Pekanbaru, (Antarariau.com) - Pemerintah Indonesia perlu memiliki program subsidi kepada petani kecil agar bisa mengelola lahan gambut tanpa membakar untuk lahan pertanian, kata Kepala Pusat Penelitian Gambut Tropik Universitas Riau Dr Wawan.
Ia mengatakan kepada Antara di Pekanbaru, Kamis, langkah itu sebagai solusi bencana asap akibat kebakaran lahan dan hutan dengan implementasi teknologi yang didukung pengawasan hukum secara ketat.
"Ketika kita meminta petani kecil untuk tidak membakar lahan gambut untuk pertanian, sama saja membuat mereka tidak ada pilihan. Sedangkan, mereka tidak punya uang, dan hidup mereka terus berjalan," katanya.
Menurut dia, pemerintah baru sebatas menerapkan teknologi canggih untuk deteksi dini pencegahan kebakaran lahan. Sedangkan yang belum disentuh oleh pemerintah adalah bagaimana membantu mengubah cara bercocok tanam masyarakat yang masih bersifat tradisional yakni metode tebas dan bakar.
Pemberian subsidi juga tidak berarti harus memberikan uang, melainkan dengan membentuk kelembagaan petani, pastikan lahan rencana pertanian berada pada kawasan yang semestinya, dan pemerintah yang melakukan pembukaan lahan dan manajemen tata kelola air gambut secara aman.
"Artinya, pemerintah yang melakukan desain kanal hingga pembukaan lahannya sehingga rakyat tinggal menanami saja. Konsep agribisnis ini juga bisa dikembangkan dengan pemerintah membantu pemasaran produk pertanian petani," katanya.
Dalam regulasi, lanjutnya, pemerintah sebenarnya masih mengakomodir kearifan lokal bahwa petani bisa membakar lahan seluas dua hektare per kepala keluarga dengan sekat bakar.
Namun, ia menilai hal tersebut justru menjadi masalah ketika kemarau petani secara bersama-sama membakar, dan tidak ada jaminan sekat bakar bisa mencegah api menyambar ke mana-mana.
Apalagi dengan tebas dan bakar, lanjutnya, biayanya sangat murah karena cukup bermodal korek api untuk membakar bisa meratakan dan menggemburkan lahan meski hanya sementara.
"Yang diperlukan petani kecil adalah bagaimana pemerintah membantu pembukaan lahan tanpa bakar dengan alat lebih canggih yang biayanya bisa mencapai Rp4 juta per hektare," katanya.
Ia mengatakan program ideal itu memang butuh dana besar, namun biaya bisa terasa "ringan" apabila ditanggung bersama lewat APBN, APBD dan juga program kemitraan (CSR) perusahaan. Dana yang dikeluakan pemerintah juga lebih berguna ketimbang tiap tahun harus memadamkan kebakaran lahan.
"Yang dibutuhkan adalah niat, dan kreativitas pemerintah untuk berkolaborasi bersama semua pihak. Dengan geografis Riau yang sebagian besar lahan gambut, tidak ada pilihan lain," katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irsyal Yasman mengatakan lebih dari 500 korporasi yang tergabung di dalamnya siap menjadi mitra pemerintah untuk pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan di Indonesia.
Irsal menegaskan, pihak korporasi dalam pengembangan hutan tanaman industri (HTI) telah menerapkan teknologi tata kelola air yang mengatur tinggi muka air berdasarkan kontur guna pencegahan kebakaran.
"Kami menyiapkan seluruh sumber daya yang ada. Kebakaran hutan adalah ancaman bagi kesehatan masyarakat dan juga bisnis kami," kata Irsyal dalam pernyataan pers yang diterima Antara.
Menurut Irsyal, korporasi kehutanan secara rutin menginformasikan kepada kementerian terkait jika menemukan titik panas dari pantauan satelit di sekitar konsesi. "Korporasi menyiagakan peralatan pemadaman seperti helikopter dengan pembom air, mobil pemadam, airboat, pompa air serta teknologi foto udara untuk memantau area yang rawan terbakar," katanya.
Presiden Jokowi selama dua hari terakhir "blusukan" di Riau untuk fokus dalam penanggulangan kebakaran lahan dan hutan. Pada hari pertama kunjungannya, Presiden mengeluarkan ultimatum tegas agar semua pihak memiliki niat kuat untuk menuntaskan masalah kebakaran lahan dan hutan di Indonesia, khususnya di Provinsi Riau yang sudah berlangsung selama 17 tahun.
"Masalah kebakaran tidak ada solusi baru, karena semuanya sudah mengerti apa yang harus dilakukan. Tidak ada terobosan, ini hanyalah masalah niat mau atau tidak mau menyelesaikan," tegas Presiden di Pekanbaru, Rabu (26/11).