Akademisi UNAND Himbau Pemerintah Waspadai Kebangkitan Ekonomi China

id akademisi unand, himbau pemerintah, waspadai kebangkitan, ekonomi china

Akademisi UNAND Himbau Pemerintah Waspadai Kebangkitan Ekonomi China

Pekanbaru (Antarariau.com) - Akademisi Universitas Andalas, Ir. Benny Dwika Leonanda, MT mengisyaratkan pemerintah RI agar mewaspadai kebangkitan ekonomi China ditandai dengan naiknya pasar modal Shanghai "composite index" namun nilai tukar Yuan diprediksi terus turun dimasa datang.

"Jika depresiasi nilai tukar Yuan terhadap dollar Amerika Serikat ke angka 7 dan mungkin saja Yuan China mendekati angka 8 per satu dollar Amerika Serikat seperti tahun 2005, bisa dipastikan produk-produk China membanjiri Indonesia, sementara produksi Indonesia kalah bersaing karena mahalnya ongkos produksi dalam negeri," kata Benny dihubungi dari Pekanbaru, Senin.

Ia mengatakan itu, terkait perkembangan ekonomi dunia kini penuh dengan ketidakpastian, dan analis merasakan kesulitan memperkirakan kemana arah pergerakan ekonomi dua saat ini, pascareferendum rakyat Ingris untuk keluar dari Masyarakat Ekonomi Eropa pada 23 Juni 2016.

Ia menjelaskan, bahwa rakyat Inggris lebih memilih keluar (brexit) dari masyarakat Uni Eropa dengan perolehan suara 51,9 persen suara dan 48,1 persen suara memilih bertahan (bremain). Hasil pemungutan suara tersebut mengakibatkan ekonomi terguncang dan tidak terkendali. Pasar saham dan mata uang Inggris, poundsterling, dan mata uang Eropa (Euro) jatuh kepada titik terendah, terutama Inggris sampai dengan ke posisi 31 tahun terakhir.

"Posisi poundsterling berada pada 1.5819 terhadap Dollar amerika yang mana mengalami penurunan sebesar 10.84 persen terhadap tahun lalu pada posisi 1.2798, dan ini mengejutkan dunia, karena tidak disangka sebelumnya. Pada awalnya orang posisi bremain lebih kuat dari brexit, namun kemudian posisi terbalik dan posisi bremain kalah tipis, dan mengakibatkan pemerintahan Inggris David Cameron mengundurkan diri," katanya.

Pasar modal pun, katanya lagi, ambruk menambah resesi ekonomi di Eropa. Itali mengalami nasib yang paling parah, saham-saham bank Itali jatuh lebih dari 30 persen setelah referendum digelar. Para debitur bank lebih memilih "default" ketimbang membayar hutang mereka, seperti halnya krisis ekonomi pernah menghantam Amerika Serikat tahun 2008.

Mirisnya, kredit pun macet, dan nilai barang dan properti mengalami penurunan. Bank-bank rugi besar dan bankrut, dan harga saham-saham pun turun.

"Hal yang sama tentu saja bisa terjadi di Inggris dan negara-negara Eropa kini dimasa datang. Aliran dana mengalir deras keluar meninggalkan Inggris dan Eropa, dan meningkatkan harga saham-saham di pasar Asia sampai di atas 5 persen alam sebulan terakhir," katanya.

Ia memandang bahwa sebuah anomali terjadi, di tengah aliran modal ke negara-negara asia, mata uang China terus menurun, sementara pasar sahamnya terus meningkat.

Depresiasi mata uang Yuan China terus bergerak turun, mengikuti arah pergerakan sejak dua tahun terakhir Yuan yang terus terdepresiasi, sementara Bank Sentral China sebelumnya mempercepat pergerakan tersebut dengan mendefaluasi mata uangnya 2,8 persen pada Juli 2015.

"Akibatnya harga saham di China jatuh, namun disisi lain perubahan ekonomi China mengalami perbaikan. Sejauh ini mata uang Yuan China telah depresiasi sebesar 10,56 persen sejak tahun 2014 dari 6,051 ke 6.69 Yuan per dollar Amerika Serikat," katanya.

Angka ini, katanya lagi, bisa mungkin mencapai 7 atau bahkan sampai dengan 8 Yuan china per satu dollar Amerika seperti terjadi tahun 2005. Kondisi ini tentu jelas mengkuatirkan, ketika mata uang China bergerak turun sementara pasar modal bergerak naik dan meningkat sebesar 50 persen dari tahun 2014.

Walaupun di tahun 2015 pasar saham China di Shanghai komposit indeks sempat "booming" sampai dengan 5.166,35 dari 2004,04 pada tahun sebelumnya, namun hal tersebut hanya efek yang timbul karena kekhawatiran bubarnya Masyarakat Ekonomi Eropa ketika pemerintah Yunani terancam mengalami "default" dan keluarnya negara tersebut dari Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE).

Setelah referendum selesai, rakyat mayoritas Yunani memilih tetap berada di dalam MEE, pasar saham China kembali jatuh, namun masih kompetitif dari pada tahun-tahun sebelumnya.

"Sebenarnya kondisi ekonomi China sejak tahun 2015 tidak dalam kondisi baik, pertumbuhan ekonomi China melambat, produksi turun, pasar modal jatuh bangun, sementara mata uang China terus terdevaluasi. Namun di lain pihak harga barang-barang produksi China menjadi turun harga, dan justru merambah pasar dunia, mulai dari produk elektronik, sampai dengan sandang pangan laris manis di pasar dunia," katanya.

Salah satu penghambat dari tumbuhnya ekonomi China hanya resesi dunia yang terjadi setelah tahun 2008 di Amerika Serikat dan terus berlanjut sampai tahun 2012 di Eropa, ditandai daya beli rendah, dan hampir mempengaruhi seluruh dunia.

China justru kesulitan mencari pasar ditengah-tengah kelesuan ekonomi dunia. Di sisi lain Indonesia mengalami depresi, sesaat pemerintah Indonesia menghapus subsidi bahan bakar. Posisi tersebut terlihat mulai dari tahun 2013 ketika pemerintah SBY menaikan harga minyak 44 persen dari Rp4.500 ke Rp6.500 untuk bensin, dan Rp4.500 ke Rp5.500 untuk minyak Diesel.

Pada pemerintahan Presiden Jokowi juga demikian menaikan harga penjualan minyak bumi dalam negeri 31 persen untuk bensin, ke harga Rp8.500 untuk bensin, dan 36 persen dari Rp7.500 untuk minyak diesel.

Pasar segera melakukan penyesuaian saat nilai mata uang Rupiah melemah, sebagai akibat penurunan daya beli masyakat. Inflasi berada di atas 8 persen pada kedua tahun tersebut.

"Pasar lesu, dan berbagai perusahan tutup dan melakukan PHK sektor energi, otomotif, dan berbagai perusahaan lain pada tahun 2015 dan awal tahun 2016. Ekonomi Indonesia tertekan dan mengkerut, sehingga pada tahun 2015 dan 2016 pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di bawah 5 persen per tahun walaupun pemerintah tetap optimistis bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut di atas 5 persen," katanya.

Ekonomi stagnan, pemerintah telah mengeluarkan berbagai paket kebijakan untuk mengantisipasi hal tersebut, namun belum mampu menyebabkan tumbuhnya ekonomi secara signifikan.

Krisis hutang pemerintah Yunani tahun 2015 menyebabkan mata uang Rupiah jatuh pada posisi terendah dan jatuh sangat dalam. Rupiah diperdagangkan pada posisi 14.646 per satu dollar AS. Hal tersebut disebabkan selain kenaikan harga minyak bumi juga dipengaruhi oleh spekulasi sebagai akibat krisis hutang pemerintah Yunani serta tertundanya kenaikan suku bunga bank Federal Reserve Amerika Serikat.

"Spekulasi menjadi marak ditengah-tengah pertaruhan apakah Yunani akan keluar dari Masyarakat Uni Eropa atau tidak. Sementara ekspor Indonesia terus turun, dan harga-harga bahan-bahan mentah yang berasal dari perkebunan dan tambang jatuh sampai ke titik harga terendah," katanya.

Sehingga membuat ekonomi Indonesia menjadi lesu. Saat sekarang kondisi ekonomi Indonesia dalam keadaan stagnan, namun di lain pihak pasar modal Indonesia fluktuatif, mengikuti naik turunnya nilai tukar rupiah terhadap dollar. Namun pada satu bulan terakhir Jakarta composite index mengalami kenaikan sebesar 6.93 persen ke angka 5,110.178, mengikuti kenaikan pasar saham Asia yang rata-rata di atas 5 persen juga dampak efek brexit.

Ia memandang bahwa gejolak ekonomi dunia yang penuh ketidak pastian kini bisa berdampak ekonomi Indonesia memburuk pada masa datang, kendati pasar modal Indonesia menjadi "booming" saat ini ditengah membaiknya nilai tukar rupiah, akan tetapi pelarian modal keluar negeri dari bursa saham dalam negeri bisa saja menghancurkan ekonomi Indonesia seperti tahun 1997/1998.

"Prediksi bahwa nilai tukar Yuan terus turun pada masa datang menjadi ancaman baru bagi ekonomi Indonesia. Ekonomi China bangkit, dan ekonomi Indonesia bisa saja terpuruk. Jadi tidak ada salahnya mewaspadai kebangkitan ekonomi China pada masa datang," katanya.