Mukti Sari menuju desa nol emisi

id biogas,mukti,sari

Mukti Sari menuju desa nol emisi

Warga Desa Mukti Sari, Kabupaten Kampar, sedang memasak menggunakan biogas. (ANTARA/Vera Lusiana)

Pekanbaru (ANTARA) - Aroma menggugah selera daritahu goreng menyeruak indera penciuman saat melintas dekat dapur separuh beton milik Wartoyo, warga Desa Mukti Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar.

Tampak kompor dua tungku mengeluarkan api biru biogas di kuali penggorengan terakhir. Apinya nyaris tak terlihat namun panasnya cukup untuk memasak tahu sebanyak dua ember.

Disambut sajian tahu goreng dengan secangkir kopi menambah akrab perbincangan bersama Wartoyo, pewaris usaha tahu milik keluarga itu. Tak jauh dari situ, sang istri Narmi (52) sibuk mempersiapkan bahan makanan yang hendak dimasak. Menu untuk hari ini sederhana saja, hasil kebun sendiri yakni tumis kangkung terasi dan ikan asin balado terong kesukaan Wartoyo.

Sambil membungkus tahu yang sudah dingin, pria 47 tahun ini mengaku setiap dua hari sekali menggoreng tahu untuk dijual. Ia menggunakan biogas dan beralih dari penggunaan Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg sejak mendapat bantuan reaktor dari PT Pertamina Hulu Rokan (PHR).

“Sudah sembilan bulan terakhir kami memakai biogas untuk usaha tahu dan memasak di rumah. Walau belum bisa mencapai 100 persen manfaat, namun ini sangat membantu,” kata Wartoyosaat ditemui belum lama ini.

Pria yang mengaku tidak pernah lulus sekolah itu merasa terbantu berkat ampas tahu yang diolah karena selama ini cuma dimanfaatkan untuk pakan ayam. Bahkan sebagian lagi dibuang begitu saja ke sungai karena akan menimbulkan bau jika mengendap lama.

Maka, saat penyuluh Yayasan Rumah Energi (YRE) menawari dirinya mengolah ampas tahu menjadi biogas, Wartoyo langsung mendaftar. Ia pun tak perlu lagi kocar-kacir mencari elpiji saat ada kelangkaan. Ini juga menjadikan hemat biaya bahan bakar tiap bulan sekaligus mampu mengatasi limbah ampas tahu miliknya.

Narmi sang istri yang sedang menggiling sambal terasi juga mengaku bisa menghemat pengeluaran belanja sayuran. Bahkan, ia memperoleh tambahan dari penjualan panen hasil ladang seperti kangkung, terong, cabai rawit, yang tumbuh subur berkat pupuk bioslurry limbah biogas.

“Saya juga hemat biaya bahan bakar beli elpiji sekitar tujuh tabung per bulan untuk memasak dan menggoreng tahu. Jika dihargai Rp25.000 per tabung maka total Rp175.000 per bulan. Limbahnyajuga menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman sayuran kangkung, terong dan cabai,” ujarnya.

Wartoyo dan keluarga merupakan salah satu dari 22 rumah tangga di Desa Mukti Sari (Kabupaten Kampar) dan Kecamatan Rumbai (Kota Pekanbaru) yang ikut program Desa Energi Berdikari (DEB) besutan Pertamina Hulu Rokan. Mereka menerima manfaat biogas sebagai energi terbarukan.

Potensi Biogas di Riau

Desa Mukti Sari dulunya merupakan kawasan hutan. Namun pada tahun 1989, pemerintah mengirim puluhan transmigran asal Lampung, Jambi dan Pulau Jawa untuk bermukim di sana. Adalah Misiran (74), asal Lampung, salah satu dari 59 transmigran yang ikut saat itu. Mantan Ketua RT 11 di Desa Mukti Sari ini menjelaskan banyak transmigran yang tidak betah lalu menjual lahannya. Namun, ia dan beberapa teman-temannya mencoba bertahan hingga kini.

Seiring waktu, desa tersebut semakin berkembang berkat kerja sama pihak pemerintah dan swasta yang memberikan bantuan bibit ternak dan pelatihan sehingga menjadikan daerah itu sebagai kawasan pertanian dan peternakan potensial.

Sensus Pertanian Riau (ST 2023) Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat di Kampar terdapat sekitar 21.460 sapi dan 21.617 kambing. Sedangkan di area Pekanbaru ada sekitar 4.048 sapi dan 5.100 kambing.

Secara keseluruhan hingga tahun 2023, total ternak di Provinsi Riau mencapai 178.592 sapi dan 240.104 kambing. Dari jumlah ternak sapi dan kambing tersebut, Riau mampu menghasilkan limbah kotoran ternak yang berlimpah. Diperkirakan jika rata-rata 8 kg per ekor sapi per hari, maka akan ada sekitar 1.428.736 kg kotoran sapi per harinya. Belum lagi ditambah kotoran kambing mencapai 240.104 ekor.

“Ini adalah potensi limbah yang besar untuk pupuk kompos dan turunannya, apalagi jika mampu diolah menjadi biogas sebagai sumber energi terbarukan,” kataKepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau Masrul Kasmy.

Keberadaan limbah kotoran ternak inilah yang menjadi perhatian Krisna Wijaya, Project Manager Biogas Rumah Yayasan Rumah Energi, sehingga melakukan kerjasama dengan PHR sebagai pendana dan memilih Desa Mukti Sari, Kampar dan Rumbai Pekanbaru sebagai sasaran.

Dikatakan Krisna, kotoran sapi ini dapat diolah menjadi biogas, termasuk limbah lain seperti ampas tahu dan tinja manusia. Hal inilah yang dipraktikkan Abdurahman Widodo hingga mampu menghemat pengeluaran untuk bahan bakar lewat pemanfaatan limbah air tahu yang diolah menjadi biogas.

Meskipun baru memakai biogas untuk keperluan memasak di rumah, ia merasa sudah diuntungkan dengan dimanfaatkannya air limbah pembuatan tahu. Limbah berlimpah yang sebelumnya dianggap tak berguna dijadikan biogas, sedangkan ampas tahu masih bisa jual menjadi pakan ternak.

“Memang orang lain memakai ampas tahu untuk biogas, kalau saya (pakai) limbah airnya yang selama ini dibuang ke sungai,” kata Abdurahman Widodo.

Ia mengkalkulasi kalau limbah ampas tahu digunakan sebagai bahan baku biogas dengan ukuran 1 karung menghasilkan biogas untuk pemakaian seminggu. Sementara kalau ampas tahu dijual untuk pakan ternak laku Rp50.000 per karung. Uang itu cukup untuk membeli elpiji 3kg sebanyak 2 tabung, dan mencukupi bahan bakar 1,5 bulan lebih. Karena itu, ia memilih air limbah tahu jadi bahan baku biogas.

Hal ini tak jauh berbeda dengan yang dilakukan Pesantren An-Najah di Desa Mukti Sari, Kampar. Lembaga pendidikan ini kini sudah menggunakan biogas dari tinja para santri sebagai bahan bakar memasak untuk 40 anak.

“Kami sudah sangat terbantu dengan reaktor bantuan PHR ini, untuk mengatasi pengelolaan tinja tidak perlu keluar biaya sedot WC lagi, dan sebagai biaya bahan bakar biogas yang dihasilkan bisa memotong 50 persen pembelian LPG 3kg,” kata WahidMa'sumselaku pengelola Pesantren An Najah.

Selain itu, pesantren juga memanfaatkan bioslurry untuk pupuk tanaman. Lahan di sekitar yang digunakan menanam bahan pangan seperti ubi kayu, sayuran, buah hingga bahkan pohon kelapa sawit kini tidak lagi pakai pupuk kimia, akan tetapi bioslurry limbah dari biogas.

Sumber Ekonomi Baru
Supriyono kini memiliki sumber ekonomi baru dari pertanian, dengan menanam cabe rawit yang memanfaatkan pupuk Bioslurry. (ANTARA/Vera Lusiana)


Pagi itu,Supriyono (46) tampak sibuk mengaduk campuran seperti bubur kental tanpa merasa jijik. Bermodalkan sekop dan sarung tangan, salah satu anggota Kelompok Biotama Agung Lestari di Desa Mukti Sari ini mempersiapkan campuran kotoran sapi untuk dimasukkan ke reaktor guna menghasilkan biogas.

Tiga sapi sisa Lebaran Haji lalu masih mampu memasok kotoran untuk menggerakkan reaktor berkapasitas 6 m3 miliknya yang berasal dari bantuan PT PHR. Lama pengadukan sekitar lima menit, makin lembut bentuk kotoran maka proses fermentasi makin bagus.

“Kalau masih banyak gumpalan, gas metan yang dihasilkan akan sedikit berkurang,” kata Supriyono menirukan ilmu yang dia peroleh dari penyuluh YRE.

Hasil dari biogas itu ia gunakan untuk menyalakan lampu di rumah saat Pembangkit Listrik Negara (PLN) padam serta memasak makanan sehari-hari. Sementara limbah biogas berupa pupuk bioslurry dimanfaatkannya untuk pupuk cabai rawit. Kini warga Seruling 7 itu sedang menantikan bulir buah cabai bermunculan.

Deniselaku Community Development Officer YREmenjelaskan proses pembuatan biogas selanjutnya, setelah kotoran sapi menjadi seperti bubur, dialirkan melalui lubang kecil bawah inlet ke biodigester. Ini adalah sumur kedalaman dua meter dengan keliling sekitar tiga meter yang bisa menampung delapan kubik kotoran sapi. Dalam ruang tanah tersebut berlangsung pembusukan tanpa udara, 7 sampai 15 hari guna menghasilkan gas metan.

Gas metan yang terkumpul dalam biodigester otomatis akan menekan kotoran sapi keluar dan disalurkan di outlet, bak penampungan ampas kotoran sapi. Di ujung outlet ada lubang atau overflow menuju slurry pit. Sedangkan biogas disalurkan melalui pipa khusus ke rumah untuk dihubungkan dengan kompor.

“Ini adalah bagian akhir instalasi pengolahan kotoran sapi yang menampung ampas untuk dijadikan pupuk, serta biogas sebagai bahan bakar,” kata Deni.

Kondisi cuaca cukup berperan dan menentukan waktu peragian kotoran sapi hingga menghasilkan biogas. Kalau suhu terlalu dingin, proses bisa menjadi lebih lama dibandingkan suhu rata-rata di atas 23 derajat. Bahkan ketika musim hujan bisa sampai satu bulan. Sebagai penyuluh,Deni selalu memberikan bimbingan kepada warga Desa Mukti Sari yang sudah memanfaatkan biogas agar mampu menghasilkan produk turunan dari bioslurry sebagai sumber pendapatan baru.

Desa Mukti Sari kini memiliki 18 kandang ternak sapi yang dikelola oleh kelompok dengan jumlah 51 sapi yang menjadi binaan YRE dan mempunyai fasilitas biogas. Jika rata-rata bobot kotoran sapi 10 kg per ekor per hari maka akan dapat menghasilkan 0,36 m3 biogas. Maka potensi yang dimiliki desa ini dari 51 sapi dikalikan 0,36 persen menghasilkan 183,6 m3 biogas dalam sehari. Sedangkan untuk gas metana kisaran 70 persen kali 183,6 m3 sama dengan 128,52 m3 dan sisanya adalah gas CO2 dan H2S.

Apabila konsumsi biogas yang dibutuhkan untuk memasak setiap hari berada pada kisaran 0.3-0.4 m3 per hari per orang maka dengan biogas yang dihasilkan sebesar 183,6 m3 ini mampu memenuhi kebutuhan sekitar 459 jiwa di Desa Mukti Sari. Jumlah ini membantu meringankan kebutuhan bahan bakar masyarakat setempat.

Tak sia-sia, berkat bimbingan itu kini warga Desa Mukti Sari semakin meningkat yang memanfaatkan biogas sebagai bahan bakar. Mereka juga kreatif mengelola limbah biogas menjadi sumber pendapatan keluarga.

Ketua Kelompok Biotama Agung Lestari H Alimin menyebut produk turunan biogas di desanya kini mulai bermunculan baik dalam bentuk pupuk maupun produk Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), berupa makanan ringan hasil olahan tanaman yang dipupuk limbah bioslurry oleh kaum ibu.

Bahkan kelompok tersebut kini sudah hasilkan pupuk dan menjadi agen hayati cair merek prima bioslurry, yang dihargai Rp30.000 per liternya. Agen hayati cair ini bahan utamanya adalah bioslurry yang ditambah bahan organik lainnya dan melalui proses fermentasi kembali.

“Kini kelompok Biotama Agung Lestari hasilkan dua produk turunan bioslurry yakni agen hayati cair prima bioslurry yang dipasarkan Rp30.000 per liter dan kompos prima bioslurry padat yang dijual Rp75.000 per karung ukuran 25 kg,” kataAlimin.

Wujudkan Net Zero Emission 2026
Mahyin anggota kelompok Biotama Agung Lestari di Desa Muktisari sedang melakukan pembalikan kompos hasil limbah biogas. (ANTARA/Vera Lusiana)


Pemberian bantuan reaktor pengolahan limbah kotoran sapi menjadi biogas bagi warga Desa Mukti Sari oleh PHR bukan tanpa alasan, meskipun awalnya desa tersebut merupakan salah satu lokasi transmigrasi. Namun Desa Mukti Sari didaulat jadi desa energi berdikari dan merupakan salah satu target program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) PHRkarena letaknya yang strategis berada di area sumur minyak PHR,tepatnya di Kota Batak. Selain itu juga terdapat potensi limbah kotoran sapi yang selama ini tidak termanfaatkan.

Pinto Budhi Bowo Laksono Manager CSR PHR menyebut TJSL ini dilakukan untuk mendukung transisi energi dan pemberdayaan masyarakat di wilayah operasionalnya. Sehingga PT Pertamina Hulu Rokan–WK Rokan bekerja sama dengan Yayasan Rumah Energi guna menjalankan program tersebut di Kabupaten Kampar dan Kota Pekanbaru.

“Program ini yang dinamakan Desa Energi Berdikari Berbasis Biogas, pemerintah mengadakannya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penerapan teknologi energi terbarukan, yaitu biogas,” kata Pinto Budhi.

Pinto menjelaskan bahwa Wilayah Kerja Rokan sebagai salah satu pilar penyangga energi nasional terus berupaya untuk mendukung kemandirian masyarakat melalui program-program tanggung jawab sosial dan lingkungan, salah satunya yang saat ini sedang dijalankan di Desa Mukti Sari Kecamatan Tapung dan Rumbai.

Sejak digelontorkan bantuan program pembuatan reaktor tahun 2022 hingga kini,PHR telah membantu pembangunan 21 unit di wilayah Riau untuk pemanfaatan limbah menjadi biogas dengan rincian tersebar di Desa Mukti Sari, Kampar (20 unit) dan di Rumbai, Pekanbaru (1 unit).

DEB di Desa Mukti Sari ini merupakan satu dari 28 DEB yang ada di Indonesia dan yang terbesar di bidang biogas. Dengan total kapasitas reaktor 165 m3 untuk 21 sambungan biogas yang digunakan untuk memasak.

“Khusus Desa Mukti Sari ini dapat menghasilkan energi setara 105.402 KWh per tahun. Tahun ini PHR juga akan mereplikasi program yang sama selain di Desa Mukti Sari dan Rumbai akan ada di daerah utara wilayah kerja Rokan yakni di Kabupaten Rokan Hilir. Selain itu PHR juga mencatat adanya potensi reduksi emisi karbon hingga 52,5 ton CO2 equivalen per tahun dan telah berhasil mengelola limbah organik sebesar 319,4 ton tahun 2023. Semua ini tidak bisa dicapai jika tidak ada kerjasama dari semua pihak terkhusus warga Desa Mukti Sari,” urai Pinto.

Seperti diketahui, pemanasan global disebabkan oleh naiknya jumlah emisi gas rumah kaca termasuk gas metana (CH4). Metana membuat tipis lapisan ozon yang melindungi bumi, sehingga suhu naik. Selain berasal dari penguraian sampah organik, metana muncul dari aktivitas pertanian dan transportasi. Sekitar 50 persen metana diproduksi dari aktivitas manusia di sektor pertanian.

Dari jumlah itu, 60 persen berasal dari ternak ruminansia, yang dihasilkan melalui proses metano genesis dalam sistem pencernaan ternak. Metana dikeluarkan lewat mulut ternak ke atmosfer. Kotoran sapi juga dapat meningkatkan risiko perubahan iklim karena kotoran tersebut menghasilkan gas metana. Metana adalah salah satu gas rumah kaca yang mampu menyebabkan efek rumah kaca, sehingga memiliki dampak yang buruk bagi iklim dimana gas ini dapat merusak lapisan ozon yang melindungi bumi dari bahaya radiasi sinar matahari.

Dalam pemberitaansebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut BPandjaitan, dalam acara Net Zero Summit and B20 Investment Forum Opening Ceremony yang diselenggarakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN Indonesia) di Bali Nusa Dua Convention Center, Kawasan ITDC, Bali, mengatakanNationally Determined Contribution (NDC) Indonesia saat ini menguraikan transisi Indonesia menuju masa depan rendah emisi dan tahan iklim.

Menko menjelaskan bahwa jika 14 anggota G20 intensif terhadap karbon mengurangi emisi CO2 per kapita mereka ke rata-rata global, ini akan menghilangkan 11,8 miliar ton emisi CO2, yang setara dengan 34 persen emisi global dan 18 kali seluruh emisi Indonesia 2019.

Transisi Energi ini membutuhkan dekarbonisasi di sektor pembangkit listrik dan penggunaan akhir. Oleh karena itu pemerintah kini sangat serius mewujudkan komitmen net zero emission (NZE) pada tahun 2026 nanti, bahkan, kalau bisa lebih cepat dari itu. Pemerintah tengah menyusun sebuah road map untuk merealisasikan NZE demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.

Net zero emission atau nol emisi karbon adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Untuk mencapainya diperlukan sebuah transisi dari sistem energi yang digunakan sekarang ke sistem energi bersih guna mencapai kondisi seimbang antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam.

Untuk mengurangi jejak karbon dan mencapai kondisi net zero emission, pemerintah menerapkan lima prinsip utama, yaitu: peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam melakukannya adalah mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan manusia pada kurun waktu tertentu, atau lebih sering dikenal dengan jejak karbon. Jejak karbon yang kita hasilkan akan memberikan dampak yang negatif bagi kehidupan kita di bumi, seperti kekeringan dan berkurangnya sumber air bersih, timbul cuaca ekstrim dan bencana alam, perubahan produksi rantai makanan, dan berbagai kerusakan alam lainnya.

Krisna mengatakan kotoran ternak sangatlah berdampak buruk bagi iklim. Kotoran ternak dapat meningkatkan risiko perubahan iklim karena menghasilkan gas metana. Energi menjadi salah satu sektor yang difokuskan dalam upaya mencapai program NZE. Berbagai negara telah mengeluarkan regulasi-regulasi baru dalam hal penyediaan energi listrik yang disesuaikan dengan program NZE, termasuk di Indonesia. Salah satu hal nyata yang dilakukan oleh PHR di dua desa di Riau yakni Desa Mukti Sari dan Desa Rumbai merupakan cikal bakal munculnya pergerakan bersama mengurangi jumlah karbon atau gas emisi yang dihasilkan dari berbagai kegiatan dan mengubahnya menjadi energi terbarukan.

Dalam hal ini Pertamina sebagai pemimpin di bidang transisi energi berkomitmen mendukung target net zero emission tahun 2026 dengan terus mendorong program-program yang berdampak bagi lingkungan sekitar dan Masyarakat. Selaras dengan target pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan sejalan dengan penerapannya. Diharapkan apa yang sudah diterima bisa dijaga dan dirawat dengan baik sehingga program ini lebih meluas lagi dan memunculkan kemandirian masyarakat.