Pemuda, Budaya Dan Pencegahan Korupsi Ala KPK

id pemuda budaya, dan pencegahan, korupsi ala kpk

Pemuda, Budaya Dan Pencegahan Korupsi Ala KPK



"Perubahan di anak muda, jangan "ngaku" muda kalau tidak bisa buat perubahan. Indonesia bisa seperti ini karena peran anak muda karena saat Indonesia belum ada, bahkan yang memimpin adalah para pemudanya. Kemerdekaan Indonesia tidak akan jadi kalau tanpa pergerakan anak muda Indonesia," kata Bambang.

Bambang pun menyoroti berbagai sumber tindakan koruptif di Indonesia seperti daya serap kementerian yang rendah maupun politik dinasti di daerah-daerah.

"Pada semester pertama 2015, daya serap pemerintah rendah. Ada 15 kementerian yang daya serap di bawah 25 persen, satu kementerian bahkan hanya 2,5 persen pada semester pertama yaitu Kementerian Desa yang mendapat Rp9 triliun, lalu bagaimana gunakan dalam 2,5 bulan? Apalagi akan ada pemilukada serentak pada akhir 2015, belum lagi ternyata hingga saat ini ada 40-50 pemerintah daerah yang berdasarkan dinasti keluarga, itu adalah real," kata Bambang di hadapan 48 peserta yang berusia 18-26 tahun itu.

Pendekatan baru

Menghadapi persoalan tersebut, ketua panitia kegiatan "Youth Camp" KPK Dhedy Adi Nugroho mengatakan KPK ingin melakukan pendekatan baru dalam pencegahan korupsi yaitu bagaimana memunculkan manfaat dari gerakan antikorupsi itu.

"Kami mau mengajak orang antikorupsi dengan memberikan manfaat, manfaat tidak harus uang. Bagaimana caranya? Kami memberikan manfaat ke diri mereka, membangun kepercayaan diri, kesadaran, dibekali dengan "sharing" dari narasumber maupun peserta lain untuk membuka mata bahwa mereka mampu, mereka bisa melakukan sesuatu. Itu membuat mereka merasakan kalau terlibat dalam gerakan ini mendapat manfaat, keterampilan, pengetahuan, jaringan. Itu tahap pertama," kata Dhedy.

Tahap kedua adalah tahap membukakan masalah yang dekat dengan anak muda.

"Tidak mungkin kami membicarakan revisi UU KPK, tapi bagaimana agar membuka mata mereka kalau ada jalan di depan rumah rusak atau uang sekolah yang tidak dimanfaatkan dengan benar merupakan perbuatan yang mengindikasikan korupsi. Hal-hal yang terkoneksi langsung dengan mereka, harapannya dengan terkoneksi langsung dan bisa dijangkau maka mereka mau terlibat langsung dengan antikorupsi," ungkap Dhendy.

Sehingga "Youth Camp" tersebut menjadi langkah pertama untuk mengumpulkan pemuda-pemudi yang sudah aktif di komunitas masing-masing untuk mendukung gerakan antikorupsi di komunitas mereka.

"Acara ini adalah simpul, kami mengumpulkan teman-teman yang sudah aktif di komunitas masing-masing yang bergerak di pendidikan anak, kaum disabilitas, guru di daerah terpencil, musisi, wirausaha muda, dan berbagai komunitas lain dan bukan aktivis antikorupsi dengan harapan akan ada efek spiral yang tepat, termasuk mengajak warga desa setempat untuk membukakan perspektif permasalahan di daerah masing-masing sekaligus memprakarsai atau menginisiasi pemberdayaan masyarakat di tempat mereka," jelas Dhedy.

Pemberdayaan masyarakat itu hadir dalam kegiatan "live in" atau berbaur selama empat hari di desa-desa di Yogyakarta yang akan menjadi proyek percontohan atau "pilot project" dalam kegiatan ini. Desa-desa tersebut adalah Desa Girikerto, Desa Umbulharjo, Desa Bokoharjo Tegal Tendu, Prenggan Kota Gede dan Dukuh Karangklethak.

"Kami menyiapkan dana inisiasi, satu desa maksimal Rp5 juga, tapi dana tersebut tidak harus dihabiskan seluruhnya, bila hanya perlu Rp2 juta ya dipergunakan Rp2 juta, mereka bisa berkolaborasi dengan pemerintahan desa setempat," tambah Dhedy.

Dhedy mencontohkan Desa Girikerto yang terletak di lereng Gunung Merapi akan membuat radio komunitas dan satu kelompok peserta yang terdiri atas 12 orang dapat bekerja sama untuk membuat konsep mengenai pengembangan radio komunitas itu.

"Mereka merancang kebutuhan seperti apa, materi radio komunitas seperti apa, apakah terkait dengan materi antikorupsi atau tidak, bermitra dengan siapa, yang ingin kita bukakan adalah kalau punya idealisme tidak berhenti hanya pada idealisme tapi harus ditunjang dengan kreativitas dan tidak cuma berhenti di kreativitas tapi harus ada juga keberlanjutannya," ungkap Dhedy.

Menurut Dhedy, bagi kelompok yang programnya dapat berkelanjutkan setelah mereka kembali ke daerah masing-masing maka daerah selanjutnya akan mendapat dukungan dalam mengerjakan program tersebut oleh KPK pada tahun depan.

"Bagi lima program yang pengembangan komunitasnya berjalan dengan baik, maka tahun depan tim KPK akan mendukungnya. KPK sendiri sudah punya program pengembangan komunitas di Yogyakarta, Bali, Kupang dan Bandung," jelas Dhedy.

Para Pemuda-pemudi

Reaksi atau tanggapan para peserta yang mengikuti pelatihan tersebut pun tampak bersemangat untuk memulai menerapkan rencana di desa proyek percontohan dan selanjutnya juga di daerah asal mereka. Ada 48 orang peserta yang berasal dari 20 orang pegiat komunitas yang sudah mengirimkan esai dan data diri mereka ke KPK ditambah peserta Sekolah Anti Korupsi Indonesia Corruption Watch (SAKTI), Sekolah Anti Korupsi Aceh (SAKA), peserta "future leader anti-corruption" Jakarta, dan empat pemuda desa yang akan menjadi lokasi "live in".

"Banyak pengalaman yang didapat, seperti kemarin di kelompok saya belajar untuk tidak tergantung pada pemerintah, agar bisa mencari dana sendiri sekaligus menjadi agen perubahan," kata Arnoldus Yanssen Nurak peserta asal kabupaten Sika, kota Maumere, Nusa Tenggara Timur.

Arnold aktif di Forum Anak Kabupaten Sika, pendamping di Sekolah Damai, komunitias Shoes for Flores, anggota komunitas San Agidio, komunitas kelompak doa dan karya keuskupan Indonesia.

"Di pulau-pulau di Maumere seperti pulau Dambila, banyak anak yang punya niat bersekolah, tapi tidak punya tas, sepatu atau perlengkapan lain, jadi kami mencari dana secara mandiri dan dibelikan tas dan sepatu. Cara mencari dananya misalnya dengan menjual bensin, menjual rantangan ataupun membuat proposal lalu kami posting di Facebook," ungkap Arnold.

Arnold yang juga sering menjadi fasilitator di desa-desa untuk melatih anak berorganisasi dan memimpin rapat mengatakan bahwa kemandirian menjadi ciri utama gerakan anak muda yang diikutinya.

Sedangkan Ni Putu Devi Praheswary yang aktif di organisasi Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Nusa Tenggara Barat yang juga mahasiswi Universitas Mataram jurusan Teknologi Pangan mengatakan bahwa ia ingin mengabdikan ilmu yang ia dapat di desa.

"Saya kuliah teknologi pangan, saya ingin tahu apa yang bisa dikembangkan dari desa itu, bagaimana tanggung jawab penggunaan dana di desa, kegiatan di desa itu apa saja, dan paling utama adalah bagaimana mengembangkan potensi desa itu bukan hanya dari sisi ekonomi tapi juga misalnya lewat seni seperti menyanyi, melukis dan lainnya," kata Devi.

Selanjutnya Silvia Anggreini yang aktif di Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID) mengungkapkan melalui acara ini ia belajar bahwa isu pemberantasan korupsi bukan hanya milik KPK.

"Masalah antikorupsi bukan cuma milik KPK atau LSM tapi milik semua karena anggaran yang diambil (koruptor) adalah milik kita semua, uang-uangnya seharusnya bisa untuk program pemberdayaan masyarakat yang bisa juga dipakai untuk bermusik, seni, atau isu lain keseharian anak-anak muda," ungkap Silvia.

Silvia pun berkeyakinan bahwa pemberantasan korupsi bisa dilakukan di level komunitas atau dimana pun bisa mencegah korupi, misalnya dengan pengawasan anggaran oleh masyarakat.

Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga jurusan Ekonomi Syariah Rima Sulistyaningrum yang merupakan pengurus Karang Taruna Giri Taruna Bakti Desa Gilikerto mengakui bahwa di desanya masih banyak persoalan sosial.

"Banyak pemuda yang tidak ikut karang taruna tapi kalau konser dangdutan langsung tiba-tiba ngumpul, jadi kami pun membuat konser amal campur sari dan banyak yang datang. Uangnya untuk pendidikan anak SD dan SMP karena masih banyak banyak yang putus sekolah karena kesadaran berpendidikan kurang, pernikahan dini ataupun "married by accident", kata Rima.

Di Desa Girikerto, Rima dan kawan-kawan berencana melakukan tiga kegiatan yaitu mendukung pembangunan Radio komunitas yang berfokus untuk menyuarakan informasi penanggulangan risiko bencana maupun transparansi kinerja pemerintah desa; menghidupkan lagi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) melalui aktivitas pendirian perpustakaan dan bimbingan belajar; hingga diversifikasi tanaman alpukat.

Desa Girikerto sendiri merupakan sentra produksi salak, namun kualitas maupun kuantitas salak pondoh produksi desa tersebut semakin berkurang.

Di tengah berkurang dan mengendornya kualitas desa, para pemuda-pemudi ditunggu untuk menyalurkan potensi mereka dalam aksi yang lengkap dengan visi, agar energi muda tak sia-sia, termasuk dalam isu pemberantasan korupsi.