Pekanbaru (Antarariau.com) - Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Wilayah Riau menilai, pemerintah daerah lemah dalam mengawasi pekerja terutama sektor minyak dan gas bumi (migas).
Ketua Sarbumusi Wilayah Riau, Umrah HM Thalib di Pekanbaru, Kamis, mengaku, Pemerintah Kota Pekanbaru belum optimal dalam melakukan sosialisasi dan pengawasan ketat atas implementasi aturan ketenagakerjaan
"Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dialami karyawan PT Chevron Pasific Indonesia tahun ini, sudah jelas tanggung jawab pemerintah dalam hal pengawasan, sesuai Undang-undang Nomor 13/2003. Sebab, itu tercantum di Pasal 134," katanya.
Ia menjelaskan, pasal tersebut berbunyi "dalam mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha, pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan".
Belum lagi Mahkamah Agung dalam pertimbangan hukum putusan Nomor 285 K/Pdt.Sus-PHI/2016 menyebutkan pekerja sebagai pengurus serikat pekerja tidak dapat dikenakan sanksi PHK.
Sebab bertentangan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21/2000 tentang Serikat Buruh, karena itu perusahaan dianggap tidak tepat dalam mem-PHK Ketua Sarbumusi Basis Chevron Nofel.
"Tapi anehnya Dinas Tenaga Kerja setempat melalui mediator hubungan industrial Saudari Nelwati yang juga menjabat sebagai Kabid PHI diduga malah ikut membantu dan percepat terjadinya PHK Saudara Nofel," katanya.
Menurut dia, padahal atas kedua jabatan diemban seorang penjabat tersebut, semestinya menghindari upaya terjadinya PHK dan tidak ikut terjadinya tidak pidana memberangus serikat buruh.
Pihaknya telah melaporkan kejahatan tersebut kepada Ditjen Pengawasan dan Norma K3 Kementerian Ketenagakerjaan melalui surat Nomor: 226/DPP-K-SBMI/X/2016 pada 12 Oktober 2016.
"Ini adalah praktik union busting atau pemberangusan serikat buruh, mereka jalankan. Kami anggap ini ada indikasi kepentingan tersendiri karena senyata-nyatanya melakukan malproses prosedur," katanya.
"Secara organisasi, kami tetap tempuh upaya hukum pidana, perdata, dan administrasi negara. Karena diduga ikut serta dalam membantu terjadi tindak pidana kejahatan sesuai Pasal 43 Undang-Undang Nomor 21/2000," kata Umrah.
Akibat pemberlakuan program "Work Force Management", tercatat total hingga akhir April 2016, Chevron telah melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 806 karyawan.
Sebanyak 740 pekerja di antaranya telah dirumahkan terhitung Maret 2016 karena jalankan program pengelolaan tenaga kerja dari total 1.600 pekerja perusahaan asal Amerika Serikat itu.
Senior Vice President, Policy, Government and Public Affairs Chevron Indonesia, Yanto Sianipar sebelumnya mengatakan, perusahaan migas itu kini tengah melakukan kajian terhadap semua model bisnis dan operasi.
"Latar belakangnya bukan hanya karena harga minyak yang rendah, melainkan sejak tahun lalu kami sudah melakukan tinjauan terhadap bisnis dan operasi di lapangan," katanya.
Berita Lainnya
Ketum PBNU lantik kepengurusan DPP K-Sarbumusi
16 December 2022 10:08 WIB
Sarbumusi Riau Akan Perjuangkan Nasib Karyawan Korban PHK Sepihak Chevron
18 November 2016 21:30 WIB
Sarbumusi Riau Kecam Pemecatan Ketua Serikat Buruh Chevron
16 November 2016 19:55 WIB
Organda Harapkan Adanya Pengawasan Langsung Pemda Terhadap Angkutan Online
03 November 2017 20:30 WIB
Menaker Ida Fauziyah serukan atensi khusus terhadap kondisi pekerja di Palestina
07 June 2024 17:01 WIB
Pemkab Sigi beri jaminan perlindungan bagi pekerja migran, bukti pemerintah berpihak terhadap masyarakat
04 March 2022 11:29 WIB
Presiden Joko Widodo: perlu reformasi terhadap ekosistem pengiriman pekerja migran
28 November 2020 10:08 WIB
DK PBB Kecam Serangan Terhadap Pekerja Bantuan di Afghanistan
05 December 2013 12:47 WIB