Pekanbaru, (Antarariau.com) - Peneliti gambut tropis dari Universitas Riau Dr Wawan menilai, pemerintah jangan hanya memperhatikan dari sisi lingkungan dan mengabaikan sisi ekonomi serta sosial ketika merevisi peraturan pemerintah No.71/2014 tentang gambut.
"Kami tidak bermazhab pada lingkungan saja. Negara itu, harus berada di mazhab "sustainable" dan bukan semata-mata mazhab lingkungan. Sebab kita harus membangun, ekonomi Indonesia terus berkembang," tegasnya di Pekanbaru, Selasa.
Pernyataan itu ditegaskan terkait pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) No.71/2014 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Ekosistem Gambut yang recananya bakal diterapkan pada Mei 2015.
Kalau pemerintah hanya bicara mengenai sisi lingkungan saja dalam revisi PP Gambut, kata Wawan, tetapi pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal terhambat, maka bisa dibayangkan seperti apa pembangunan bangsa ini khususnya pembangunan berkelanjutan.
Pelaku usaha baik sektor industri perkebunan terutama sawit maupun industri kertas secara terang-terangan merasa keberatan dengan pemberlakuan tinggi muka air gambut 0,4 meter atau 40 centimeter serta pemerintah tidak menjelaskan teknis pengukuran dan di mana lokasinya.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada akhir tahun 2014 memperkirakan sekitar 340.000 orang buruh perkebunan kelapa sawit terancam kehilangan kerja, sedangkan 300.000 orang buruh bidang industri kertas bakal menganggur dengan ratusan triliun invetasi dan devisa bakal hilang.
"Oleh karena itu, pemerintah harus bijak mengelola negara ini. Negara harus memposisikan diri sebagai "sustainable agriculture" dengan perhatikan produk ekonomi, perhatikan lingkungan, berpihak sosial dan hadir secara seimbang," jelasnya.
Wawan menjabat Kepala Pusat Penelitian Gambut Tropis Universitas Riau mengatakan, pihaknya telah mengirimkan hasil rumusan dari grup forum diskusi kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya serta meminta PP Gambut tidak merugikan semua pihak.
"Saya tidak nafikan lingkungan. Kalau lingkungan tidak diperhatikan, maka berdampak pada ekonomi. Contoh, sekarang kita kelola gambut. Kalau subsidensi tak dikendalikan, maka ujung-ujungnya tanaman terendam. Kalau tanaman terendam, maka produktivitas turun dan ekonomi hancur," katanya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini sedang tampung berbagai masukan dari pemangku kepentingan khususnya pelaku bisnis untuk revisi PP Gambut dan merupakan turunan Undang-undang No.31/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kita pemerintah sekarang ini posisinya sebagai simpul negosiator. Negosiasi antara berbagai kepentingan, baik pelaku usaha seperti hari ini, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat adat," kata Sekjen Kementerian LHK, Hadi Daryanto.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencatat, saat ini luas lahan gambut mencapai 14 juta hektare (ha), sedangkan lahan gambut yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha mencapai 7 juta ha.
Dari 7 juta ha, kini tersisa sekitar 3,6 juta ha karena 1,7 juta ha lahan sudah dimanfaatkan untuk areal perkebunan kebun sawit dan 1,7 juta ha untuk hutan tanaman industri.