Pekanbaru (Antarariau.com) - Delapan dari 10 kasus kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Riau dengan tersangka korporasi, yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kurun 2013-2014 hingga kini ujungnya belum jelas, karena baru dua yang sudah sampai ke pengadilan.
"Yang baru ke pengadilan negeri baru PT JJP dan Triomas FDI," kata Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Madi Ali, ketika dihubungi Antara di Pekanbaru, Senin.
Berdasarkan data Jilakahari, pada 2013-2014 Kementerian Lingkungan Hidup, kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), telah menetapkan 10 korporasi sebagai tersangka kasus dugaan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Total lahan yang terbakar mencapai 6.769 hektare (Ha), yang berada di lahan gambut.
Dua kasus yang sudah ke pengadilan antara lain baru PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) dalam kasus Karhutla seluas 1.000 Ha di Kabupaten Rokan Hilir, Riau.
Menurut Made, kasus ini sudah vonis di Pengadilan Negeri di Rokan Hilir pada 2017. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Rokan Hilir menyatakan perusahaan PT JJP bersalah dan dijatuhi hukuman membayar denda Rp1 miliar.
Kemudian kasus kedua yang kini sedang dalam proses di Pengadilan Siak adalah dengan tersangka PT Triomas FDI. Kasusnya baru akan masuk dalam penuntutan. Perusahaan diduga terlibat dalam Karhutla di Siak, dengan luas lahan sekitar 400 Ha.
Sementara itu, delapan kasus dengan terdakwa korporasi lainnya yang belum jelas nasibnya sampai kini antara lain PT Ruas Utama Jaya yang diduga terlibat Karhutla seluas 965 Ha di Rokan Hilir, PT Bukit Batu Hutani Alam (BBHA) diduga terlibat Karhutla seluas 30 Ha di Bengkalis.
Berikutnya, PT Suntara Gajapati diduga terlibat Karhutla di Dumai dengan luas lahan 1.200 Ha, dan PT Sakato Pratama Makmur (SPM) dengan luas kebakaran 1.500 Ha di Bengkalis.
Kemudian ada PT Sumatera Riang Lestari (SRL) sebagai tersangka Karhutla seluas 1.000 Ha di Bengkalis, PT Teguh Karsa Wanalestari (TKW) tersangka dengan luas kebakaran 500 Ha di Siak, PT Bhumireksa Nusasejati tersangka dengan luas kebakaran 50 Ha di Indragiri Hilir, dan PT Langgam Inti Hibrindo (LIH) tersangka dengan luas kebakaran 1.000 Ha di Pelalawan.
Khusus untuk PT LIH, bahkan kasus Karhutla perusahaan kelapa sawit itu juga ditangani oleh Kepolisian Daerah Riau pada 2016, dan sudah lebih dulu sampai ke pengadilan.
Meski pada Pengadilan Negeri (PN) Pelalawan sempat memvonis bebas Manejer PT LIH Frans Katihokang, namun di Mahkamah Agung (MA) ternyata manejer perusahaan sawit itu tak bisa lolos. MA mengganjar hukuman setahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Menurut pantauan Jikalahari, lambannya proses hukum karena terhambat di Kejaksaan Agung (Kejagung).
"Berkasnya bolak-balik. Alasan bolak-baliknya normatif, (karena) berkas dari PPNS KLHK belum lengkap," ujarnya.
Ia menilai ada kelemahan dalam Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK dalam membangun kasus dengan tersangka korporasi. Meski Gakkum KLHK kini diberi wewenang yang lebih luas secara struktur organisasi, namun untuk kasus korporasi seperti berjalan di tempat.
"Ada perubahan, tapi belum serius menangani korporasi. Untuk pelaku individu (ada) progres," ucapnya.
Made menambahkan, untuk 10 perusahaan yang menjadi TSK sejak 2013-2014 ada informasi semua berkas sudah layak dinaikan ke pengadilan. Sekarang tinggal dari KLHK untuk mendesak Kejagung segera menaikannya ke persidangan di Pengadilan Negeri.
Selain itu, Presiden Joko Widodo juga dinilai perlu segera menerbitkan Peraturan Presiden tentang penegakan hukum terpadu yang dikoordinir oleh menteri, di mana polisi dan kejaksaan dalam satu koordinasi.