Kopi okra: Segelas hangat dan setangkai harap dari Pekanbaru

id Kopi okra,Pertamina UMK academy,Rumah BUMN

Kopi okra: Segelas hangat dan setangkai harap dari Pekanbaru

Biji okra yang kering saat akan disangrai dan disulap menjadi kopi (ANTARA/Annisa Firdausi)

Pekanbaru (ANTARA) - Tangan-tangan lincah para ibu di sebuah rumah produksi kecil di Jalan Purwodadi, Pekanbaru, sibuk memetik, mengaduk, hingga menyegel kemasan berwarna hijau.

Aroma sangrai biji okra perlahan memenuhi ruangan. Harum, hangat, sekaligus menenangkan.

Bubuk ini tak lagi sekedar minuman, melainkan perpanjangan mimpi yang perlahan dirawat oleh wanita-wanita hebat.

Kelompok wanita tani itu berdiri sunyi di awal, beranggotakan 20 ibu-ibu tetangga yang menyisihkan lahan di pekarangan rumah. Di bawah teriknya sang surya, di sela kesibukan mengurus rumah, para ibu berpeluh menanam calon bayi hijau okra.

Lahan kecil yang tadinya hanya menanam cabai kini berubah menjadi barisan okra yang melambai anggun diterpa angin. Dari okra, sayuran yang kerap dihindari karena lendirnya, lahirlah inovasi tak terbayangkan yaitu kopi okra.

“Kami memilih kopi karena banyak orang suka, tapi banyak juga yang tak bisa menikmatinya karena kafein,” tutur Ernawati, sang penggagas saat ditemui beberapa waktu lalu.

Tak seperti kopi biasa yang sering jadi “musuh” bagi penderita maag, jantung, atau diabetes, kopi okra justru aman, bahkan digadang-gadang mampu membantu menurunkan kadar gula darah.

Rasanya? Ada pahit lembut, hangat, sedikit gurih, seakan membawa suasana sore yang penuh percakapan ringan.

Pasarnya merambat cepat. Dari Pekanbaru, aromanya kini sampai ke Riau, Jambi, Medan, Surabaya, bahkan Probolinggo. Tak hanya dijual di gerai oleh-oleh atau bazar, kopi okra juga merebut hati lewat etalase digital.

Jalinan tangan dan harapan

Kini, enam ibu fokus mengolah produksi, sedangkan 20 lainnya setia merawat pohon okra di pekarangan. Omzet yang dulunya hanya angan, kini menyentuh Rp15 juta hingga Rp20 juta per bulan. Sebungkus kopi okra seberat 200 gram dihargai Rp40 ribu hingga Rp45 ribu, harga yang membawa secuil harap, bukan sekadar angka di buku kas yang kian lusuh.

Namun, mimpi selalu berjalan beriringan dengan tantangan. Bahan baku yang tak banyak jumlahnya menjadi kerikil yang kerap mengganggu langkah.

“Kami masih mengandalkan lahan pekarangan. Mudah-mudahan nanti bisa punya lahan lebih luas supaya stok terjaga,” ucap Ernawati penuh harap.

Pelukan hangat dari Pertamina UMK Academy

Langkah Ernawati dan ibu-ibu tak sendiri. Sejak tahun lalu, mereka digandeng oleh Rumah BUMN dan Pertamina UMK Academy, yang menjadi wadah mereka belajar, bertumbuh, dan bermimpi yang disiapkan khusus bagi UMKM agar tak hanya berjalan di tempat.

“Program ini membantu kami mengenalkan produk, memperbaiki kemasan, dan berani mendongengkan cerita kopi okra ke lebih banyak orang,” kata Ernawati.

Di sanalah mereka belajar tentang pemasaran digital, manajemen keuangan, hingga cara merawat mimpi menjadi nyata. Kini, mereka masuk tahun kedua, dan berharap bisa kembali melaju ke tingkat nasional.

Tentang mimpi yang tak boleh berhenti

Rumah BUMN dan Pertamina UMK Academykini menjelma menjadi ruang belajar yang tak sekadar menawarkan teori kaku, melainkan menjadi taman subur bagi mimpi-mimpi kecil yang perlahan berani mekar.

Bagi Dewi Sri Utami, sang Manager Small Medium Enterprise and Partnership Program (SMEPP) PT Pertamina (Persero), Pertamina UMK Academy bukan sekadar program. Ia laksana jembatan panjang yang menghubungkan UMKM dengan mimpi-mimpi yang dulu terasa jauh, bahkan mustahil.

“Ada empat kelas: Go Modern, Go Digital, Go Online, Go Global. Harapannya UMKM tidak hanya naik kapasitas, tapi juga naik penghasilan dan siap menembus pasar dunia,” jelasnya.

Melalui kelas-kelas ini, para peserta diajak akrab dengan teknologi, merawat modernisasi, dan menyiapkan langkah berani menuju pasar dunia.

Pelatihan yang diadakan pun tak hanya berhenti pada materi daring yang kaku. Ada sentuhan persona, coaching one by one, diskusi mendalam, hingga “bedah luka” usaha yang kerap tak sempat diungkap.

Semua dilakukan agar para pelaku usaha tak hanya berjalan, tetapi juga tumbuh tegak, kuat, dan berani seiring tegapnya langkah mereka siap menapaki pasar dunia.

Tak berhenti di situ, di akhir perjalanan, akan lahir para “Champion”, pejuang-pejuang usaha yang akan menerima hibah alat produksi senilai ratusan juta rupiah, sebagai bekal untuk membuka jendela lebih lebar lagi ke dunia luar.

Di Pekanbaru, tercatat 73 UMKM yang berhasil meniti jalur seleksi tahun ini. Salah satunya, kopi okra, sayur hijau yang kini tumbuh dalam dekapan hangat para ibu, yang sabar menunggu setiap biji menjadi cerita baru.

"Harapan terbesar kami agar para ibu, para penggagas usaha, tak lagi ragu menggaungkan produknya ke siapa saja," ujar Dewi.

Harapan tersebut bak doa yang dilangitkan. Agar dapur-dapur kecil di sudut kampung berubah menjadi panggung besar yang ramai sorak sorai, membawa ekonomi keluarga menanjak, membawa senyum anak-anak yang menunggu di beranda.

Program ini sudah memasuki tahun keenam, diikuti hampir 1.500 peserta dari seluruh Indonesia. Satu di antaranya adalah kopi okra yang perlahan tumbuh seperti anak yang disirami kasih sayang.

Segelas hangat, setangkai harap

Kopi okra mungkin tak akan membuat mata terjaga semalaman seperti kopi robusta atau arabika yang menyisakan pahit di ujung lidah. Namun, setiap teguknya membawa rasa hangat yang berbeda. Hangatnya tangan ibu-ibu yang menanam, memetik, menyangrai, lalu menyeduh dengan cerita yang panjang.

Setiap biji okra yang dulu hanya dianggap sayur berlendir, kini menjelma menjadi saksi ketekunan. Menjadi simbol keteguhan hati para perempuan di Pekanbaru yang tak pernah gentar menjemput mimpi, meski langkahnya pelan, meski jalannya penuh kerikil.

Kini, para ibu tak hanya menanam okra, tapi juga menanam semangat, menanam keberanian, menanam keyakinan bahwa apa pun bisa diraih jika disiram dengan doa dan ketulusan.

Ada harapan yang mengepul bersama uap kopi di gelas-gelas pembeli da tiap tegukan yang diminati, yaitu harapan agar dapur tak lagi sekadar ruang sunyi, tapi panggung tempat ibu-ibu berani bermimpi lebih tinggi.

Di Pekanbaru, mimpi itu masih bergulir pelan, harum, dan tetap hangat. Karena bagi Ernawati dan ibu-ibu lain, setiap biji okra bukan hanya bahan, melainkan bibit harapan yang tak pernah lelah tumbuh dan tak dibiarkan layu.

Pewarta :
Editor: Afut Syafril Nursyirwan
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.