DPRD Kritisi Kawasan Biodiesel Dijadikan Pabrik Tuak

id dprd kritisi, kawasan biodiesel, dijadikan pabrik tuak

Pekanbaru, 19/9 (ANTARA) - DPRD Provinsi Riau mengecam penyalahgunaan kawasan pabrik biodiesel milik Pemerintah Provinsi di Kabupaten Kampar, yang kini didirikan pula pabrik pembuatan minuman keras tradisional jenis tuak.

"Pemprov Riau sudah kecolongan dan ini sangat memalukan apalagi kawasan pabrik biodiesel malah memproduksi tuak," kata Ketua Komisi A DPRD Riau Bagus Santoso di Pekanbaru, Minggu.

Bagus mengatakan hal itu untuk menanggapi adanya aktivitas produksi tuak, minuman keras tradisional, yang dilakukan secara tradisional di kawasan pabrik biodiesel milik Pemprov Riau di Desa Pangkalan Baru, Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.

Pabrik yang berdiri di areal seluas 60 hektare itu kini terbengkalai. Awalnya, pabrik itu direncanakan pemerintah mampu memproduksi 10 ton biodiesel jenis solar perhari dari bahan baku minyak kelapa sawit mentah (CPO), minyak kelapa dan daun jarak.

Namun, lahan yang ditumbuhi ribuan pohon kelapa itu kini disewakan oleh oknum PNS dan digunakan untuk memproduksi nira sebagai bahan dasar tuak.

"Ini adalah sebuah kekeliruan yang sangat besar sekali ketika aset pemerintah malah berubah fungsi tanpa sepengetahuan Pemprov Riau. Perlu ada tindakan cepat dari Gubernur Riau Rusli Zainal untuk menertibkannya dan menjatuhkan sanksi ke oknum PNS yang tak bertanggung jawab itu," ujar Bagus.

Menurut dia, Gubernur Riau juga harus segera melakukan evaluasi agar pabrik biodiesel tersebut bisa difungsikan kembali.

"Dengan luas perkebunan sawit Riau yang lebih dari dua juta hektare, sangat ironis kalau pabrik biodiesel tak dapat bahan baku. Padahal, banyak pabrik kelapa sawit di Riau yang terus beroperasi tanpa punya kebun," katanya.

Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (P2HP) pada Dinas Perkebunan Riau, Ferry HC, mengatakan pabrik biodiesel yang diresmikan oleh Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) era Kusmayanto Kadiman pada tahun 2005 awalnya akan diintegrasikan dengan pendidikan di Pondok Pesantren Teknologi Riau yang tak jauh dari lokasi pabrik.

Namun, lanjutnya, aktivitas pabrik mulai berhenti produksi sekitar tahun 2007 karena saat itu harga kelapa sawit yang jadi bahan baku biodiesel melambung tinggi dan lebih mahal dari harga solar.

"Pabrik mulai tak beroperasi karena harga sawit pada tahun 2007 melonjak hingga Rp2.000 per kilogram, sehingga harga minyak mentah sawit untuk bahan baku biodiesel tak terjangkau lagi," ujarnya.

Namun, ia mengatakan tak mengetahui persis nasib pabrik tersebut karena pengawasan proyek itu berada di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Riau.

Pabrik biodiesel itu menelan biaya sekitar Rp5 miliar dari APBD Riau 2003 dan beroperasi atas kerja sama Pemprov Riau dengan Badan Pusat Penelitian Teknologi Indonesia (BPPT).

Untuk menunjang bahan baku biodiesel, pemerintah menyediakan ribuan pohon kelapa yang ditanam di areal pabrik seluas 60 hektare.

Perkebunan kelapa tersebut kini disalahgunakan menjadi tempat produksi tuak, karena disewakan oknum PNS kepada pihak lain dengan nilai puluhan juta rupiah setahun. Kabarnya, produksi tuak dalam sehari mampu menghasilkan 500 liter air nira untuk membuat tuak, dan dijual satu jeriken isi 25 liter seharga Rp80 ribu.