Konflik Pulau Padang dipolitisasi

id konflik pulau, padang dipolitisasi

Konflik Pulau Padang dipolitisasi

Pekanbaru, (ANTARARIAU News) - Sejumlah tokoh masyarakat Kabupaten Kepulauan Meranti menyatakan konflik antara perusahaan industri kehutanan dan masyarakat di Pulau Padang, Provinsi Riau, telah dipolitisasi pihak tertentu yang mengatasnamakan masyarakat.

"Aksi demonstrasi yang mengatasnamakan masyarakat Pulau Padang dan petani tidak mewakili aspirasi semua warga di sana," kata Ketua Komisi II DPRD Kepulauan Meranti Rubi Handoko kepada wartawan di Pekanbaru, Senin (19/12).

Hal itu disampaikan Rubi Handoko untuk menanggapi aksi demonstrasi dan jahit mulut yang dilakukan masyarakat Forum Komunikasi Masyarakat Penyelamat Pulau Padang (FKMP3) di depan gedung DPR hari ini. Mereka melakukan aksi nekat itu karena mengklaim perusahaan Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) merampas lahan warga.

Menurut Rubi Handoko, mayoritas warga Pulau Padang sebenarnya menentang aksi tersebut yang disampaikan kepadanya dalam beberapa pertemuan. Karena itu, dia mensinyalir demonstrasi itu ditungganggi oleh pihak tertentu yang mengatasnamakan masyarakat Pulau Padang.

"Terlalu banyak kepentingan. Kami harap pihak-pihak tersebut menyadari dan tidak mempolitisasi masalah dengan mengorbankan pihak lain," ujarnya.

Menurut dia, pemerintah daerah bersama DPRD juga tidak mendukung aksi anarkis untuk menyelesaikan masalah. Karena itu, pemerintah daerah juga telah membentuk tim terpadu terkait kemungkinan adanya konflik lahan antara perusahaan dengan warga Pulau Padang.

Tokoh masyarakat Pulau padang H Rojali mengatakan, dari 21 desa di Pulau Padang, penolakan terhadap perusahaan hanya dilakukan di tiga desa. Namun, tidak semua warga tiga desa itu menolak melainkan merasa terpaksa.

"Itupun tidak seluruh warga dari ketiga desa itu menolak. Mereka terpaksa mengikuti karena adanya intimidsi dan takut dikucilkan. Pada prinsipnya, masyarakat menginginkan masuknya investor untuk menggerakkan perekonomian Pulau Padang," ujarnya.

Tokoh pemuda Pulau Padang, Teguh menambahkan bahwa pihak yang keberatan dengan keberadaan RAPP di Pulau Padang hanya sekitar 540 jiwa dari 35.975.00 warga di sana. "Itupun pendatang," ujarnya.

Menurut Teguh, organisasi yang diklaim para pendemo merupakan organisasi ilegal karena tidak berbadan hukum.

"Jadi dari sisi manapun mereka tidak bisa mengklaim mewakili masyarakat Pulau Padang," katanya.

Menurut dia, warga telah mengetahui rencana operasional RAPP melalui sosialisasi dari pihak perusahaan sejak 2009. Karena itu, dia yakin keberadaan perusahaan justru mendapat dukungan mayoritas warga karena akan berdampak positif bagi ekonomi masyarakat.

Ia mengatakan hal itu diperkuat dengan adanya surat pernyataan dari 12 desa yang mendukung keberadaan RAPP di Pulau Padang.

"Malahan kami sebenarnya sudah muak dengan aksi anarkis yang kerap ditunjukkan para pendemo karena mereka selalu memaksakan keinginan dan tidak menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Padahal sudah dibentuk tim terpadu untuk menjembatani keinginan masyarakat," ujarnya.

Secara terpisah, Media Relation Manager RAPP Salomo Sitohang mengatakan, pihak perusahaan berjanji senantiasa mengikuti ketentuan yang dibuat pemerintah dan perundangan yang berlaku. Komitmen perusahaan dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU) antara RAPP dan masyarakat Pulau Padang yang diwakili kepala desa serta disaksikan Bupati dan Ketua DPRD Kepulauan Meranti pada 22 Oktober 2011.

"Salah satu butir MOU tertuang komitmen perusahaan untuk berpartisipasi dalam memajukan kesejahteraan masyarakat Pulau Padang serta upaya mengoptimalkan menerima masukan dan melakukan sosialisasi hasil kesepakatan perusahaan dengan pihak pemerintah daerah, kepala desa, tokoh masyarakat serta koperasi guna mempercepat kemajuan masyarakat di Pulau Padang," ujarnya.