Kisah Pak Uban berjuang menuntut hak sebagai karyawan

id Karyawan, gaji, Riau, perusahaan,pak Uban

Kisah Pak Uban berjuang menuntut hak sebagai karyawan

Kantor PT Sumatera Musi Persada/Sayap Mas Abadi di jalan Lili, Kota Pekanbaru, Riau. (ANTARA/Anggi Romadhoni)

Pekanbaru (ANTARA) - Pak Uban, begitu pria paruh baya itu akrab disapa. Gelarnya memang sesuai dengan rambutnya yang memutih semua, mirip tokoh nasional Hatta Rajasa. Pak Uban sosok yang kalem dengan pembawaan tenang.

Akan tetapi, Senin siang itu, dia terlihat begitu gusar. Suaranya terkadang meninggi meskipun dia berusaha sabar. Bersama empat rekannya, dia mendatangi sebuah rumah toko di Jalan Lili, Kota Pekanbaru, Riau.

Ruko itu tak begitu besar dan tampak tertutup. Pun tak ada plang nama. Namun, ternyata ruko itu adalah sebuah kantor yang membawahi puluhan hingga ratusan pekerja, termasuk dia.

Ada beberapa karyawan administrasi di dalam ruko yang bersebelahan dengan kedai-kedai kopi di jalan Lili itu. Lengkap dengan perangkat komputer, pendingin udara, meja bersekat, layaknya kantor pada umumnya.

Pak Uban bertemu dengan Budi, manajer kantor perusahaan PT Sayap Mas Abadi/Sumatera Musi Persada. Dia menanyakan janji perusahaan itu yang belum membayar haknya hingga Rp18 juta.

"Saya sudah bertanya dengan semua orang di kantor ini. Tapi tak ada yang respon. Telpon WhatsApp tidak pernah dibalas. Kita tidak minta aneh-aneh, hanya hak kita dibayarkan," kata Pak Uban.

Namun, Budi tampak bergeming. Dia tak sekalipun melihat wajah Pak Uban. Dia mengatakan bahwa haknya akan diselesaikan oleh seseorang bernama Charlie. Menurut Pak Uban, Charlie adalah pemilik perusahaan yang bergerak di bidang jasa pembersihan lahan tersebut.

Kisah Pak Uban ibarat fenomena pucuk gunung es. Ada banyak pekerja senasib dengannya. Hanya saja, mereka semua menyebar di beberapa daerah di Riau, Sumatera Utara hingga pulau Jawa. Dan mereka tak seberuntung Pak Uban untuk langsung mendatangi Ruko yang disebut kantor itu.

Pak Uban dan puluhan karyawan perusahaan itu pernah terkatung-katung di Kalimantan Timur. Saat itu, mereka tengah bekerja membersihkan lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara sejak akhir 2019. Namun, gaji yang mereka terima tak sesuai dengan perjanjian.

Terakhir, pekerjaan dihentikan. Dan mereka tertahan di Pulau Borneo. Ada banyak yang senasib dengan Pak Uban. Termasuk seorang pemuda berusia 32 tahun asal Kabupaten Kampar, Sadli alias Gondrong.

Gondrong mengatakan dia berangkat ke Kalimantan Timur pada Oktober 2019 lalu dan difasilitasi langsung oleh PT Sumatera Musi Persada/Sayap Mas Abadi.

Niat hati memperbaiki ekonomi, dia pun berangkat ke areal pekerjaan dengan tugas sebagai sopir yang mengangkut kayu hasil pembersihan lahan ke luar. Awalnya, dia dijanjikan gaji sebesar Rp3 juta per bulan, tempat tinggal dan makan sehari-hari.

Selama Oktober hingga awal 2020, semuanya berjalan lancar. Namun, beberapa bulan terakhir tak ada lagi gaji yang dia terima. Bukannya mengirimkan uang untuk keluarga di kampung, dia malah harus meminta uang kepada istrinya. Dia juga sempat tertahan di Kalimantan untuk beberapa waktu sebelum akhirnya dipulangkan oleh perusahaan setelah kabar dirinya tersiar di media.

Sejatinya, dia bersyukur telah dipulangkan dan dapat kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya. Namun, Gondrong masih berharap dapat mendapatkan haknya kembali yang belum dibayar perusahaan itu. "Itu nilainya sekitar Rp10 juta. Bagi kami itu angka yang besar," kata bapak dua anak itu.

Juru bicara dari perusahaan PT Sumatera Musi Persada/Sayap Mas Abadi Ferry mengakui kalau perusahaan belum membayarkan gaji. Namun dia mengatakan akan membayar hak para pekerja secepat mungkin.

"Kalau masalah gaji, bukan tidak dibayar, tapi belum dibayar sepenuhnya. Ini karena kondisi keuangan perusahaan. Tapi kita akan usahakan secepatnya membayar gaji mereka," kata Ferry singkat.

Baca juga: Berbulan-bulan gaji tak dibayar, puluhan buruh Riau terkatung-katung di Kaltim