Indonesia Dan Kebakaran Hutan, Mau Sampai Kapan??

id indonesia dan, kebakaran hutan, mau sampai kapan

Indonesia Dan Kebakaran Hutan, Mau Sampai Kapan??

Pekanbaru (Antarariau.com) - Kasus demi kasus, peristiwa demi peristiwa kebakaran hutan dan lahan atau lebih dikenal karhutla terus saja terjadi di Indonesia, bahkan cendrung meningkat, tentu ini dapat menyebabkan semakin menipisnya hutan yang ada dari sebelumnya.

Lebih dari satu dekade, kebakaran hutan dan lahan menjadi kegiatan dan bencana tahunan di negara ini, terutama daerah-daerah yang memang sangat rawan karhutla dengan wilayah gambut terbanyak.

Bencana Karhutla menjadi ancaman terbesar bagi Indonesia, selain merusak ekosistem lahan tropika basah juga akan mempercepat proses perubahan iklim. Semakin banyak hutan yang hilang, menyebabkan peningkatan suhu di daerah deforestarasi.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menganggap isu perubahan iklim tidak bisa dipisahkan dengan lingkungan dan juga kehutanan. Karena dampak dari terganggunya lingkungan maupun hutan dapat mempengaruhi suhu udara yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim.

Apalagi setiap tahun pertumbuhan penduduk di Indonesia mengalami peningkatan yang pesat. Dengan semakin banyaknya penduduk , setiap orang membutuhkan makanan dan tempat tinggal, akibatnya lahan hutan yang ada, semakin banyak diubah untuk pemukiman, perkantoran dan sebagainya.

Ditambah lagi setiap tahun lahan gambut di kawasan tropis Indonesia terus menyusut akibat konversi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan indutri kertas.

Kebakaran hutan dan lahan

Pada pertengahan Februari hingga awal Maret 2014, Global Forest Watch mendeteksi sebanyak 3.101 peringatan titik api di Pulau Sumatera dengan menggunakan data titik api aktif NASA. Angka tersebut melebihi hot spot pada Juni 2013 yang terdeteksi sebanyak 2.643 titik api.

Pada tahun 2013 tersebut kebakaran dan hutan lebih banyak terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, sekitar setengah dari peringatan titik api berada di lahan yang dikelola oleh konsesi kelapa sawit, HTI, serta HPH.

Selanjutnya kebakaran hutan dan lahan gambut pada tahun 2015 dianggap menjadi bencana kabut asap paling terparah sepanjang masa di Indonesia, setidaknya 2,6 hektar hutan dan lahan gambut hangus terbakar di daerah provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Papua dengan total titik panas sebanyak 119.914 titik. Dengan total kerugian mencapai Rp200 triliun lebih.

Peristiwa itu melumpuhkan roda perekonomian masyarakat, sebab aktivitas perdagangan menjadi terhenti bagi daerah yang terkena dampak kabut asap. Selain itu juga menghambat proses pendidikan lantaran sekolah harus diliburkan dari aktivitas belajar-mengajar. Bahkan anak-anak harus kehilangan waktu bermain di luar rumah karena cuaca yang dipenuhi kabut asap.

Belum lagi berefek pada pernafasan yang dibuat sesak. Bahkan sebagian Indonesia dan negara tetangga di bagian Asia Tenggara juga diselimuti kabut asap. Kebakaran hutan menyebabkan polusi udara yang berdampak secara langsung pada kesehatan manusia.

Tercatat sebanyak 97.000 orang di Riau dan 425.000 orang secara nasional terkena ISPA, 19 orang diantaranya tidak lagi tertolong nyawanya. Bencana itu juga menyumbang pelepasan emisi karbon yang tidak sedikit, sehingga secara tidak langsung mendorong perubahan iklim.

Lahan gambut dan hutan adalah tempat menyerap gas CO2 bebas berlebih yang ada di atmosfer, serta memiliki peranan yang sangat penting dalam mengendalikan perubahan iklim. Dengan begitu luasnya hutan dan lahan gambut yang terbakar sepanjang waktu dari tahun ke tahun, lahan yang terbakar melepas karbon serta meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab perubahan iklim.

Pada tahun berikutnya, 2016, masih juga terjadi aksi bakar membakar hutan dan lahan. Meskipun Kepala Pusat Data, Informasi Badan Nasional Penanggulan Bencana merilis bahwa angka karhutla menurun signifikan dibandingkan pada 2015. Dengan perbedaan titik api (hot spot) pada periode Januari hingga 29 Agustus 2015 sebanyak 32.734 hot spot, menurun menjadi 12.884 titik. Memang terjadi penurunan yang tajam dalam perbandingan tersebut, tetapi para perusahaan dan perpanjangan korporasi ataupun masyarakat masih meraja lela dan bebas membakar hutan untuk membuka lahan.

Di Provinsi Riau sendiri pada Juli 2016 berdasarkan data Badan penanggulan Bencana Daerah setempat, ribuan hektar hutan dan lahan terbakar hanya dalam hitungan beberapa hari saja, angka ini mencapai 1.076 hektar. Meskpun angka tersebut masih dianggap jauh mengalami penurunan dibandingkan tahun 2014 dan 2015 pada periode yang sama.

Tidak hanya berhenti disitu, pada tahun 2017 titik api atau hot spot masih saja terus bermunculan di daerah-daerah yang berlangganan mengalami kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang selalu menjadi deretan wilayah penyumbang titik api terbanyak. Untuk di Pulau Sumatera, yakni Provinsi Aceh, kabut asap sudah mulai melanda beberapa kabupaten/kota daerah tersebut, bahkan korban yang mengalami gangguan pernafasan akibat kabut asap pun mulai dilarikan ke rumah sakit.

Problema kebakaran hutan masih menjadi masalah yang belum terselesaikan, bahkan selalu terulang seperti tanpa henti. Upaya perlindungan lahan dan hutan gambut di Indonesia semakin dipertanyakan, dengan hukum yang masih lemah terhadap pembakar, baik itu masyarakat ataupun perpanjangan tangan korporasi maupun pada pihak perusahaan.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutan Siti Nurbaya sendiri mengakui masih adanya kelemahan dalam penegakan hukum perkara kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Menurutnya, kelemahan itu secara umum pada hukum acara dan prosedur dalam memproses perkara perdata, maupu pidana yang dilakukan perusahaan pelaku pembakaran ataupun masyarakat setempat.

Di Provinsi Riau sempat gaduh dengan keputusan Polda Riau mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran hutan di Provinsi Riau pada tahun 2015. Banyak pihak yang bertanya-tanya dengan keputusan ini dan membuat publik menjadi geram. Mereka (kepolisian) beralasan, kurangnya alat bukti yang menyebutkan perusahaan tersebut sebagai pelaku, sehingga menjadikan penyidikan kasus dihentikan.

Penghentian pengusutan kasus karhutla itu semakin menunjukkan masih lemahnya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hutan, dan pembiaraan terhadap pelaku terus terjadi sehingga pengulangan kasus (karhutla) sulit untuk diredam.