Oleh Edy Supriatna Sjafei
Di pondok pesantren atau ponpes, para santri bukan sekadar menuntut ilmu, tetapi juga membangun ikatan batin antara sesama santri dari berbagai etnis dan juga dengan para pengasuhnya guna menjaga moral di tengah lingkungan masyarakatnya.
Ponpes adalah sarana pendidikan terbaik karena memiliki nilai pendidikan yang lebih dari sekolah-sekolah umum. Selain itu, di lembaga pendidikan itu hubungan komunikasi antara guru (pengasuh) dan santri (siswa) terjalin secara baik.
Kehadiran pesantren di tengah-tengah masyarakat memiliki peran besar dalam pembangunan pendidikan, utamanya pendidikan moral dan akhlak. Termasuk juga di dalamnya menanamkan semangat jiwa patriotisme dan bela negara. Banyak ulama sebagai pimpinan ponpes mengerahkan santri menggunakan bambu runcing memerangi penjajah.
Memang harus diakui bahwa sejak dulu eksistensi ponpes, dalam kehidupannya lebih banyak diwarnai oleh ketokohan pendirinya. Sebut saja Ponpes Tebuireng yang didirikan oleh Kiai Haji Hasyim Asy ari pada tahun 1899 M.
Juga Ponpes Gontor di Ponorogo, Jawa Timur, yang didirikan pada 10 April 1926 itu sangat lekat dengan nama-nama seperti Kiai Santoso Anom Besari, KH. Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fananie, dan KH Imam Zarkasy yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti pendiri ponpes tersebut.
Para santri yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara ini ketika belajar di pemondokan, dengan segala keterbatasan yang dihadapi, merasa senasib. Terlebih lagi para pengasuh, terdiri dari para ustadz dan kiai, terus menerus memberikan pencerahan sambil memotivasi para santri tentang pentingnya ilmu-ilmu yang dipelajari untuk memajukan bangsa.
Dalam catatan sejarah, ponpes telah banyak memberi sumbangan bagi kemajuan dalam bidang pendidikan dan kemajuan bangsa jauh sebelum kemerdekaan RI.
Namun pendidikan yang dikembangkan para ulama tersebut baru mendapat pengakuan secara formal setelah berlakunya UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).