Stigma Rasisme di sepak bola sulit hilang, begini 5 faktanya

id rasisme di olahraga,FIFA ,liga italia,berita bola terbaru,juventus,berita riau terkini,berita riau antara

Stigma Rasisme di sepak bola sulit hilang, begini 5 faktanya

Upaya FIFA menghapus tindak rasisme di lapangan (sportkeeda.com)

Pekanbaru (ANTARA) - Insiden ejekan bernada rasisme terhadap Moise Kean di Liga Italia dalam laga Juventus kontra Cagliari, Selasa, menambah deretan panjang cap stigma kasus rasisme di olahraga sepak bola. Bahkan, pada abad ke-21 di mana masyarakat sudah lebih modern, pola pikir primitif yang merendahkan orang lain karena warna kulitnya masih terjadi.

Berikut ini fakta-fakta terkait rasisme di sepak bola yang dirangkum Antaranews.

1. Sejarah rasisme di sepak bola

Italia sejak lama dianggap negara paling lekat dengan aksi rasisme terutama di olahraga sepak bola. Di Italia, beberapa pihak akan berargumen bahwa tribun-tribun penonton merupakan teater berekspresi terhadap penyakit-penyakit masyarakat.

Pada periode 1980-an, kebangkitan partai politik Lega Nord - yang mengadu warga kaya di Utara dengan penduduk pedesaan miskin di Selatan Italia - memperbesar jurang perbedaan Utara-Selatan.

Arsip foto. Suporter Italia rayakan kemenangan Suporter tim nasional sepak bola Italia bersuka cita dan menyalakan kembang api ketika mereka menyaksikan pertandingan babak semifinal antara Jerman melawan Italia dalam kejuaraan sepak bola Piala Eropa 2012, melalui layar lebar di alun-alun Piazza del Popolo, pusat kota Roma. Italia menang 2-1 dan berhak melaju ke final. (AFP PHOTO/ VINCENZO PINTO)


Terhadap lagu klasik Italia "O Sole Mio," para pendukung Roma menggunakannya untuk menyanyikan, "Saya hanya punya satu impian, Milan terbakar." Para penggemar Milan, mengacu kepada gelombang masuk warga Italia Selatan ke kota industrial di bagian Utara, membalasnya, "Milan terbakar? Dan di mana Anda akan bekerja?"

Imigrasi, yang dimulai pada akhir periode 1908-an dan 1990-an, telah mengubah lanskap Italia dan dianggap memicu munculnya rasisme di negara itu melebihi di Inggris dan prancis.

Meski rivalitas Utara-Selatan, regional, dan antar kota masih ada, sebagian tribun klub - di mana para penggemar garis keras bermotivasi politik sering melepaskan ejekan - memulainya dengan melecehkan pemain-pemain berkulit hitam atau yahudi.

2. Target pemain bintang berkulit hitam

Nasib pemain dengan kulit berwarna ketika berlaga di Italia adalah jadi target “bully”, dan sering kali bersifat rasialis. Tidak perduli sehebat apa pemain bintang itu mengolah si kulit bundar, selama dia kulitnya tidak putih ataupun yahudi, ada saja fans yang mencemooh mereka tanpa sebab jelas.

Di AC Milan, pemain legendaris asal Belanda Ruud Gullit pernah mendapat hinaan berupa nyanyian 'bu-bu’. Padahal, tidak ada yang menyangsikan betapa hebatnya Gullit selaku pemain pada era itu, namun bagi fans yang rasis, warna kulit pesepakbola Belanda itu akan selalu jadi masalah.

Sedangkan pada 2000 gelandang asal Prancis Patrick Vieira mendapat pelecehan rasial di lapangan dari gelandang asal Serbia Sinisa Mihajlovic saat bermain untuk Arsenal melawan Lazio di Liga Champions.Pemain Prancis Lilian Thuram meski sudah memenangkan Piala Dunia, tetap saja dapat hinaan karena kulit hitamnya saat membela Juventus.

Mario Balotelli. (REUTERS/Jean-Paul Pelissier)


Pada 2013, pada derby Milan, penyerang AC Milan Mario Balotelli - lahir di Palermo dari orang tua Ghana yang menyerahkan dia untuk diadopsi keluarga Italia, dan sekarang memperkuat timnas Italia - menjadi subyek dari suara-suara kera dan replika pisang.

Inter, bekas klub Balotelli dan salah satu pihak yang membentuk dirinya sebab para pendiri klub ingin menyambut pemain-pemain asing sama baiknya dengan sambutan kepada pemain-pemain Italia, didenda 50.000 euro oleh otoritas Liga Italia.

Pendukung Inter pada tahun yang sama juga mengejek penyerang Tottenham Hotspur yang berasal dari Togo, Emmanuel Adebayor dengan suara-suara monyet, pada pertandingan Liga Europa.

Mereka sekarang menghadapi sanksi UEFA, badan sepak bola Eropa yang pada awal musim ini telah mendenda Lazio setelah para pendukungnya melakukan pelecehan rasial kepada Tottenham, yang dekat dengan komunitas Yahudi, dan membentangkan spanduk "Bebaskan Palestina" pada pertandingan Liga Europa di Roma.

3. Gerakan cat wajah

Bagaimanapun, Italia juga menjadi saksi dari terbentuknya grup-grup anti rasisme dan memberikan dukungan terhadap pemain-pemain berkulit hitam atau non kulit putih yang menjadi subyek rasisme.

Ketika, pada musim 2001/2002 klub Serie B (divisi kedua) Treviso terancam terdegradasi, sejumlah pendukung klub mulai mengejek pemain mereka sendiri, Akeem Omolade yang berasal dari Nigeria.

Sebagai wujud solidaritas, para pemain Treviso masuk lapangan pada pertandingan kandang mereka berikutnya, dengan mencat wajah mereka dengan warna hitam.

Kelihatannya diperlukan upaya lebih dari sekedar mengubah sikap, namun mungkin ini saatnya untuk berubah dan klub-klub, kelihatannya, mulai bertindak.

Baca juga: Moise Kean diserang Rasisme saat Juventus kalahkan Cagliari

Arsip foto. Antonio Conte. (REUTERS/Alessandro Bianchi)


Setelah berulang kali didenda akibat "penyalah gunaan diskrimasi" oleh para penggemar, pelatih Juventus 2013, Antonio Conte sampai menyebut kata "idiot" pada sebagian pihak yang mendukung Tim Hitam -Putih itu.

Bagaimanapun direktur umum Juve Beppe Marotta, mengakui mengenai gerakan anti-rasisme ini, "Kami tahu bahwa sepak bola tidak dapat berbuat banyak sendirian, ini memerlukan perubahan kebudayaan dan pendidikan."

4. Peran FIFA lemah

Badan sepak bola dunia FIFA menjadi sorotan pada 2016 karena membubarkan gugus tugas anti rasisme mereka, di mana mantan kandidat presiden Pangeran Ali bin Al Hussein asal Jordania mengatakan hal itu mengkhawatirkan dan memalukan.

Pangeran Ali, mantan anggota komite eksekutif FIFA yang dua kali mencalonkan diri sebagai kandidat presiden, mengatakan "nyatanya saat ini kepemimpinan FIFA percaya bahwa rekomendasi-rekomendasi gugus tugas yang diimplementasikan merupakan hal yang memalukan."

Bek timnas Inggris Danny Rose (bawah) berjalan sembari disoraki oleh para suporter Montenegro dalam laga lanjutan kualifikasi Piala Eropa 2020 Grup A di Stadion Kota Podgorica, Montenegro, Senin (25/3/2019) setempat. (ANTARA/REUTERS/Carl Recine)


Ia menambahkan bahwa pengumuman itu "sangat mencemaskan."

"Tidak pernah ada kebutuhan untuk memerangi diskriminasi rasisme dan rasial yang lebih jelas daripada dunia yang kita huni saat ini," kata Pangeran Ali dalam pernyataannya.

"Realitasnya, sebagaimana banyak program dengan FIFA, adalah bahwa gugus tugas tidak pernah memberikan dukungan nyata sejak dipikirkan dan perannya lebih merupakan citra FIFA dibanding mengurusi isu-isu sebenarnya."

Keputusan ini terkuak pada Jumat ketika Osasu Obayiuwana, penyiar sekaligus pengacara asal Nigeria yang merupakan anggota panel, mempublikasikan surat yang ia terima dari FIFA yang mengumumkan akhir dari gugus tugas melalui Twitter.

Di situ tertulis bahwa gugus tugas telah mencapai tujuan-tujuan yang dicanangkan untuk itu ketika dibentuk di bawah kepemimpinan mantan presiden FIFA Sepp Blatter pada 2013.

5. Dampak Skandal FIFA

Dokumentasi Wakil Presiden FIFA, Jeffrey Webb (kiri), yang ditangkap polisi Swiss atas tuduhan korupsi, didampingi Presiden FIFA, Sepp Blatter. Skandal penyuapan mengguncang FIFA, yang selama ini sangat berwibawa di khasanah sepakbola dunia. (Reuters)


Terkuaknya skandal kejahatan besar yang terjadi di FIFA pada 2013 menjadi penyebab kemunduran organisasi sepak bola dunia itu untuk mengenyahkan rasisme.

Ketua gugus tugas yang asli, Jeffrey Webb, merupakan salah satu dari sebagian pejabat sepak bola papan atas yang ditangkap di Zurich pada Mei tahun lalu.

Webb telah dinyatakan bersalah di AS karena pelanggaran-pelanggaran terkait penyuapan, penipuan, dan pencucian uang. Ia adalah salah satu dari 42 pejabat dan entitas sepak bola yang ditangkap pada tahun lalu, yang menjebloskan FIFA ke dalam krisis terburuknya.

Webb digantikan sebagai kepala gugus tugas oleh Constant Omary, anggota Dewan FIFA dari Republik Demokratik Kongo.

Grup anti rasisme Kick It Out asal Britania mengatakan pihaknya bingung dengan keputusan FIFA, khususnya ketika keputusan ini terjadi kurang dari dua tahun sebelum Piala Dunia di Rusia, negara yang dikatakan oleh mereka "terkenal jahat untuk rasisme dan aktivitas-aktivitas melecehkan kepada kaum minoritas."

Pihaknya mengatakan sepak bola semestinya mencari jalan untuk memerangi kekerasan, prasangka, dan kebencian dan organsasi-organisasi yang menentang rasisme akan "sangat patah hati mendengar berita pembubaran (gugus tigas anti rasisme), sebab mereka melihat kepada kepemimpinan di FIFA." Demikian laporan Reuters.

Perlu sikap menantang untuk menghidupkan kembali perdebatan terhadap salah satu masalah terbesar di sepak bola Italia, dan juga duia, namun perlawanan untuk menghapus rasisme seharusnya jangan berhenti.

Sepp Blatter ketika masih menjabat Presiden FIFA mengakui bahwa mungkin diperlukan sanksi-sanksi berupa pengurangan nilai dan bahkan degradasi agar pesan anti-rasisme menjadi jelas.

Benar sekali, tanpa sanksi-sanksi serius tidak akan ada yang berubah dan 'Let's Kick Racism Out of Football’ hanya jadi slogan usangsejak dikampanyekan pada1993.

Baca juga: Moise Kean diserang Rasisme saat Juventus kalahkan Cagliari

Baca juga: Mancini Sebut Sarri Homo dan Rasis Saat Inter Lawan Napoli