Pekanbaru (ANTARA) - Bagi Adelia yang masih belia itu, cinta tak hanya berarti pada makhluk hidup. Cinta baginya bisa jatuh kepada benda mati sekalipun. Adelia Najwa, usianya baru 14 tahun dan kini mengenyam pendidikan di kelas IX SMP Kimia Tirta Utama, Kabupaten Siak.
Kisah cinta gadis mungil berhijab itu terjalin setahun terakhir. Gambut, sejenis tanah organik menjadi cinta pertama gadis berkulit putih itu. Meski baru setahun mengenal gambut, namun pengetahuannya tak bisa dipandang sebelah mata.
Dengan lugas dia memamerkan ilmunya tentang gambut saat kegiatan Gambut Talkshow dan Expo yang diselenggarakan di Kabupaten Siak, Riau. Bahkan, kepercayaan dirinya membuncah meski yang ia hadapi seorang ahli gambut lulusan Kyoto University, Jepang, Profesor Supiandi Subiham.
Supiandi yang merupakan guru besar Ilmu Tanah Institut Pertanian Bogor itu tak mampu menahan decak kagum ketika Adelia menjelaskan gambut. Sesekali dia dan puluhan peserta diskusi yang mayoritas generasi muda itu tertawa ketika bahasa Batak, bahasa ibu Adelia terlepas polos.
"Kalau saya belum pensiun saya akan bawa kamu ke IPB," kata Profesor Supiandi usai mendengar penjelasan gambut Adelia.
Di hadapan Profesior Supiandi, Adelia menjelaskan profil gambut yang terdiri dari tiga jenis yakni Saprik, Hemik, Fibrik. Ketiganya memiliki kematangan berbeda. Dia juga menjelaskan bahwa gambut sejatinya bisa dikelola dengan baik dengan syarat menjaga tinggi muka air.
Sementara kebakaran, kata dia, lebih disebabkan oleh ulah manusia. Menurut dia, 99 persen kebakaran gambut yang selama ini mendera Riau itu akibat kesengajaan.
Adelia sesungguhnya sama seperti gadis remaja umumnya. Dia memiliki rasa ingin tahu yang begitu tinggi. Kecintaan dirinya kepada gambut mulai subur ketika mendapat sosialisasi tentang jenis tanah organik yang luasnya mencapai 15 juta hektare di Indonesia tersebut.
Selama ini, Adelia mengaku mengenal gambut dari sisi negatif. Kebakaran salah satunya. Kebakaran dan dampak asap pekat yang selama ini dia rasakan kala Riau dilanda musim kemarau panjang.
Dia juga mengira bahwa gambut hanyalah seonggok masalah bagi masyarakat yang tinggal di atasnya. Namun ternyata, perasaannya berubah ketika di mendapat sedikit sosialisasi tentang gambut dari sekolahnya.
Sekolah tempat Adelia mengenyam memang memiliki kurikulum khusus mempelajari gambut. Sekolah di bawah naungan PT Astra Agro Lestari (Tbk) tersebut mempelajari gambut dalam studi muatan lokal.
SMP KTU menjadi salah satu dari sekian sekolah yang menerapkan pelajaran yang sama di sejumlah unit usaha perusahaan tersebut. Menyebar dari Sumatera, Kalimantan hingga Sulawesi.
Duta gambut
Kini Adelia benar-benar jatuh cinta dengan gambut. Saking cintanya, dia mendapat julukan duta gambut dari sekolahnya. Sebagai duta gambut, Adelia mendapatkan tugas khusus. Dia harus terus mensosialisasikan pengetahuannya tentang gambut ke sekolah-sekolah negeri di Siak. Mulai dari SD, SMP bahkan hingga seniornya SMA.
"Awalnya saya sering takut. Tangan saya menggigil seperti es ketika diminta sosialisasi gambut ke SMA. Mereka senior saya. Tapi sekarang saya berusaha menjadi diri saya sendiri dan apa adanya," ujarnya.
Adelia merupakan anak kedua dari pasangan Agusman Keliat dan Sadarita. Dia memiliki cita-cita, suatu hari nanti generasi muda seperti dirinya dapat lebih mengenal gambut.
Dia tidak ingin generasi muda menjadi dirinya sebelum mengenal gambut. Padahal, katanya, gambut memiliki segudang manfaat. Dia juga mengaku tidak mengenal gambut meski selama ini hidup dan besar di lingkungan tanah organik itu.
Tapi sekarang, dia memiliki pesan kuat bahwa generasi muda harus lebih mengenal gambut dan terus menjaganya hingga masa mendatang.
Sejumlah siswa dan pelajar berbagai sekolah mulai dari jenjang dasar hingga menengah atas mempelajari ekosistem gambut sebagai upaya meningkatkan kesadaran mereka menjaga tanah organik tersebut dengan baik dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Profesor Supiandi Sabiham, guru besar ilmu tanah Institut Pertanian Bogor yang menjadi salah satu pemateri Gambut Diskusi dan Expo yang digelar oleh PT KTU, anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk, Selasa siang itu mengatakan generasi muda memainkan peranan penting dalam menjaga keberlanjutan gambut dan kegiatan budidaya pertanian di masa mendatang.
"Kita harus melibatkan dan edukasi anak kita bagaimana mengelola gambut dengan baik. Sehingga bisa melanjutkan perjuangan dalam menjaga dan memperbaiki bumi dengan masa depan yang akan datang," katanya.
Pencegahan yang lemah
Pencegahan selama ini dia sebut masih lemah dalam mengatasi kebakaran di lahan gambut. Untuk itu, dia mengatakan upaya edukasi ini diharapkan sebagai salah satu bentuk pencegahan sedini mungkin kepada generasi muda.
Dia menjelaskan kunci utama dalam menjaga dan mengelola lahan gambut adalah sumber air. Mempertahankan tinggi muka air tanah antara 40 cm hingga 60 cm menjadi syarat dalam menjaga gambut tetap sehat dan terbebas dari bencana kebakaran hutan dan lahan.
Indonesia, katanya, merupakan salah satu negara tropis dengan lahan gambut terluas di dunia yang mencapai 15 juta hektare. Sementara, Sumatera menjadi Pulau dengan gambut terluas di Indonesia yang mencakup 46 persen diantaranya.
Keberadaan gambut bagi sebagian masyarakat Indonesia dinilai masih sangat awam meskipun tinggal dan tumbuh di atas lahan gambut. Untuk itu, dia menilai sangat penting bagi masyarakat, terutama generasi muda untuk mulai mengenal gambut sebagai bagian dari hidup mereka.
Profesor Supiandi yang juga Ketua Umum Himpunan Gambut Indonesia dalam "Gambut Talkshow dan Expo" yang diselenggarakan anak perusahaan PT Astra Agro Lestari (Tbk), PT Kimia Tirta Utama (KTU) di Kabupaten Siak mengatakan dengan manajemen yang baik maka gambut bisa menjadi aset. Gambut bisa digunakan untuk berbagai budidaya baik perkebunan sawit, tanaman industri hingga hortikultura.
"Gambut merupakan aset nasional dan jika dikelola dengan baik bisa memiliki fungsi budidaya. Bisa untuk sawit, akasia, sawah dan tanaman lainnya. Biasanya sawit dan akasia butuh gambut yang dalam dan tebal dan tentu sudah diizinkan untuk di buka," katanya.
Selain itu, dia juga mencontohkan bahwa PT KTU yang memiliki 2.200 hektare perkebunan sawit dan telah ditanami gambut menjadi contoh pengelolaan gambut sehat. Setiap bidang tanam dilengkapi dengan sistem pengairan yang baik serta terdapat alat ukur tinggi muka air.
Sejumlah siswa yang mengikuti kegiatan tersebut tampak antusias mempelajari gambut. Mereka yang awalnya mengaku tidak terlalu mengenal gambut kini lebih paham dalam upaya mengelola tanah yang terbentuk dari pembusukan tanaman tersebut.
Talkshow dan Expo Gambut itu turut dihadiri Santobri dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Deasy Efnidawesti dari Badan Restorasi Gambut (BRG) serta tokoh masyarakat Siak.*