanah) yang mengatasnamakan warga disinyalir ikut memperkeruh suasana yang menimbulkan konflik sengketa lahan antara perusahaan industri kehutanan dan masyarakat di Pulau Padang," katanya kepada ANTARA, di Pekanbaru, Jumat.
Konflik Pulau Padang mencuat setelah sejumlah warga melakukan aksi 'jahit mulut' di Kompleks DPR RI, Senayan di Jakarta.
Para warga yang didukung elemen Serikat Tani Nasional, hingga Jumat (27/1) ini telah 47 hari beraksi di Jakarta, dengan satu tuntutan, pembatalan keputusan pemerintah yang memberi konsesi kepada tentang PT 'Riau Andalan Pulp and Paper' (RAPP) untuk mengelola puluhan ribu hektar lahan di Pulau Padang.
Aksi 'jahit mulut' itu juga mengklaim, perusahaan tersebut telah mencaplok lahan warga untuk hutan tanaman industri.
Sebaliknya, Nuriman menilai, ada banyak aksi kini yang terkesan 'digerakkan' kelompok spekulan tanah.
"Banyak aksi spekulan tanah yang mengklaim memiliki lahan, namun setelah ditelusuri ternyata bukan orang asli Pulau Padang," ungkapnya.
Dikatakan, klaim tersebut sulit untuk dibuktikan, karena pihak penggugat tidak bisa menunjukan surat sah kepemilikan tanah.
"Sebab, banyak surat yang menjadi landas hukum warga dikeluarkan aparatur desa pada tahun 2010 dan 2011. Selain itu, setelah dilakukan pengecekan di lapangan, ternyata lahan yang diklaim berupa hutan, dan tidak ada tanda berupa ladang yang sudah dikelola warga," tuturnya.
Ia mengatakan, modus klaim lahan di Pulau Padang makin marak setelah perusahaan berinvestasi di tempat itu, seperti PT RAPP dan perusahaan migas PT Kondur Petroleum.
Pengkavlingan lahan, menurutnya, kini merajalela dengan mematok harga jual Rp2 juta per hektare.
Bahkan, lanjutnya, banyak warga yang tidak berdomisili di Pulau Padang melakukan klaim atas tanah di daerah itu.
"Malahan ada pejabat eselon dua di lingkup Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kepulauan Meranti yang beli tanah di situ dan minta bantuan untuk dapat ganti rugi. Ya terpaksa saya tolak," tegasnya.
Dikatakannya lagi, Tim Terpadu Pemkab Meranti akhirnya dibuat kebingungan untuk menyelesaikan masalah sebagian warga dan PT RAPP, karena tuntutan warga yang kerap berubah-ubah.
Ia menyebutkan, warga dari tiga desa, yang difasilitasi LSM tertentu, awalnya mengklaim tanah mereka dicaplok perusahaan.
Namun setelah tak bisa memberikan bukti sah, tuturnya, langsung mencari dalih lain lewat isu lingkungan.
"Bagaimana mungkin kami bisa proses kalau suratnya tidak lengkap? Lantas dari sana mereka memberitahukan akan melakukan aksi demo dan aksi jahit mulut di Jakarta. Ini semua soal perang opini saja. Jadi kami juga bingung maunya mereka apa sebenarnya," ujarnya.
Konflik Pulau Padang, menurutnya lagi, seharusnya tidak berkepanjangan, apabila pihak yang mengklaim lahan mau menunjukan bukti sah dan melakukan negosiasi.
Sebab, demikian Nuriman, pemerintah daerah juga berupaya, agar warga setempat mendapat manfaat yang signifikan terhadap keberadaan perusahaan di Pulau Padang.
"Kami meminta agar area untuk budidaya rakyat ditambah jadi 3.000 hektare dan itu sudah dikabulkan Kementerian Kehutanan. Dan bagi warga yang memiliki kebun dan tidak mau diganti rugi, kami mendorong agar perusahaan bersedia untuk melakukan pendampingan," ujar Nuriman yang juga menjabat Asisten I Setkab Kabupaten Kepulauan Meranti.