Pekanbaru (Antarariau.com) - Pakar ilmu Sosial dari UIN SUSKA Riau, DR Jumni Nelli M.Ag mengatakan dari 150 perempuan bekerja yang menjadi responden penelitian tercatat sebanyak 73 persen mengalami perlakuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
"Bentuk-bentuk KDRT itu beragam dengan persentase yang berbeda pula, dan ini sekaligus menggambarkan persoalan kekerasan terhadap perempuan perlu menjadi kepedulian serius semua pihak," kata Jumni Nelli di Pekanbaru, Kamis.
Pendapat demikian disampaikannya dalam "series meeting tentang kelembagaan SDGs untuk menggali input-input dari sektor akademisi, pakar dan ahli yang digelar Bappeda Riau bersama UNDP.
Menurut dia, dari 73 persen perempuan yang mengalami KDRT itu antara lain sebesar 82 persen tidak diberi nafkah materi dan batin, sehingga kasus ini banyak memicu isteri menggugat cerai suaminya.
"Gugat cerai dilayangkan pengadilan agama lebih karena isteri ingin mendapatkan status yang jelas tentang dirinya. Berdasarkan penelitian perempuan yang mengajukan gugat cerai adalah ditinggal suami mereka kurun waktu dua tahun hingga sepuluh tahun," katanya.
Kasus KDRT lainnya, katanya lagi, kekerasan seksual sebesar 19 persen, kekerasan psikis sebesar 93 persen seperti suami sering menghardik, membentak, dipanggil secara kasar dan 19 persen lainnya kasus suami mengambil duit hasil pendapatan isteri bekerja.
Si istri dalam kasus ini, katanya lagi, jarang membantah karena desakan suami yang mengatakan bahwa perempuan bisa menghasilkan uang karena diizinkan suami, jadi duit hasil jerih payah isteri adalah duit suami.
"Setelah merampas uang isterinya, suami bersenang-senang, berfoya-foya bahkan berselingkuh dengan perempuan lain," katanya.
Mencermati kasus tersebut, menurut Jumni, solusinya harus ada komitmen yang tumbuh antara isteri dan suami dan ketika terjadi perselisihan sebaiknya isteri dan suami tidak boleh "ke luar kamar". Artinya mereka berdua harus memiliki komitmen untuk menyelesaikan persoalan mereka dengan sebaiknya tanpa adanya kekerasan.
Selain itu, pasangan yang berhasil mempertahankan keutuhan rumahtangga mereka adalah pasangan yang selalu taat menjalankan syariat Islam dan membuka komunikasi yang baik.
Jumni Nelli, yang juga dari Pusat Studi Gender dan Anak, UIN Suska Riau itu pada "series meeting" difasilitasi Bappeda Riau bersama UNDP itu juga mengapresiasi sinergitas antara pemerintah dan akademisi. Sebab, katanya, selama ini justru akademisi berjalan sendiri dalam melaksanakan kegiatan atau program. Hasil penelitian selama ini tidak secara maksimal termanfaatkan.
"Dengan adanya kerja sama dan sinergisitas antara pemerintah dan akademisi, maka perlu diperkuat komitmen dan tindaklanjut pertemuan tersebut, sedangkan kerja sama yang dilakukan dalam bentuk antara lain penelitian," katanya.
Selain itu isu gender seharusnya tidak hanya untuk perempuan, pemahaman tentang isu gender juga perlu diberikan kepada laki-laki meliputi kekerasan terhadap perempuan, pernikahan siri, kemiskinan. Semua pihak, Bappeda dan UNDP juga diharapkan bisa mengawal Surat Edaran Gubernur tahun 2012 tentang pengalokasian anggaran yang responsif gender.
Berita Lainnya
Lion Parcel bidik peningkatan volume pengiriman hingga 50 persen pada 2024
16 May 2024 14:59 WIB
Airlangga sebut ekonomi Indonesia harus tumbuh 8 persen lebih jadi negara maju
16 May 2024 13:50 WIB
Pengangguran terbuka di Riau 3,85 persen
12 May 2024 14:17 WIB
Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sebut rumah menteri di IKN capai 87 persen dan selesai Juli
07 May 2024 10:00 WIB
Prevalensi stunting di Siak turun menjadi 10,40 persen, terendah ketiga di Riau
06 May 2024 18:22 WIB
LPEM UI prediksi ekonomi Indonesia tumbuh 5,15 persen pada kuartal I 2024
04 May 2024 15:41 WIB
Studi sebut wanita 40 persen berisiko alami depresi saat memasuki perimenopause
04 May 2024 12:38 WIB
Kampar dan Pekanbaru berhasil turunkan stunting di bawah 10 persen
30 April 2024 22:57 WIB