SD Plus, Upaya Suku Talang Mamak untuk "Merdeka" dari Buta Aksara
Merubah orang bukan dari orang lain, tapi dari diri sendiri
Pekanbaru (ANTARA) - Rumah panggung sederhana tanpa dinding di Desa Talang Durian Cacar terlihat ramai orang pada medio Maret 2019, di pedalaman Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Masyarakat adat Talang Mamak dari berbagai tingkatan usia duduk di kursi menghadap papan tulis.
Pelajaran hari itu adalah menulis nama-nama hewan yang ada di darat. Seorang lelaki Talang Mamak maju ke depan untuk menulis jawabannya di papan tulis besar.
Dengan perlahan ia mengeja huruf demi huruf yang ditulisnya.
“B…A…B…I… Babi,” kata lelaki itu sambil tersenyum lebar hingga giginya yang ompong terlihat jelas.
Tempat belajar itu diberi nama Sekolah Dasar (SD) Plus, karena yang belajar di sana mayoritas orang dewasa. SD Plus menjadi penanda bahwa warga di pedalaman ingin berubah, mereka juga ingin pandai supaya bisa bersaing dengan orang luar.
Desa Durian Cacar di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), adalah salah satu daerah terpencil di Riau. Desa seluas 25 kilometer persegi itu adalah rumah bagi Suku Talang Mamak secara turun-temurun. Kondisi geografis yang sulit membuat mereka seperti tertutup dari dunia luar, terutama dari sektor pendidikan. Suku asli Provinsi Riau itu selama ini merasa bisa hidup bergantung dari alam, sehingga pendidikan belum dianggap penting, bahkan takut untuk belajar.
“Zaman bapak saya masih hidup, saya mau disekolahkan ke Batang Cenaku. Waktu itu sekolah di sini belum ada. Saya tidak mau, takut dibunuh. Cuma sekarang, saya bukan salahkan orang tua saya, yang salah sebetulnya saya karena bapak saya mampu sekolahkan tapi saya tak mau,” kata Abey, warga Desa Talang Durian Cacar.
Baca juga: Menyibak Tabir Gawai Gedang Suku Talang Mamak (Bagian 1)
Abey adalah salah satu murid yang setia belajar di SD Plus sejak awal dibentuk pada 2017. Pria 45 tahun itu kini sudah merasakan manfaatnya bisa membaca dan menulis. Apalagi, ia merupakan anggota dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Talang Durian Cacar.
“Dulu kalau pergi rapat di kantor camat, kantor desa, memerlukan daftar hadir, saya merasa tertindas disitulah,” kata Abey yang sebelum bisa tulis-baca selalu bingung kalau diminta mengisi absensi.
Sekarang ia sadar betul manfaat pendidikan. “Yang jelas ada manfaatnya, kalau di kelurahan ada berita orang meninggal kita sudah tahu karena sudah bisa baca pengumuman,” katanya sambil tertawa.
Suami-isteri jadi Guru Swadaya
Warga Suku Talang Mamak yang sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari di Desa Talang Durian Cacar. Medi dan Neli adalah segelintir dari mereka yang sudah berstatus sarjana.
Mereka juga berstatus suami-istri, dan kini mengajar di SD Plus tanpa digaji.
“Agak susah merangkul orang-orang ini. Masih banyak mungkin umur-umur yang kecil hampir semua belum bisa baca. Perangkat-perangkat desa kami juga belum punya ijazah, padahal sekarang sudah harus punya ijazah semua buat kerja,” kata Neli, 25 tahun.
Sarjana ekonomi dari perguruan tinggi di Inhu itu mengatakan, SD Plus dibentuk sebagai kesadaran warga Talang Mamak untuk menjadi pandai. Sebagai guru, dirinya dan Medi tidak pernah memaksakan warga lain untuk mengikuti jadwal belajar yang ketat.
Jadwal sekolah justru mengikuti apa keinginan warga. Awalnya, SD Plus punya jadwal dua kali dalam seminggu pada Rabu dan Minggu malam. “Karena aktivitas bapak-ibu kalau pagi ke ladang dan kebun. Belajar satu jam, dua jam tergantung permintaan kawan-kawan,” katanya.
Karena banyak yang tidak betah, akhirnya belajar di SD Plus jadwalnya disesuaikan lagi yakni hanya setiap hari Minggu dari jam dua siang sampai empat sore.
“Tidak dipungut biaya, hanya untuk minum saja Rp2.000 untuk beli Aqua gelas,” katanya.
Baca juga: Menyibak Tabir Gawai Gedang Talang Mamak (bagian 2)
Masa sulit ketika mengajar di SD Plus adalah ketika melihat jumlah yang belajar makin sedikit. Ia mengatakan warga yang datang dan pergi untuk belajar di sana sebenarnya mencapai 30 orang, namun yang benar-benar serius dan selalu hadir hanya 15 orang.
“Kami datangi orang-orangnya, kalau ada yang alasan sakit kami jenguk, kami tengok, kami kasih motivasi lagi bahwa bisa baca tulis itu berarti buat kita dan anak-anak kita ke depan.
Neli mengatakan berusaha sabar dan ikhlas untuk membujuk warga kembali ke sekolah. “Tapi kadang-kadang orang itu malah jadi segan ketemu sama kami, kayaknya rasa-rasa ‘gak enak padahal kita sama-sama keluarga,” ujarnya.
Medi, 27 tahun, adalah sarjana pertanian dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Baginya, menjadi guru di SD Plus adalah sumbangsih yang diharapkan bisa membawa manfaat untuk komunitasnya.
Menurut dia, perlahan-lahan warga yang giat belajar mulai bisa membaca dan menulis. Karena itu, materi pelajaran juga ditingkatkan ke pengetahuan alam dan ilmu sosial.
“Untuk perangkat desa, mudah-mudahan bisa dapat ijazah Paket A,” katanya.
Dukungan Kepala Desa
SD Plus tidak akan berdiri tanpa ada dukungan dari perangkat desa. Adalah Penjabat Kepala Desa Talang Durian Cacar, Husaini, yang banyak membantu mereka. Husaini mencarikan papan tulis untuk belajar, sedangkan maja dan kursi diambil dari sekolah kepasturan di daerah itu yang kini sudah tutup.
Husaini memang bukan asli Talang Mamak, menjabat kepala desa karena kebetulan berstatus PNS dan ditunjuk oleh Camat Rakit Kulim untuk mengisi kekosongan jabatan untuk sementara waktu. Ketika pertama menggelar rapat pada akhir Desember 2016 di desa tersebut, ia mengaku heran banyak warga kesulitan menulis nama di daftar hadir rapat.
“Saya merasa heran, ada Pak RT, Kepala Dusun, disodorkan absen mereka minta bantu dituliskan. Ini pasti ada yang tidak bisa tulis baca,” katanya.
Dan ternyata asumsi itu benar adanya. Dari mayoritas Suku Talang Mamak dari sekitar 900 kepala keluarga di desa itu, belum bisa baca tulis. Dari delapan dusun yang ada di Desa Talang Durian Cacar, hanya dua dusun yang banyak warganya sudah bisa membaca dan menulis.
“Kondisi Talang Mamak di Desa Durian Cacar yang tak bisa tulis baca ada di enam dusun. Itu jumlahnya 50 persen ke atas, usia 20 tahun ke atas tidak bisa tulis baca,” katanya.
Sekolah dasar di daerah tersebut jumlahnya juga baru empat buah, dan baru sekitar 2-3 tahun terakhir dibangun. Sekolah paling tua ada di Dusun 1 berdiri tahun 1990-an, namun karena kondisi jalan masih berupa tanah dan desa itu sangat luas, membuat warga belum melihat pendidikan penting.
“Dampaknya selama ini warga ketika bikin surat tanah dari contoh satu hektare, melayang (ditipu) jadi dua hektare. Ini dampak karena tidak bisa tulis dan baca,” katanya.
Baca juga: KPU tambah jumlah TPS untuk Suku Talang Mamak di daerah pedalaman Riau
Husaini kemudian berembuk dengan pemuka adat Talang Mamak, Batin Model, untuk mendirikan sekolah untuk mengajari warga membaca dan menulis. Ia bersyukur dari Batin, serta warga yang sudah berpendidikan seperti Medi dan Neli mau membantu.
“Seiring berjalan waktu, setelah jalan dua tahun akhirnya yang kami rasakan wakil BPD yang tadinya baru sebatas angka dan huruf sekarang sudah mulai lancar membaca menulis,” katanya.
Husaini juga salah satu yang menolak penerapan sepenuhnya Peraturan Daerah (Perda) yang setiap perangkat desa harus berpendidikan paling rendah lulus SMA. Kebijakan itu dinilai diskriminatif karena banyak warga Talang Mamak yang mampu memimpin tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
“Khusus untuk Talang Mamak saya minta, tolong di Desa Durian Cacar jangan diberlakukan karena kami ingin berubah dulu. Setelah kami berubah, kami siap bersaing. Jangan kami bersaing di kampung sendiri, kami kalah. Belum ada jaminan juga orang yang sudah bersekolah bisa mengatur warganya. Cikal bakal inilah yang buat kami sepakat, ayo kita dirikan sekolah buta huruf ini,” kata Husaini.
Ia berharap SD Plus itu akan bisa terus ada, dan dibangun lebih banyak di dusun-dusun lainnya di Desa Talang Durian Cacar dengan mempertahankan skema swadaya.
“Karena kami tak ingin mengajarkan ke masyarakat selalu menerima. Merubah orang bukan dari orang lain, tapi dari diri sendiri,” kata Husaini.
Baca juga: Kisah "Jalan Minyak" Dalam Sejarah Infrastruktur Riau
Dengan perlahan ia mengeja huruf demi huruf yang ditulisnya.
“B…A…B…I… Babi,” kata lelaki itu sambil tersenyum lebar hingga giginya yang ompong terlihat jelas.
Tempat belajar itu diberi nama Sekolah Dasar (SD) Plus, karena yang belajar di sana mayoritas orang dewasa. SD Plus menjadi penanda bahwa warga di pedalaman ingin berubah, mereka juga ingin pandai supaya bisa bersaing dengan orang luar.
Desa Durian Cacar di Kecamatan Rakit Kulim, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), adalah salah satu daerah terpencil di Riau. Desa seluas 25 kilometer persegi itu adalah rumah bagi Suku Talang Mamak secara turun-temurun. Kondisi geografis yang sulit membuat mereka seperti tertutup dari dunia luar, terutama dari sektor pendidikan. Suku asli Provinsi Riau itu selama ini merasa bisa hidup bergantung dari alam, sehingga pendidikan belum dianggap penting, bahkan takut untuk belajar.
“Zaman bapak saya masih hidup, saya mau disekolahkan ke Batang Cenaku. Waktu itu sekolah di sini belum ada. Saya tidak mau, takut dibunuh. Cuma sekarang, saya bukan salahkan orang tua saya, yang salah sebetulnya saya karena bapak saya mampu sekolahkan tapi saya tak mau,” kata Abey, warga Desa Talang Durian Cacar.
Baca juga: Menyibak Tabir Gawai Gedang Suku Talang Mamak (Bagian 1)
Abey adalah salah satu murid yang setia belajar di SD Plus sejak awal dibentuk pada 2017. Pria 45 tahun itu kini sudah merasakan manfaatnya bisa membaca dan menulis. Apalagi, ia merupakan anggota dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Talang Durian Cacar.
“Dulu kalau pergi rapat di kantor camat, kantor desa, memerlukan daftar hadir, saya merasa tertindas disitulah,” kata Abey yang sebelum bisa tulis-baca selalu bingung kalau diminta mengisi absensi.
Sekarang ia sadar betul manfaat pendidikan. “Yang jelas ada manfaatnya, kalau di kelurahan ada berita orang meninggal kita sudah tahu karena sudah bisa baca pengumuman,” katanya sambil tertawa.
Suami-isteri jadi Guru Swadaya
Warga Suku Talang Mamak yang sudah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi bisa dihitung dengan jari di Desa Talang Durian Cacar. Medi dan Neli adalah segelintir dari mereka yang sudah berstatus sarjana.
Mereka juga berstatus suami-istri, dan kini mengajar di SD Plus tanpa digaji.
“Agak susah merangkul orang-orang ini. Masih banyak mungkin umur-umur yang kecil hampir semua belum bisa baca. Perangkat-perangkat desa kami juga belum punya ijazah, padahal sekarang sudah harus punya ijazah semua buat kerja,” kata Neli, 25 tahun.
Sarjana ekonomi dari perguruan tinggi di Inhu itu mengatakan, SD Plus dibentuk sebagai kesadaran warga Talang Mamak untuk menjadi pandai. Sebagai guru, dirinya dan Medi tidak pernah memaksakan warga lain untuk mengikuti jadwal belajar yang ketat.
Jadwal sekolah justru mengikuti apa keinginan warga. Awalnya, SD Plus punya jadwal dua kali dalam seminggu pada Rabu dan Minggu malam. “Karena aktivitas bapak-ibu kalau pagi ke ladang dan kebun. Belajar satu jam, dua jam tergantung permintaan kawan-kawan,” katanya.
Karena banyak yang tidak betah, akhirnya belajar di SD Plus jadwalnya disesuaikan lagi yakni hanya setiap hari Minggu dari jam dua siang sampai empat sore.
“Tidak dipungut biaya, hanya untuk minum saja Rp2.000 untuk beli Aqua gelas,” katanya.
Baca juga: Menyibak Tabir Gawai Gedang Talang Mamak (bagian 2)
Masa sulit ketika mengajar di SD Plus adalah ketika melihat jumlah yang belajar makin sedikit. Ia mengatakan warga yang datang dan pergi untuk belajar di sana sebenarnya mencapai 30 orang, namun yang benar-benar serius dan selalu hadir hanya 15 orang.
“Kami datangi orang-orangnya, kalau ada yang alasan sakit kami jenguk, kami tengok, kami kasih motivasi lagi bahwa bisa baca tulis itu berarti buat kita dan anak-anak kita ke depan.
Neli mengatakan berusaha sabar dan ikhlas untuk membujuk warga kembali ke sekolah. “Tapi kadang-kadang orang itu malah jadi segan ketemu sama kami, kayaknya rasa-rasa ‘gak enak padahal kita sama-sama keluarga,” ujarnya.
Medi, 27 tahun, adalah sarjana pertanian dari sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Baginya, menjadi guru di SD Plus adalah sumbangsih yang diharapkan bisa membawa manfaat untuk komunitasnya.
Menurut dia, perlahan-lahan warga yang giat belajar mulai bisa membaca dan menulis. Karena itu, materi pelajaran juga ditingkatkan ke pengetahuan alam dan ilmu sosial.
“Untuk perangkat desa, mudah-mudahan bisa dapat ijazah Paket A,” katanya.
Dukungan Kepala Desa
SD Plus tidak akan berdiri tanpa ada dukungan dari perangkat desa. Adalah Penjabat Kepala Desa Talang Durian Cacar, Husaini, yang banyak membantu mereka. Husaini mencarikan papan tulis untuk belajar, sedangkan maja dan kursi diambil dari sekolah kepasturan di daerah itu yang kini sudah tutup.
Husaini memang bukan asli Talang Mamak, menjabat kepala desa karena kebetulan berstatus PNS dan ditunjuk oleh Camat Rakit Kulim untuk mengisi kekosongan jabatan untuk sementara waktu. Ketika pertama menggelar rapat pada akhir Desember 2016 di desa tersebut, ia mengaku heran banyak warga kesulitan menulis nama di daftar hadir rapat.
“Saya merasa heran, ada Pak RT, Kepala Dusun, disodorkan absen mereka minta bantu dituliskan. Ini pasti ada yang tidak bisa tulis baca,” katanya.
Dan ternyata asumsi itu benar adanya. Dari mayoritas Suku Talang Mamak dari sekitar 900 kepala keluarga di desa itu, belum bisa baca tulis. Dari delapan dusun yang ada di Desa Talang Durian Cacar, hanya dua dusun yang banyak warganya sudah bisa membaca dan menulis.
“Kondisi Talang Mamak di Desa Durian Cacar yang tak bisa tulis baca ada di enam dusun. Itu jumlahnya 50 persen ke atas, usia 20 tahun ke atas tidak bisa tulis baca,” katanya.
Sekolah dasar di daerah tersebut jumlahnya juga baru empat buah, dan baru sekitar 2-3 tahun terakhir dibangun. Sekolah paling tua ada di Dusun 1 berdiri tahun 1990-an, namun karena kondisi jalan masih berupa tanah dan desa itu sangat luas, membuat warga belum melihat pendidikan penting.
“Dampaknya selama ini warga ketika bikin surat tanah dari contoh satu hektare, melayang (ditipu) jadi dua hektare. Ini dampak karena tidak bisa tulis dan baca,” katanya.
Baca juga: KPU tambah jumlah TPS untuk Suku Talang Mamak di daerah pedalaman Riau
Husaini kemudian berembuk dengan pemuka adat Talang Mamak, Batin Model, untuk mendirikan sekolah untuk mengajari warga membaca dan menulis. Ia bersyukur dari Batin, serta warga yang sudah berpendidikan seperti Medi dan Neli mau membantu.
“Seiring berjalan waktu, setelah jalan dua tahun akhirnya yang kami rasakan wakil BPD yang tadinya baru sebatas angka dan huruf sekarang sudah mulai lancar membaca menulis,” katanya.
Husaini juga salah satu yang menolak penerapan sepenuhnya Peraturan Daerah (Perda) yang setiap perangkat desa harus berpendidikan paling rendah lulus SMA. Kebijakan itu dinilai diskriminatif karena banyak warga Talang Mamak yang mampu memimpin tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
“Khusus untuk Talang Mamak saya minta, tolong di Desa Durian Cacar jangan diberlakukan karena kami ingin berubah dulu. Setelah kami berubah, kami siap bersaing. Jangan kami bersaing di kampung sendiri, kami kalah. Belum ada jaminan juga orang yang sudah bersekolah bisa mengatur warganya. Cikal bakal inilah yang buat kami sepakat, ayo kita dirikan sekolah buta huruf ini,” kata Husaini.
Ia berharap SD Plus itu akan bisa terus ada, dan dibangun lebih banyak di dusun-dusun lainnya di Desa Talang Durian Cacar dengan mempertahankan skema swadaya.
“Karena kami tak ingin mengajarkan ke masyarakat selalu menerima. Merubah orang bukan dari orang lain, tapi dari diri sendiri,” kata Husaini.
Baca juga: Kisah "Jalan Minyak" Dalam Sejarah Infrastruktur Riau