Banyaknya Kepala Daerah Terlibat Korupsi Seharusnya Jera, Sistem Pilkada Mempengaruhi?

id banyaknya kepala, daerah terlibat, korupsi seharusnya, jera sistem, pilkada mempengaruhi

Banyaknya Kepala Daerah Terlibat Korupsi Seharusnya Jera, Sistem Pilkada Mempengaruhi?

Pekanbaru, (Antarariau.com) - Selain narkoba, lagi-lagi bangsa ini kembali dibalut keprihatinan mendalam, yakni perilaku korup oknum pejabat negara atau kepala daerah kendati KPK telah "mengcengkeramkan taringnya" dan sudah banyak pejabat yang tertangkap.

Selama 3 tahun masa pemerintahan Presiden RI Joko Widodo tercatat 33 kepala daerah yang ditangkap. Akan tetapi, tren tindak pidana korupsi nyatanya tidak mengalami penurunan signifikan. Dari waktu ke waktu kasus korupsi masih terus saja terjadi.

Dalam rentang waktu 2016 s.d. 2017, sedikitnya Rp3,55 triliun uang negara telah diselamatkan oleh KPK dan lembaga penegakan hukum lainnya.

Sementara itu, kepala daerah yang tersangkut kasus dugaan korupsi diyakini berdampak negatif pada jalannya pemerintahan di daerah. Pasalnya, para kepala daerah itu tentunya lebih sibuk menghadapi kasus hukum daripada menjalankan tugasnya untuk melayani masyarakat dan memimpin roda pemerintahan.

Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri periode 2004 s.d. 2017 kepala daerah dan wakilnya terjerat persoalan hukum mencapai 390 kasus dari 34 provinsi didominasi oleh kasus korupsi. Data per September 2017, untuk kasus korupsi tercatat 311 kasus.

Disusul kasus lainnya, seperti suap, pemalsuan, penipuan, penganiayaan, perusakan, dan penghinaan yang menjerat kepada daerah. Selain itu, juga perampasan dan perjudian serta pemerasan, tindak pidana, penistaan agama, dan perzinahan. Masih data per September 2017, tercatat terpidana 68 kasus, dibebaskan 12 kasus, diaktifkan kembali 19 kasus, SP3 kejaksaan 6 kasus, diberhentikan sementara 15 kasus, diberhentikan tetap 30 kasus, dan pejabat meninggal dunia 9 kasus.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memandang bahwa dengan cukup tingginya jumlah kasus yang menjerat kepala daerah, terutama soal korupsi, kepala daerah diingatkan agar memahami area rawan korupsi dan dapat mencegah terjebak perilaku korup. Dengan demikian, tidak berurusan dengan aparat hukum atau terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.

Area rawan korupsi yang patut diwaspadai kepala daerah meliputi belanja perjalanan dinas, penyusunan anggaran, dan penerimaan pajak," kata Tjahjo Kumolo.

Cari yang Bersih

Pengamat politik Universitas Riau Dr. Hasanuddin menelisik terkait dengan aturan aturan pilkada mengenai calon yang terjerat masalah hukum.

Secara formal, kata Hasanuddin, posisi sebagai calon dalam pilkada tidak dapat digugurkan karena seorang calon terjerat masalah hukum seperti ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, kata dia, tidak menyebut tersangka akan menghilangkan hak sebagai calon.

Ia menjelaskan bahwa dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g dan h UU tersebut hanya menyebutkan persyaratan calon, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Artinya, kata Hasanuddin, tidak ada ketentuan dari peraturan perundang-undangan yang mengatur bahwa jika calon kepala daerah ditetapkan menjadi tersangka suatu tindak pidana maka tidak bisa mencalonkan diri lagi menjadi kepala daerah.

Akan tetapi, dari sisi riil politik, posisi calon sebagai tersangka akan menggerogoti peluang calon mendapatkan dukungan pemilih. Beberapa pilkada pada tahun 2015 di Provinsi Riau, posisi calon sebagai tersangka sangat menyulitkan yang bersangkutan untuk memenangkan pilkada.

Lalu bagaimana mencari kepala daerah yang bersih? Pencarian kepala daerah yang bersih sangat tergantung pada kemampuan pemilih menilai komitmen antikorupsi para calon. Pada dasarnya, menilai komitmen antikorupsi, apalagi terhadap politikus, tidaklah sederhana.

"Pemilikan komitmen memberantas korupsi tidak sebatas ditunjukkan dengan pernyataan formal menandatangani pakta integritas akan memberantas korupsi, tetapi mestinya melekat dalam pribadi atau terintegrasi secara koheren yang dapat ditelusuri dalam rekam jejak yang bersangkutan," katanya.

Lihatlah rekam jejaknya, apakah selama ini sang calon menunjukkan diri sebagai pribadi yang antikorupsi?

Asian Development Bank (ADB) membuat list ilustrasi perilaku-perilaku korup yang dapat meneliti kualitas antikorupsi calon dalam pilkada dengan menelusuri sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah selama ini calon cenderung melakukan praktik mengarahkan perencanaan memilih proyek-proyek yang tidak ekonomis karena kesempatan komisi dan dukungan politik?

Selanjutnya, apakah calon melakukan pembiaran terhadap kecurangan pengadaan, termasuk kolusi, biaya berlebihan, atau pemilihan kontraktor secara subjektif?

Pertanyaan ketiga, apakah melakukan pembiaran terhadap pihak swasta yang membayar uang pelicin; keempat, memanipulasi uang milik umum; kelima, membiarkan penjualan jabatan, pangkat pegawai, nepotisme atau tindakan yang menghalangi profesionalisme dan meritokrasi.

Selain lima poin tersebut, dapat ditambahkan mengenai seberapa besar pengaruh tim sukses selama calon menjadi pejabat publik dan apakah orientasi kepemimpinannya hanya tertuju kepada keluarga dan orang-orang dekatnya, serta apakah selama ini calon dikelilingi oleh para pengusaha curang?

Lantas bagaimana supaya pemilih di Riau memenangkan calon yang mampu mendesain dan mewujudkan pemerintahan yang berjalan efektif tanpa korupsi? Tentu saja pertanyaan ini menjadi tantangan besar di tengah keterbatasan pemahaman pemilih terhadap calon yang berkontestasi dalam pilkada.

Pengalaman penelitian di beberapa pilkada kabupaten dan kota di Riau memperlihatkan bahwa 1 bulan menjelang pemungutan suara, sebagian besar pemilih belum mengetahui calon yang berkontestasi.

Pada kondisi ini sangat dibutuhkan kerja keras intelektual kritis antikorupsi melakukan berbagai upaya, yakni penyadaran dan pencerdasan pemilih di samping melakukan penelusuran serius terhadap rekam jejak calon dan menyuplai informasinya kepada pemilih. Mendorong dan memberi dukungan kuat kepada calon yang berkomitmen mewujudkan pemerintahan yang efektif tanpa korupsi. Misalnya, dengan memaksa calon berjanji akan menggagas raperda antikorupsi untuk dijadikan perda, katanya.

Dipicu Biaya Politik

Pengamat politik dan hukum dari Universitas Riau Dr. Erdianto Effendi mengatakan bahwa kepala daerah terjerat kasus korupsi akibat tingginya biaya politik.

"Kasus ini muncul berawal dari biaya politik yang tinggi. Untuk dapat dipilih menjadi kepala daerah, tentunya memerlukan dana kampanye yang besar sehingga tidak mungkin dia tanggung sendiri dan diharapkan adanya sponsor," kata Erdianto.

Potensi banyaknya kepala daerah yang bakal terjebak kasus hukum, menurut pandangan Erdianto, juga berkaitan dengan sistem penganggaran yang masih banyak kekurangannya. Banyak kegiatan daerah yang tidak ada pos anggarannya, tetapi kegiatan tersebut harus dilaksanakan, seperti ulang tahun, peringatan hari-hari besar, dan penyambutan tamu, sehingga kepala daerah dituntut untuk pandai-pandai menggunakan anggaran itu.

"Kalau kepala daerah kaku dalam menjalankan anggaran, yang terjadi adalah kesan kepala daerah sebagai orang yang pelit dan kaku," katanya.

Sementara itu, masyarakat sudah telanjur mempunyai pola pikir bahwa kepala daerah adalah orang tempat mengadu dan serbabisa dalam membantu kesulitan warga.

Oleh karena itu, dia berulang kali mengusulkan bahwa kepala daerah dipilih dengan perwakilan saja dengan catatan DPRD harus menjaring suara masyarakat.

"Sebaiknya memang pilkada dilakukan oleh perwakilan saja dengan syarat wakil yang memilih amanah dan punya integritas serta intelek," katanya.

***2***