Wali Kota Pekanbaru Pertanyakan Hasil Survey Korupsi

id wali kota, pekanbaru pertanyakan, hasil survey korupsi

Pekanbaru, 10/11 (ANTARA) - Wali Kota Pekanbaru Herman Abdullah mempertanyakan hasil survey lembaga Transparancy International Indonesia (TII) yang menyatakan Kota Pekanbaru merupakan kota terkorup di Indonesia.

"Hasil survey itu tak jelas ditujukan untuk instansi mana karena di Pekanbaru ini ada banyak instansi," kata Herman kepada wartawan di Pekanbaru, Rabu.

Herman mengatakan hal itu terkait pernyataan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) dari TII terhadap 50 kota yang menempatkan Pekanbaru dan Cirebon sebagai kota terkorup. Sedangkan, Kota Denpasar dinilai paling rendah dari indikasi korupsi. Berdasarkan survey TII, Pekanbaru dan Cirebon hanya mendapat IPK sebesar 3,61.

IPK adalah instrumen pengukuran tingkat korupsi di kota-kota Indonesia. Survei TII ini dilakukan dengan wawancara 9.237 responden pelaku bisnis, pada Mei-Oktober 2010.

Herman mengaku baru mengetahui informasi tersebut dari pemberitaan media massa. Ia mengatakan akan mengkaji hasil survey itu secara mendalam, dan tak akan menerimanya begitu saja.

"Saya rasa Pemko Pekanbaru sudah banyak berbuat untuk menuju yang baik, jadi saya minta berita itu jangan sampai difokuskan untuk Pemko. Sedangkan yang kita tahu di Pekanbaru ini banyak instansi vertikal juga karena menjadi Ibukota Provinsi Riau," katanya.

Hal senada juga dikatakan Sekretaris Daerah Provinsi Riau, Wan Syamsir Yus, bahwa selama ini Riau, khususnya Pekanbaru, justru menjadi daerah percontohan bagi daerah-daerah lain dalam pembangunan.

"Korupsi yang mana. Malah kita selama ini sering dijadikan percontohan bagi provinsi lain soal pembangunan," katanya.

Namun, tidak semua pejabat mempertanyakan hasil survey TII. Wakil Ketua DPRD Pekanbaru Sondia Warman mengatakan hasil survey TII seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah untuk memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Menurut dia, selama ini pelayanan perizinan usaha di lingkungan Pemko Pekanbaru memang kerap dikeluhkan oleh kalangan pengusaha.

"Kiranya jika pengusaha telah memiliki kelengkapan soal perizinan, jangan lagi dipersulit. Malah kalau kita menyarankan sebaiknya perizinan ini dipermudah atau kalau bisa digratiskan saja," kata Sondia.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Ruang Publik Indonesia (RPI) Syahnan R menilai, hasil survey TII harusnya dapat membuat pemerintah Pekanbaru berkaca diri untuk segera melakukan pembenahan.

Menurut informasi yang didapatkan dari kalangan pengusaha, lanjutnya, kerap kali praktek KKN terjadi pada proyek pembangunan jalan atau jembatan yang menelan dana puluhan miliar rupiah.

"Contoh kecil yang sering dienduskan adalah soal lelang proyek yang hanya simbol belaka. Pemenang tender yang sesungguhnya sudah lebih dahulu dikondisikan di masing-masing satuan kerja baik di tingkat provinsi, kabupaten maupun pemerintah kota," ujarnya.

Sedangkan, ia mengatakan perusahaan kontraktor juga kerap menjadi "sapi perahan" oleh satuan kerja di lingkungan pemerintah.

"Untuk memenangkan proyek, setiap rekanan harus terlebih dahulu membayar uang depan sebagai tanda jadi ke masing-masing satuan kerja dan membayar ke satuan kerja di lingkungan proyek pemerintah, bukan hal yang baru lagi," ujarnya.

Karena itu, Syahnan berpendapat hasil survey yang menyatakan Pekanbaru adalah daerah terkorup bisa jadi indikasi Provinsi Riau secara keseluruhan.