Masyarakat Mengharap Patalangan Untuk Bertahan Hidup

id masyarakat, mengharap patalangan, untuk, bertahan hidup

 Masyarakat Mengharap Patalangan  Untuk Bertahan Hidup

INHU, (Antarariau.com) - Pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan masyarakat Desa Anak Talang, Kepayang Sari, Cenaku Kecil Kecamatan Batang Cenaku Indragiri Hulu merupakan Patalangan (tempat perladangan) bekas nenek moyang masyarakat setempat. Pesatnya pertumbuhan penduduk berakibat pada berkurangnya ketersediaan lahan garapan masyarakat sehingga masyarakat kembali mengelola kembali tempat peladangan nenek moyang mereka.

Lahan yang digarap masyarakat tersebut masih dapat ditemukan kebun lama orang-orang terdahulu berupa tanaman durian, manggis, pohon sialang yang usianya puluhan tahun. Dalam rangka mempertahankan identitas daerahnya masyarakat dilarang untuk menebangi batang durian, manggis dan pohon sialang didaerah tersebut. Jika ditemukan masyarakat yang menebangi tanaman tersebut akan disanksi secara adat berupa denda mulai dari satu ekor ayam sampai dengan satu ekor kambing, sesuai dengan tingkat kesalahan yang dilakukan. Kemudian ayam atau kambing yang dibayarkan tersebut akan dimasak dan dimakan bersama-sama oleh masyarakat. Pemberian sanksi tersebut dilakukan oleh petinggi adat setempat.

Arsyad, 65 tahun salah seorang warga desa kepayang sari mengatakan lokasi tersebut merupakan kampung orang terdahulu. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya pemakaman yang diperkirakan sudah berumur ratusan tahun. Jika saat ini masyarakat kembali untuk melakukan pengelolaan dilahan tersebut, sama artinya mereka kembali mengelola kampung lamanya.

Pada masa kerajaan Indragiri Hulu daerah patalangan mendapatkan hak-hak otonomi untuk mengatur daerahnya sendiri tanpa terlalu banyak campur tangan pihak kerajaan. Dalam menciptakan ketaruran masyarakat patalangan memiliki petingi adat yang disebut payung nan tigo kaki, satu orang patih dan dua orang batin untuk memudahkan pelaksanaan pemeritahan adat pada setiap daerah patalangan yang sekarang disebut desa juga memiliki batin-batin dengan tetap berkordinasi dengan payung nan tigo kaki struktur tersebut masih jalan sampai sekarang, tambahnya.

Saat ini garapan masyarakat terancam dengan status kawasan hutan pada lokasi tersebut. Tempat peladangan itu masuk kedalam kawasan hutan produksi tetap (HPT), dimana dalam sejumlah regulasi kehutanan masyarakat harus mendapatkan izin dari kemetrian kehutanan untuk melakukan pengarapan. Hal ini tentu menjadi “ancaman” bagi masyarakat, jika sewaktu-waktu dirinya mengarap lahan tersebut. Bisa jadi suatu saat mereka akan berurusan dengan pihak kepolisian karena mungkin dianggap sebagai perambah hutan.

Menyikapi hal ini Yoni Candra selaku anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia (PBHI) wilayah Sumatera Barat mengatakan bahwa dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dan dalam pasal 28I ayat (3) juga menjelaskan bahwa identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Maka merujuk kepada ketentuan konstitusi diatas, pemerintah semestinya menghormati masyarakat adat dengan memberikan akses yang luas terhadap wilayah adatnya. Sehingga hal ini akan menguatkan posisi masyarakat dalam penguasaan ruang mereka yang dari waktu ke waktu menyempit dengan hadirnya berbagai izin konsesi diwilayah mereka, ujarnya.

Keinginan masyarakat untuk mengarap kembali peladangan nenek moyang mereka dikarenakan pertumbuhan manusia yang semakin tinggi sehingga membutuhkan lahan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.(rilis)